Tafsir

Benarkah Wasiat Waris Tidak Berlaku Lagi? Ini Penjelasan Al-Qur’an

NU Online  ·  Senin, 19 Mei 2025 | 06:00 WIB

Benarkah Wasiat Waris Tidak Berlaku Lagi? Ini Penjelasan Al-Qur’an

Ilustrasi warisan. Sumber: Canva/NU Online.

Wasiat waris adalah amanat dari pemberi wasiat kepada ahli waris untuk melaksanakan kebaikan yang dapat dilakukan setelah kematiannya. Dalam Islam, wasiat waris awalnya bersifat wajib sebelum turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur pembagian warisan. Al-Qur’an mengatur pembagian warisan secara rinci dalam beberapa ayat untuk mencegah terjadinya perselisihan di antara ahli waris.


Terkait wasiat waris, Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 180-182:


كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًاۖ ࣙالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَۗ (180) فَمَنْۢ بَدَّلَهٗ بَعْدَ مَا سَمِعَهٗ فَاِنَّمَآ اِثْمُهٗ عَلَى الَّذِيْنَ يُبَدِّلُوْنَهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌۗ (181) فَمَنْ خَافَ مِنْ مُّوْصٍ جَنَفًا اَوْ اِثْمًا فَاَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌࣖ (182)


Artinya: (180) Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak), berwasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang patut (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (181) Siapa yang mengubahnya (wasiat itu), setelah mendengarnya, sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (182) Akan tetapi, siapa yang khawatir terhadap pewasiat (akan berlaku) tidak adil atau berbuat dosa, lalu dia mendamaikan mereka, dia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Dalam Surah Al-Baqarah ayat 180, Allah menjelaskan bahwa memberikan wasiat kepada sanak saudara hukumnya wajib bagi seseorang yang mendapati tanda-tanda kematian, terutama jika ia meninggalkan harta yang banyak.


Pada ayat berikutnya, Allah memperingatkan baik pewasiat maupun orang-orang yang mendengar wasiat agar berlaku adil dalam menjalankan amanat tersebut. 


Menurut Abu Hayyan, wasiat dapat dilakukan ketika pewasiat memiliki harta yang banyak. Ia mengartikan lafaz “khairan” dalam ayat tersebut, yang secara asali berarti “kebaikan,” sebagai harta, sebagaimana juga dijelaskan oleh Mujahid. Penafsiran ini mengindikasikan bahwa Allah mendorong umat Islam untuk memiliki harta yang cukup guna dimanfaatkan untuk kebaikan.


Namun, Az-Zuhri berpendapat bahwa kewajiban wasiat tetap berlaku, baik harta yang dimiliki sedikit maupun banyak (Al-Bahrul Muhith, [Beirut: Darul Fikr, 2010], jilid II, hlm. 157).


Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya, Marah Labid, meriwayatkan dari Al-Asham bahwa perintah wasiat dalam Surah Al-Baqarah ayat 180 turun karena pada masa itu banyak orang memberikan wasiat kepada pihak yang bukan kerabat untuk mencari kemuliaan, sementara kerabat mereka dibiarkan dalam kemiskinan dan kefakiran. Oleh karena itu, Allah mewajibkan wasiat pada awal periode Islam untuk memastikan keadilan bagi kerabat (Marah Labid, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1417 H], jilid I, hlm. 59).


Perintah berwasiat ini bersifat wajib sebelum turunnya ayat-ayat tentang warisan, yang kemudian menasakh (mengganti) hukum perintah wasiat tersebut. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan:


اشتملت هذه الأية الكريمة على الأمر بالوصية للوالدين والأقربين. وقد كان واجبا- على أصح القولين- قبل نزول أية المواريث, فلما نزلت أية الفرائض نسخت هذه وصارت المواريث المقدرة فريضة من الله يأخذها أهلوها حتما من غير وصية ولا تحمل منة الموصى


Artinya: “Ayat yang mulia ini mengandung perintah memberikan wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat. Perintah tersebut berlaku wajib -menurut yang paling sahih dari dua pendapat- sebelum turunnya ayat tentang waris. Setelah turunnya ayat waris, ayat ini dinaskh (hukumnya) dan warisan yang dipastikan (bagiannya) diwajibkan oleh Allah untuk kemudian diambil oleh keluarga (mayit) dengan pasti tanpa adanya wasiat ataupun menunggu pemberian dari pewasiat.” (Tafsir Al-Qur’anul Adzim, [Riyadh, Dar Thayyibah linnasyri wa Tauzi’: 1999 M/ 1420 H] juz I, halaman 492).


Terhapusnya hukum dari ayat ini juga dikuatkan dengan hadits yang menjelaskan bahwa ahli waris tidak mendapatkan wasiat.


عن عمرو بن خارجة قال: سمعت رسول الله صم يخطب وهو يقول: "إن الله قد أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث


Artinya: “Diriwayatkan dari Amr bin Kharijah berkata: Rasulullah berkhutbah, ia bersabda: 'Sesungguhnya Allah memberikan kepada setiap yang memiliki hak apa yang berhak untuknya, dan tidak ada wasiat bagi pewaris',” (HR Tirmidzi).


Terkait nasakh (penghapusan) hukum wasiat dalam Surah Al-Baqarah ayat 180 oleh ayat-ayat warisan, para ulama memiliki perbedaan pendapat:

 

Pertama, menurut Ibnu Abbas, kewajiban berwasiat hanya dinasakh untuk kerabat yang mendapat bagian warisan. Namun, kewajiban tersebut tetap berlaku bagi kerabat yang tidak mendapatkan warisan, seperti orang tua atau kerabat yang bukan ahli waris, misalnya karena mereka non-Muslim yang tidak berhak atas warisan menurut syariat. Ali bin Abi Thalib RA menyatakan, “Barang siapa yang tidak berwasiat kepada kerabatnya yang tidak mendapat bagian warisan sebelum kematiannya, maka amalnya diakhiri dengan kemaksiatan.”


Kedua, mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban wasiat dinasakh secara menyeluruh oleh ayat-ayat warisan. Meski demikian, berwasiat kepada kerabat yang tidak mendapatkan warisan dihukumi sunnah (dianjurkan). (Mahmud al-Alusi, Ruhul Ma’ani, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1415 H], jilid I, hlm. 452).


Kemudian, besaran wasiat yang dapat diberikan kepada kerabat yang bukan ahli waris dibatasi maksimal sepertiga dari total harta. Hal ini diatur dalam syariat Islam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqas:


قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ؟ قَالَ: (لَا). قُلْتُ: فَالشَّطْرُ؟ قَالَ: (لَا). قُلْتُ: الثُّلُثُ؟ قَالَ: (فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ، وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ، حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ


Artinya: Aku berkata: "Ya Rasulullah, apakah aku diperbolehkan berwasiat dengan seluruh hartaku?" Rasul menjawab: "Tidak".


"Separuh, wahai Nabi", tanya Sa'ad. "Tidak", jawab Nabi. "Apakah sepertiga?", tanya Sa'ad lagi. Nabi Saw bersabda: "Maka sepertiga diperbolehkan. Sepertiga itu banyak, sungguh engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan menengadahkan tangan mereka meminta-minta. Sungguh apa yang engkau nafkahkan semuanya adalah sedekah, hingga suapan yang engkau berikan kepada istrimu." (HR. Bukhari).


Lebih lanjut, pada ayat selanjutnya, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari merubah wasiat ialah dengan mengingkarinya, menguranginya, mengganti sifatnya atau dengan perubahan lainnya. Orang-orang yang melakukan perubahan terhadap wasiat tersebut mendapatkan dosa sesuai dengan apa yang mereka ubah. Sebab Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Al-Bantani, 59).


Dalam ayat berikutnya, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa seseorang yang khawatir akan kesalahan atau dosa dalam wasiat pewasiat, lalu berupaya mendamaikan pihak penerima wasiat dengan pewasiat secara adil, tidaklah berdosa. Sebaliknya, tindakan tersebut adalah kebaikan, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Secara keseluruhan, wasiat waris awalnya diwajibkan dalam Al-Qur’an sebelum turunnya ayat-ayat tentang pembagian warisan. Setelah ayat warisan diturunkan, Islam mengatur pembagian harta waris secara rinci untuk mencegah perselisihan. Melalui ayat tersebut, Allah juga mengisyaratkan harta dengan lafaz “khairan”, yang bermakna kebaikan. Ini menunjukkan bahwa Allah mendorong umat Islam untuk mengelola harta dengan baik agar dapat memberi manfaat bagi sesama.


Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Jakarta