Syariah

Zamzam dan Konservasi Air oleh Rasulullah

Sen, 10 Juli 2023 | 17:30 WIB

Zamzam dan Konservasi Air oleh Rasulullah

Kenangan dari Makkah dan Konservasi Air oleh Rasulullah

Bagi jamaah haji, oleh-oleh air Zamzam dari tanah suci seakan wajib untuk dibawa ke tanah air. Memang, air yang satu ini punya banyak keistimewaan yang sudah lazim diketahui. Sumurnya di Kota Makkah yang bersejarah dan khasiatnya yang luar biasa telah terkenal di dunia Islam. Oleh karena itu, kenangan khusus terhadap Kota Makkah akan terpatri di benak jamaah haji ketika membagikan air ini sepulangnya dari tanah suci. 


Selain air Zamzam, banyak kenangan lain yang dapat diceritakan oleh jamaah haji tentang Kota Makkah. Kota Makkah mengingatkan umat Islam pada Rasulullah. Nabi sendiri lahir di kota Makkah dan terbiasa mengonsumsi air Zamzam untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya sejak kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila hadits-hadits tentang air Zamzam sangat erat dengan manfaatnya sebagai obat dan nutrisi yang berkhasiat.


Seakan menjadi isyarat kenabian dari Makkah, umat Islam di seluruh dunia hingga hari ini dapat menikmati air Zamzam. Dalam satu riwayat, Nabi pernah mencampurkan air ludahnya dengan air Zamzam dalam sebuah timba dan dikembalikan lagi ke sumur Zamzam. Oleh karena itu, orang yang meminum air Zamzam berarti telah meminum air yang pernah bercampur dengan ludah mulia Rasulullah saw.


Namun, ternyata Nabi tidak selalu menghabiskan waktu hidupnya di Makkah. Lalu bagaimana perhatian Beliau terhadap sumber daya air saat tidak berada di Makkah? Apakah Rasulullah memiliki kepedulian terhadap pelestarian air di tempat yang lain? Adakah teladan yang dapat diambil dari upaya konservasi air oleh Rasulullah?


Sudah diketahui bahwa tidak semua air dua kota suci dan sekitarnya berasal dari sumur Zamzam. Makkah dan Madinah sebagai haramain atau dua tanah haram adalah wilayah khusus di wilayah Hijaz. Dalam Islam, dikenal kawasan haram, yaitu kawasan yang diperuntukkan melindungi sumber daya agar tidak diganggu. 


Nabi menetapkan daerah-daerah yang tidak boleh dilanggar untuk membatasi aliran-aliran air, fasilitas-fasilitas dan kota-kota. Di dalam kawasan haram fasilitas umum seperti sumur dilindungi dari kerusakan. Disediakan pula ruang untuk menjaga sumur, melindungi airnya dari polusi, dan menyediakan tempat istirahat bagi ternak dan ruang bagi fasilitas-fasilitas irigasi (Mangunjaya, 1998, Aspek Syariah: Jalan Keluar dari Krisis Ekologi, Jurnal Ulumul Quran No. 1/VII: halaman 1-11).


Nabi juga memberikan perhatian terhadap sumur bersejarah lainnya sebagai bagian dari pelestarian lingkungan. Saat Beliau hijrah ke Madinah, Beliau menjumpai fenomena krisis air yang terjadi di Quba. Beliau tidak berdiam diri melihat situasi krisis air itu. Secara lengkap, kisahnya disebutkan oleh sahabat Anas bin Malik ra sebagai berikut:


Kami datang ke Quba bersama dengan Rasulullah hingga sampai di sebuah sumur yang ada di sebuah kebun, lalu beliau mengambil air minum dari sumur itu yang diangkut dengan keledai. Selanjutnya, kami berada di tempat itu sepanjang siang hari, ternyata air sumur itu telah kering. Maka Rasulullah berkumur dari sebuah timba dan memuntahkannya kembali ke dalam timba, lalu mengembalikan timba itu ke dalam sumur, tidak lama kemudian sumur itu berair kembali" (Diketengahkan oleh Ibnu Sa’d dan Ibnu Asakir)


Berdasarkan kisah tersebut, ternyata Rasulullah melaksanakan konservasi sumber daya air di daerah Quba. Sumber air yang semula berfungsi dengan baik lalu mengering dan diatasi dengan mukjizat Rasulullah sehingga terpancar kembali. Upaya ini sebenarnya bersambung dengan leluhur nabi yang pernah melakukan konservasi sumur Zamzam. Tidak lain, kakek nabi yang melakukan penemuan dan penggalian kembali sumur Zamzam yang sempat kering.


Dengan kisah Abdul Muthalib yang melakukan upaya penggalian kembali sumur Zamzam, keberlangsungan kota Makkah tetap terjaga. Hampir saja kota Makkah kehilangan pamornya apabila sumur Zamzam tidak ditemukan kembali. Jelas sekali bahwa selain penduduk Makkah, peziarah yang datang ke Makkah di zaman Jahiliah pun membutuhkan air saat berhaji.


Apabila sumur Zamzam tidak ditemukan kembali setelah mengering, maka sulit dibayangkan kehidupan di Kota Makkah bisa bertahan. Oleh karena itu, atas ilham dari Allah melalui mimpi yang dialami Abdul Muthalib untuk menemukan sumber Zamzam, supremasi Kota Makkah dan Ka’bah bertahan hingga hari ini. Dengan demikian, ada relasi antara pelestarian sumber daya air Zamzam di Makkah dengan keberlangsungan syiar agama Allah.


Menurun kepada cucunya, kepedulian Abdul Muthalib terhadap sumber daya air juga diterapkan oleh Nabi Muhammad saw. Karena Nabi Muhammad memiliki mukjizat, maka banyak upaya untuk menjaga syiar Allah ditolong oleh keistimewaan ini. Konservasi sumur di daerah Quba telah menjadi bukti bahwa nabi peduli terhadap kelestarian air. 


Selain sumur di Quba, Nabi juga pernah melakukan netralisasi terhadap sumur-sumur yang tercemar dan beracun. Lagi-lagi, Nabi menggunakan ludahnya untuk melakukan konservasi air berbasis mukjizat ini. Abu Usaid dan Sahl bin Sa’ad telah menceritakan:


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi sumur Budha’ah, lalu berwudu dari sebuah timba dan mengembalikan timbanya ke dalam sumur, dan sekali lagi Beliau berkumur dan membuang airnya langsung ke dalam sumur serta meludah ke dalamnya dan juga minum sebagian dari airnya. Sejak saat itu pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila ada orang yang terkena penyakit, mereka menyarankan sebaiknya mandikanlah dia dari air sumur Budha’ah. Setelah si pasien dimandikan, sembuhlah ia dari sakitnya seakan-akan seperti seorang yang baru terlepas dari ikatan.” (Diketengahkan oleh Ibnu Sa’d)


Berdasarkan kutipan tersebut, air sumur Budha’ah menjadi sehat dan menyehatkan ketika digunakan. Padahal sebelumnya, sumur Budha’ah dikenal sebagai sumur yang tercemar sehingga baunya berubah menjadi busuk akibat kotoran yang terdapat di dalamnya.


Karena kita semua bergantung pada air untuk kelangsungan hidup kita, penting bagi kita untuk mempelajari dan memahami bagaimana kita dapat melestarikannya untuk kepentingan generasi yang akan datang. Ada kesalahpahaman bahwa konservasi air adalah proses yang hanya dapat ditangani dalam skala besar oleh teknisi, ilmuwan sains, insinyur di bidang hidrologi, dan petani. Namun, sebenarnya ini adalah masalah yang juga bisa diatasi oleh semua umat Islam.


Selayaknya melalui air Zamzam dan kisah konservasi air oleh Rasulullah, umat Islam dapat memperhatikan kelestarian air di manapun. Langkah-langkah sederhana seperti berhemat air, menjaga kebersihan air di sekitar lingkungan dan melestarikan sumber air dengan berbagai cara sederhana dapat menghantarkan kita meneladani Rasulullah saw. Wallahu a’lam bis shawab.


Yuhansyah Nurfauzi, Anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap