Tafsir

Tafsir Ad-Dukhan Ayat 1-4: Makna Malam yang Diberkahi dan Penentuan Takdir Manusia

Kam, 22 Februari 2024 | 16:00 WIB

Tafsir Ad-Dukhan Ayat 1-4: Makna Malam yang Diberkahi dan Penentuan Takdir Manusia

Ilustrasi: kitab tafsir (via bitterwinter.org)

Tulisan ini akan menjelaskan ragam tafsir ulama dan argumentasinya terkait surat Ad-Dukhan Ayat 1-4. Meliputi makna malam yang dipenuhi keberkahan, malam di mana segala keputusan suratan takdir ditentukan untuk umat manusia selama satu tahun ke depan. 

 

Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Ad-Dukhan Ayat 1-4:
 


 حمٓ ١ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلۡمُبِينِ ٢ إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةٖ مُّبَٰرَكَةٍۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ ٣ فِيهَا يُفۡرَقُ كُلُّ أَمۡرٍ حَكِيمٍ ٤ 

 

Haamiiim (1). Wal kitaabil mubiin (2). Innaa anzalnaahu fii lailatim mubaarakah. Innaa kunnna mundziriin (3). Fiihaa yufraqu ullu amrin hakiim (4).


 

Artinya: “(1) Ha mim. (2) Demi Kitab (Al-Qur’an) yang jelas. (3) Sesungguhnya Kami (mulai) menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sesungguhnya Kamilah pemberi peringatan. (4) Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. 


 

Ragam Tafsir Ad-Dukhan Ayat 1-4

Ayat di atas secara garis besar menjelaskan Al-Qur’an diturunkan pada malam yang dipenuhi berkah, malam yang disebutkan pula sebagai malam penentuan takdir setiap manusia untuk satu tahun ke depan.


 

Terkait ayat kedua, Allah bersumpah dengan lafal wal-kitabil mubin, Syekh Nawawi Al-Bantani menjelaskan bahwa maksud dari lafal al-kitab pada ayat tersebut bisa memiliki tiga makna, yaitu kitab-kitab terdahulu yang diturunkan kepada para Nabi, Lauhul Mahfudz atau Al-Qur’an. (Nawawi Al-Bantani, Marah Labid, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah], juz II, halaman 391).

 

Pada ayat ketiga disebutkan bahwa “Allah menurunkannya pada malam yang diberkahi”. Ulama berbeda pendapat terkait maksud dari malam yang disebutkan pada ayat di atas. Ada yang mengatakan maksud dari malam yang disebutkan ialah malam Nisfu Sya’ban. Namun mayoritas ulama mengatakan maksudnya ialah malam Lailatur Qadar.
 

 

اخْتَلَفُوا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ الْمُبَارَكَةِ، فَقَالَ الْأَكْثَرُونَ: إِنَّهَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، وَقَالَ عِكْرِمَةُ وَطَائِفَةٌ آخَرُونَ: إِنَّهَا لَيْلَةُ الْبَرَاءَةِ، وَهِيَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ

 

Artinya: “Ulama berbeda pendapat terkait makna malam yang diberkahi. Mayoritas mengatakan maksudnya ialah malam lailatur qadar. Sedangkan Ikrimah dan segolongan lain mengatakan maksudnya ialah malam pembebasan yaitu malam nisfu Sya’ban. (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut: Dar Ihya Turats Al-Arabi], juz XXVII, halaman 652).


 

Perbedaan pendapat di antara ulama terkait maksud dari malam yang diberkahi pada ayat ketiga tersebut menghasilkan perbedaan pula terkait malam mana yang menjadi penentuan takdir umat manusia untuk setahun ke depan yang disebutkan ayat selanjutnya. Sebab dhamir “ha” pada ayat keempat kembali pada malam yang diberkahi pada ayat sebelumnya.


 

Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan beberapa riwayat dari dua pendapat tersebut, di antaranya:


 

Pertama, riwayat yang mengatakan maksud dari malam yang diberkahi ialah malam lailatul qadar. Imam At-Thabari di antaranya mengutip riwayat dari Mujahid bin Musa yang bersumber dari Rabiah bin Kultsum. Berikut adalah riwayatnya:
 


حدثنا مجاهد بن موسى، قال: ثنا يزيد، قال: أخبرنا ربيعة بن كلثوم، قال: كنت عند الحسن، فقال له رجل: يا أبا سعيد، ليلة القدر في كلّ رمضان؟ قال: إي والله، إنها لفي كلّ رمضان، وإنها الليلة التي يُفرق فيها كل أمر حكيم، فيها يقضي الله كلّ أجل وأمل ورزق إلى مثلها 

 

Artinya: “Menceritakan kepadaku Mujahid bin Musa, berkata: menceriyakan kepadaku Yazid, berkata: menceritakan kepadaku Rabiah bin Kultsum, berkata: aku di sisi Hasan. Kemudian seorang laki-laki bertanya kepadanya: “wahai Abu Said, apakah lailatul qadar itu setiap Ramadhan?”. Hasan menjawab: “iya, lailatul qadar ada di setiap Ramadhan, pada malam itu diputuskan segala keputusan, pada malam itu Allah memutuskan ajal, cita-cita, rezeki dan yang lainnya”.


 

Kedua, riwayat yang mengatakan maksud dari malam tersebut ialah malam Nisfu Sya’ban, di antaranya Imam At-Thabari mengutip dari Fadal bin Shabah yang bersumber dari Ikrimah. 
 


حدثنا الفضل بن الصباح، والحسن بن عرفة، قالا ثنا الحسن بن إسماعيل البجلي، عن محمد بن سوقة، عن عكرمة في قول الله تبارك وتعالى (فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ) قال: في ليلة النصف من شعبان، يبرم فيه أمر السنة، وتنسخ الأحياء من الأموات، ويكتب الحاج فلا يزاد فيهم أحد، ولا ينقص منهم أحد

 

Artinya: “Menceritakan kepadaku Fadhal bin Shabah dan Hasan bin Arafah, berkata: menceritakan kepaku Hasan bin Ismail Al-Bajili dari Muhammad bin Suqah dari Ikrimah terkait firman Allah (fiha yufraqu kulli amrin hakim) ia berkata: itu adalah malam Nisfu Sya’ban, di dalamnya ditentukan takdir selama satu tahun, dihapuskan yang hidup dari yang mati, ditentukan siapa yang akan berhaji dan tidak, tidak akan ada penambahan maupun pengurangan. (Imam At-Thabari, Tafsir At-Thabari, [Makkah: Daru Thurabiyah wa At-Turats], juz XXII, halaman 10).

 

Setelah menyebutkan dua pendapat terkait makna malam yang diberkahi, riwayat pendukung serta argumentasinya, Imam At-Thabari menjelaskan bahwa ia mendukung pendapat yang mengatakan bahwa malam yang dimaksud pada ayat di atas ialah malam lailatul qadar. Ia berpendapat demikian sebab pada malam itu juga diturunkan Al-Qur’an. (At-Thabari, halaman 11).

 

Sementara itu, Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya berkata:
 


وقيل: يبدأ في استنساخ ذلك من اللوح المحفوظ ليلة البراءة، ويقع الفراغ في ليلة القدر، فتدفع نسخة الأرزاق إلى ميكائيل، ونسخة الحروب إلى جبريل، وكذلك الزلازل، والصواعق، والخسف، ونسخة الأعمال إلى إسرافيل صاحب سماء الدنيا، ونسخة المصائب إلى ملك الموت

 

Artinya: “Dikatakan bahwa penulisan (takdir) dimulai dari Lauhul Mahfudz pada malam al-bara’ah (Nisfu Sya’ban) dan selesai pada malam lailatur qadar. Kemudian tulisan rezeki diserahkan pada malaikat Mikail, tulisan peperangan diserahkan pada Jibril, juga berlaku untuk gempa, jeritan dan longsoran. Tulisan amal diserahkan pada Israfil pemilik langit dunia. Sedangkan tulisan yang berkaitan dengan musibah diserahkan pada malaikat maut. (Al-Bantani, halaman 391).


 

Kesimpulannya, baik penentuan takdir tersebut terjadi pada malam Nisfu Sya’ban maupun malam Lailatul Qadar, tugas kita ialah selalu berusaha, berikhtiar yang terbaik menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni PP Khas Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly
Saidussidiqiyah Jakarta.