Tafsir

Tafsir Ali-Imran Ayat 159: Pentingnya Tata Krama Sosial dalam Kehidupan Bermasyarakat

Selasa, 7 Januari 2025 | 13:00 WIB

Tafsir Ali-Imran Ayat 159: Pentingnya Tata Krama Sosial dalam Kehidupan Bermasyarakat

Sumber: Canva/NU Online

Islam dalam ajarannya tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antar sesama manusia. Islam tidak semata-mata membahas tentang menegakkan shalat, memperbaiki syahadat, atau menahan lapar dengan berpuasa. Sebaliknya, etika dalam bertutur kata, berinteraksi, dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain juga merupakan aspek yang fundamental dalam Islam.


Istilah agama "antroposentris" tampaknya cocok untuk menggambarkan bahwa Islam sangat peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan. Mengingat dalam kehidupan nyata, manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari hubungan dengan sesama. Oleh karena itu, menjaga tata krama dan etika dalam lingkungan sosial menjadi hal yang sangat penting menurut ajaran Islam.


Salah satu ayat Al-Qur’an, yakni surah Ali Imran ayat 159, menyampaikan pesan kepada umat manusia untuk menjaga tata krama dalam menjalin hubungan dengan sesama. Allah berfirman:


فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ


fa bimâ raḫmatim minallâhi linta lahum, walau kunta fadhdhan ghalîdhal-qalbi lanfadldlû min ḫaulika fa‘fu ‘an-hum wastaghfir lahum wa syâwir-hum fil-amr, fa idzâ ‘azamta fa tawakkal ‘alallâh, innallâha yuḫibbul-mutawakkilîn


Artinya: “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”


Tafsir Ibnu Katsir

Ibnu Katsir, dalam Tafsirnya Jilid II (hlm. 148), menjelaskan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Sikap lemah lembut Nabi, yang berasal dari kata "layn," bersumber dari rahmat Allah yang dianugerahkan kepadanya. Dari rahmat inilah Nabi menunjukkan kelembutan dalam bersikap kepada kaumnya.


أَيُّ شَيْءٍ جَعَلَكَ لَهُمْ لَيِّنًا لَوْلَا رَحْمَةُ اللَّهِ بِكَ وَبِهِمْ


Artinya; “Hal apakah yang menjadikanmu berlemah lembut kepada mereka kecuali bukan karena rahmat Allah kepadamu dan kepada mereka.” 


Jika Nabi justru bertindak sebaliknya—berbicara dengan buruk dan berhati keras—niscaya para sahabat tidak akan mengindahkan beliau dan akan berpaling serta meninggalkannya.


الْفَظُّ: الْغَلِيظُ ، [وَ](٦) الْمُرَادُ بِهِ هَا هُنَا غَلِيظُ الْكَلَامِ؛ لِقَوْلِهِ بَعْدَ ذَلِكَ: ﴿غَلِيظَ الْقَلْبِ﴾ أَيْ: لَوْ كُنْتَ سيِّئَ الْكَلَامِ قَاسِيَ الْقَلْبِ عَلَيْهِمْ لَانْفَضُّوا عَنْكَ وَتَرَكُوكَ، وَلَكِنَّ اللَّهَ جَمَعَهُمْ عَلَيْكَ، وَأَلَانَ جَانِبَكَ لَهُمْ تَأْلِيفًا لِقُلُوبِهِمْ


Artinya: “Kata Fazhzh semakna dengan kata al-ghaliz yang berarti berbicara kasar karena firman Allah sesudahnya (kerasnya hati): sekiranya engkau (Muhammad) buruk tutur katanya, keras hatinya kepada mereka pasti mereka akan meninggalkanmu. Akan tetapi, Allah membuat mereka berkumpul (bergaul) denganmu. Memperindah perangaimu kepada mereka agar dapat melunakkan hati mereka.”


Tafsir Al-Biqa’i

Menurut Burhanuddin Al-Biqa'i, ayat 159 memiliki dimensi historis karena masih berkaitan dengan ayat sebelumnya. Ayat ini merujuk pada peristiwa saat Nabi dan para sahabat mengalami kekalahan dalam Perang Uhud. Kekalahan tersebut disebabkan oleh sebagian sahabat yang tidak mengindahkan amanat Nabi untuk tetap berada di posisi mereka hingga perintah diberikan.


Pasca peristiwa itu, Allah menasihati Nabi untuk tetap bersikap ramah dan lemah lembut kepada mereka, meskipun mereka telah melanggar perintah, bersikap tidak sabar, dan menunjukkan egoisme. Al-Biqai menjelaskan dalam Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayat was Suwar Jilid V (Kairo, Darul Kitab Al-Islami, t.t.: 106):

 

لَمّا فَرَغَ مِن وعْظِ الصَّحابَةِ - رَضِيَ اللَّهُ (تَعالى) عَنْهم - أتْبَعَهُ تَحْبِيبَ النَّبِيِّ ﷺ فِيما فَعَلَ بِهِمْ مِنَ الرِّفْقِ؛ واللِّينِ؛ مَعَ ما سَبَّبَ الغَضَبَ المُوجِبَ لِلْعُنْفِ؛ والسَّطْوَةِ؛ مِنَ اعْتِراضِ مَنِ اعْتَرَضَ عَلى ما أشارَ بِهِ؛ ثُمَّ مُخالَفَتِهِمْ لِأمْرِهِ في حِفْظِ المَرْكَزِ؛ والصَّبْرِ؛ والتَّقْوى؛ ثُمَّ خِذْلانِهِمْ لَهُ؛ وتَقْدِيمِ أنْفُسِهِمْ عَلى نَفْسِهِ الشَّرِيفَةِ؛ ثُمَّ عَدَمِ العَطْفِ عَلَيْهِ؛


Artinya: “Tatkala usai menasehati para sahabat (di ayat sebelumnya), Allah meneruskannya dengan menjadikan Nabi dicintai dengan sikap lemah lembut dan belas kasih Nabi yang dilakukannya kepada mereka. Padahal pembangkangan mereka dengan arahan Nabi sendiri untuk menjaga markas, bersabar, bertakwa, penghinaan mereka dengan Nabi, rasa egois, anti-simpatik yang bisa menyebabkan Nabi marah lalu berlaku kasar.” 


Tafsir Al-Munir

Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir Jilid IV (Damaskus, Darul Fikr, 1991: 139) sama seperti mufasir di atas, menghubungkan ayat ini dengan perangainya Rasulullah saw. Tujuannya agar beliau diikuti dan diteladani karena beliaulah uswatun hasanah (suri teladan yang baik). 


Beliau tetap berlaku luhur, mengayomi, muamalah bersama para sahabat dengan cara yang baik, terus bermusyawarah dengan mereka terkait kemaslahatan dunia dan beragam peristiwa yang akan dihadapi.

 

Kendatipun, sebelumnya para sahabat telah melanggar apa yang diperintahkan Nabi kepada mereka. Namun di situlah, Nabi dengan keluhuran akhlaknya, kebijaksanaannya dalam memimpin sebagai rahmat bagi alam semesta.


Aplikasi Tata Krama Sosial

Apa yang terkandung dalam ayat tersebut kiranya perlu terus direfleksikan hingga saat ini. Nilai-nilai sosial, tata krama, dan sopan santun merupakan komponen penting dalam kehidupan bermasyarakat.


Islam tidak memandang siapa pun berdasarkan gelar atau kedudukan yang dimilikinya, baik dalam strata sosial, seperti pejabat, pemimpin, imam, maupun pemuka agama. Ketika seseorang bergaul dan menjalin hubungan dengan sesama, ia tetap diwajibkan menjaga etika dan tata krama.


Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kedudukan beliau yang sangat mulia di sisi Allah—gelar sebagai nabi terakhir, pemimpin para rasul, serta penerima mukjizat Al-Qur’an yang abadi hingga hari kiamat—tidak menjadikan beliau sombong atau merendahkan orang lain. Sebaliknya, beliau senantiasa bersikap ramah, rendah hati, dan penuh kemuliaan dalam melayani siapa pun yang mendatanginya maupun yang ditemuinya.

 

Dalam salah satu sabdanya, Nabi memberikan pesan tentang Islam yang terbaik, yang ia sampaikan sebagai jawaban atas pertanyaan seseorang.


قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَىُّ الإسْلامِ أَفْضَلُ؟ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

 

Artinya: “Wahai Rasulullah, Islam yang paling baik itu apa? Maka beliau menjawab: “Orang yang muslim lain selamat dari lisan dan perbuatannya.” (H.R. Bukhari)

 

Ibnu Baththal, dalam Syarh Shahih Bukhari Jilid I (Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 1993: 62), menjelaskan bahwa sabda Nabi tersebut merupakan anjuran untuk sepenuhnya meninggalkan tindakan yang dapat menyakiti kaum Muslimin, baik melalui lisan maupun perbuatan.

 

Hadits tersebut mencerminkan pentingnya menjaga tata krama dan adab dalam pergaulan sehari-hari di setiap dimensi lingkungan. Seseorang akan dihargai dan dihormati oleh orang lain jika memiliki tata krama yang baik.

 

Kehadirannya juga akan membuat orang lain merasa nyaman. Sebaliknya, jika berperilaku buruk—seperti melecehkan, menghardik, atau menggunjing—maka orang lain tidak akan menghormati atau menghargainya.


Di lingkungan keluarga, nilai-nilai ini dapat diterapkan dengan berbicara lembut, menjaga ucapan agar tidak menyakiti hati anggota keluarga, terutama anak-anak yang masih belajar dari teladan orang tua.

 

Selain itu, kebiasaan memaafkan kesalahan juga penting diterapkan. Dalam menghadapi perselisihan antar anggota keluarga, prinsip memaafkan dan mengutamakan kasih sayang harus dikedepankan.


Di lingkungan masyarakat, menjaga hubungan harmonis dilakukan dengan saling memahami dan sebisa mungkin menghindari perselisihan. Sementara di lingkungan kerja, hal ini dapat diwujudkan dengan bersikap ramah, menghindari sikap otoriter, serta selalu bekerja sama dan mendukung satu sama lain.


Dalam dunia dakwah dan pendidikan, pesan-pesan keagamaan sebaiknya disampaikan secara persuasif dan penuh kasih sayang agar mudah diterima. Selain itu, praktik keteladanan menjadi hal yang tak terpisahkan, karena perlunya keselarasan antara apa yang diajarkan dengan apa yang dilakukan sehari-hari.


Teladan Nabi Muhammad SAW dalam bersikap baik sesuai dengan tata krama sosial menjadi dasar penting dalam berinteraksi, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun dunia dakwah.

 

Meskipun Nabi memiliki posisi yang sangat mulia di sisi Allah sebagai pembawa risalah Islam, beliau tetap tunduk pada norma sosial dan menunjukkan sikap rendah hati dalam berinteraksi.


Dengan menerapkan nilai-nilai tata krama sosial ini, masyarakat dapat membangun hubungan yang harmonis dan penuh empati. Pesan universal dari surah Ali-Imran ayat 159 mengajarkan bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga memberikan panduan tentang bagaimana hidup berdampingan dengan sesama secara bermartabat. Wallahu a'lam


Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam