Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 155-157: 4 Makna Kalimat “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” Menurut Para Ahli Tafsir

Sel, 27 Desember 2022 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 155-157: 4 Makna Kalimat “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” Menurut Para Ahli Tafsir

Tafsir Al-Baqarah Ayat 155-157: 4 Makna Kalimat “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un”.

Berikut ini adalah teks, terjemahan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Baqarah ayat 155-157:



وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ (155) اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ (156) اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ (157)



(155) Wa lanabluwannakum bisyai'im minal-khaufi wal-jû‘i wa naqshim minal-amwâli wal-anfusi wats-tsamarât, wa basysyirish-shâbirîn. (156) Alladzîna idzâ ashâbat-hum mushîbah, qâlû innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn. (157) Ulâ'ika ‘alaihim shalawâtum mir rabbihim wa raḫmah, wa ulâ'ika humul-muhtadûn.
 

 


Artinya: “(155) Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar, (156) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali). (157) Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”


 


Ragam Tafsir Al-Baqarah Ayat 155-157

Syekh Nawawi Banten (1316 H) terkait lafal “wa lanabluwannakum”, menjelaskan bahwa dalam hal ini Allah bersumpah dengan Dzat-Nya sendiri. “Demi Allah, akan Kami uji kalian seperti orang yang menguji tingkah kalian apakah kalian akan bersabar atas ujian yang ada dan menerima putusan qadha atau tidak”. Ujian tersebut tak lain hanyalah “bisyai'im minal-khaufi wal-jû‘i wa naqshim minal-amwâli wal-anfusi wats-tsamarât”, yakni dengan hanya sedikit dari ketakutan (karena musuh), kelaparan (ketika paceklik), kurangnya harta dan jiwa (dengan adanya kematian) serta kurangnya buah-buahan (karena paceklik).

 


Imam As-Syafi’i menjelaskan maksud dari kata “khauf” ialah takut kepada Allah. “Al-Ju’” ialah puasa di bulan Ramadhan. Lafal “wa naqshim minal-amwâli” maksudnya ialah zakat dan sedekah. “Wal-anfusi” ialah sakit. Sedangkan “wats-tsamarât” maksudnya ialah matinya anak.

 

Terkait lafal “wa basysyirish-shâbirîn”, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa khitab yang ditujukan bisa jadi untuk diri Nabi Muhammad sendiri atau untuk setiap hamba yang mungkin mendapatkannya (dengan bersabar). 
 

 

Adapun lafal “alladzîna idzâ ashâbat-hum mushîbah, qâlû”, yang sebagian mufassir mengatakan merupakan kriteria orang sabar pada ayat sebelumnya, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa kabar bahagia tersebut diperuntukkan pada orang-orang yang ketika tertimpa musibah mereka berkata dengan lisan serta diikuti hati mereka “innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn”, kami adalah hamba Allah dan kami akan kembali kepada-Nya setelah kematian. Sedangkan makna “mereka mendapat shalawat dan rahmat serta hidayah” ialah mendapatkan ampunan, kelembutan dan hidayah, karena mereka menyerahkan urusannya kepada qadha Allah. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimit Tanzil, juz I, halaman 37).


 

Ketiga ayat di atas saling berkaitan dan berkelindan membentuk penjelasan. Mulai dari penjelasan jenis ujian dari Allah, kriteria orang sabar yang Allah beri kabar gembira, serta balasan yang akan didapat jika bisa melakukannya. Sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya berikut ini:

 

ثم بين تعالى من الصابرون الذين شكرهم، قال: اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ، أي تسلوا بقولهم هذا عما أصابهم، وعلموا أنهم ملك لله يتصرف فى عبيده بما يشاء، وعلموا أنه لا يضيع لديه مثفال ذرة يوم القيامة، فأحدث لهم ذلك اعترافهم بأنهم عبيده، وأنهم إليه راجعون في الدار الأخرة. ولهذا أخبر تعالى عما أعطاهم على ذلك فقال: اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ، أي ثناء من الله عليهم ورحمة


 

Artinya: “Kemudian Allah menjelaskan siapakah gerangan orang-orang sabar yang diberi kabar gembira dengan firman-Nya: “A​​​lladzîna idzâ ashâbat-hum mushîbah, qâlû innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn”. Maksudnya ialah dengan ucapan tersebut mereka menerima ujian dari-Nya. Juga karena mereka mengetahui bahwa mereka milik Allah dan Allah bebas melakukan apa saja terhadap hamba-Nya. Allah tidak akan menyia-nyiakan barang seberat dzarrahpun di hari akhir. Hal tersebut menimbulkan pengakuan pada diri mereka bahwa mereka adalah hamba-Nya dan akan kembali pada-Nya di akhirat. Karenanya Allah mengabarkan apa yang akan diberikan kepada mereka dengan firman selanjutnya: “Ulâ'ika ‘alaihim shalawâtum mir rabbihim”, yakni mendapatkan pujian dan rahmat dari Allah.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah lin Nasyri wa Tauzi’: 1999 M/ 1420 H], juz I, halaman 467).


 

Adapun dalam kalimat istirja’, yaitu “innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn”, Abu Hayyan (wafat 1344 M) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa terdapat beberapa pendapat para ahli tafsir. Berikut ini penjelasannya:
 

 

وللمفسرين فى هاتين الجملتين المقولتين أقوال: أحدها: أن نفوسنا وأموالنا وأهلينا لله لا يظلمنا فيما يصنعه بنا. الثاني: أسلمنا الأمر لله ورضينا بقضائه: وإنا إليه راجعون. يعني: للبعث لثواب المحسن ومعاقبة المسئ. الثالث: راجعون إليه في جبر المصاب وإجزال الثواب. الرابع: أن معناه إقرار بالمملكة في قوله: إنا لله، وإقرار بالهلكة في قوله: :وإنا إليه راجعون

 


Artinya: “Para ahli tafsir memiliki beberapa pendapat terkait makna kedua jumlah (kalimat istirja’) yang ada. Pertama bahwa seluruh jiwa, harta serta keluarga kita ialah milik Allah. Ia tidak zalim terhadap apa yang dilakukan terhadap kita. Kedua, kita memasrahkan semua urusan kepada Allah dan ridha terhadap keputusan-Nya, (kami akan kembali kepada-Nya) maksudnya ialah ketika dibangkitkan untuk menerima pahala bagi yang berbuat baik dan siksaan bagi yang bermaksiat. Ketiga, kembali kepada Allah maksudnya dalam menghadapi musibah dan pemberian ganjaran. Keempat, makna (kita milik Allah) ialah pengakuan penguasaan penuh Allah, sedangkan (kita kembali pada-Nya) ialah pengakuan akan kematian kita.” (Abu Hayyan, Al-Bahrul Muhith fit Tafsir, [Beirut, Darul Fikr: 1431 H/2010 M], juz II, halaman 57).

 

 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.