Syariah

Uang Infak Masjid untuk Biaya Pendidikan, Bolehkah?

Ahad, 5 Januari 2020 | 03:00 WIB

Sebagaimana lazim kita saksikan di masjid-masjid daerah, di sebagian titik area masjid disediakan kotak amal/infak untuk menggalang dana atau mempersilakan pengunjung mendermakan sebagian uangnya untuk kemaslahatan masjid. Penggalangan dana dengan model demikian dinilai lebih efektif ketimbang menarik iuran di masyarakat dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah, karena di samping menghemat tenaga dan waktu, juga tempat mengumpulkan donasi sangat strategis, yaitu masjid atau area sekitarnya.

 

Dampak dari strategi tersebut, tidak jarang menjadikan masjid sangat memadai untuk memenuhi kebutuhannya, bahkan memiliki saldo yang melimpah ruah. Dalam titik ini, munculah gagasan dari takmir masjid mengalokasikan dana infak masjid untuk biaya pendidikan. Pikirnya, masjid sudah berkecukupan sedangkan sektor kemaslahatan pendidikan di masyarakat sekitar memerlukan kucuran dana. Bagaimana hukum mengalokasikan uang infak masjid untuk biaya pendidikan?

 

Hukum mengalokasikan dana infak masjid untuk pendidikan adalah haram, sebab tidak sesuai peruntukannya. Para penyumbang bermaksud dengan pemberiannya untuk kemaslahatan masjid, bukan untuk hal lain. Ketika para penyumbang meletakkan uang di kotak amal masjid, indikasi kuatnya adalah tujuan mereka agar uang tersebut dialokasian untuk hal-hal yang berkaitan dengan masjid, baik berhubungan dengan perbaikan fisik bangunan masjid atau kemaslahatan masjid secara umum seperti gaji muadzin, gaji takmir, gaji khatib, biaya operasional masjid, dan lain sebagainya.

 

Dalam fiqih, alokasi sumbangan infak masjid sendiri wajib diarahkan kepada salah satu dari dua hal. Pertama, ‘imarah yaitu kebutuhan fisik bangunan masjid, misalnya dana renovasi atau penjagaan kelestarian bangunan masjid. Kedua, mashalih, yaitu segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan masjid seperti gaji khatib, gaji nazir, biaya kemakmuran kegiatan masjid, dan lain sebagainya. Selain dari dua tasaruf (pengalokasian) tersebut tidak diperbolehkan.

 

Penentuan alokasi ‘imarah dan mashalih disesuaikan dengan tujuan pemberi, bila penyumbang menentukan untuk kebutuhan fisik masjid (‘imarah), maka hanya boleh untuk kebutuhan fisik masjid. Bila tujuan penyumbang untuk mashalih atau dimutlakan, maka boleh untuk alokasi ‘imarah dan kemaslahatan masjid secara umum. Namun pihak nazir wajib memprioritaskan kebutuhan ‘imarah masjid (KH Ja’far Shadiq, Risalah al-Amajid, hal. 18).

 

 

Dalam aturan fiqh, alokasi pemberian sumbangan harus disesuaikan dengan kehendak pemberi, wajib bagi pihak penerima mengalokasikan uang pemberian sesuai tasaruf yang ditentukan pemberi. Misalnya, orang bersedekah untuk korban bencana alam, wajib ditasarufkan untuk para korban. Penggalangan dana untuk acara syiar keagamaan seperti maulid akbar wajib ditasarufkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan acara tersebut. Meski uang yang diterima menjadi milik penerima tapi kepemilikannya atas uang tersebut dibatasi sesuai arah tasaruf yang ditentukan pemberi. Pemberian jenis ini disebut dengan hibah muqayyadah atau shadaqah muqayyadah (hibah yang dibatasi/sedekah yang dibatasi).

 

Menjadi berbeda hukumnya bila penentuan tasaruf yang disebutkan pemberi hanya sebatas “pemanis bibir” atau basa-basi perekat sekat kecanggungan atau penanda keakraban, semisal ucapan pemberi “ini uang untuk membeli es”, “ini silakan ambil untuk tambahan membeli susu anakmu”, dan ucapan sejenis lainnya. Dalam kondisi demikian penerima sedekah/hibah tidak wajib mengalokasikan sesuai tasaruf yang “ditentukan” pihak pemberi, ia bebas menggunakan uang pemberian yang diterima untuk apa saja. Sebab pemberi tidak benar-benar bermaksud menentukan tasaruf sumbangannya, melainkan sebatas basa-basi.

 

Syekh Abdurrahman al-Masyhur mengatakan:

 

فرع أعطى آخر دراهم ليشتري بها عمامة مثلاً ولم تدل قرينة حاله على أن قصده مجرد التبسط المعتاد لزمه شراء ما ذكر وإن ملكه لأنه ملك مقيد يصرفه فيما عينه المعطي

 

“Cabang permasalahan. Bila seseorang memberi orang lain beberapa dirham untuk dibelikan serban semisal, dan indikasi keadaannya tidak menunjukan bahwa tujuan pemberi adalah sebatas basa-basi yang dibiasakan, maka wajib bagi pihak yang diberi membelikan serban tersebut, meski ia telah memilikinya, sebab kepemlikannya dibatasi, ia hanya boleh mentasarufkan dirham sesuai yang ditentukan pemberi” (Syekh Abdurrahman al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, hal.367).

 

Sebagai solusi agar uang infak dapat dialokasikan untuk biaya pendidikan atau kebutuhan sosial masyarakat lainnya, pihak takmir hendaknya memisah kotak amal untuk masjid dan kebutuhan sosial kemasyarakatan. Misalnya, di depan pintu masjid disediakan dua kotak amal; kotak pertama bertuliskan infak masjid, kotak kedua diberi tanda “dana sosial/dana pendidikan”. Dengan langkah pemisahan kotak demikian, dapat menjadikan sebuah indikasi maksud penyumbang, masing-masing uang yang terkumpul di kedua kotak dapat ditasarufkan sesuai peruntukannya.

 

 

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.