Tafsir

Tafsir Surat Ad-Dhuha Ayat 1-3, Terjemah, dan Keutamaannya

Sel, 30 Agustus 2022 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Ad-Dhuha Ayat 1-3, Terjemah, dan Keutamaannya

Tafsir surat ad-Dhuha ayat 1-3.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, asbabun nuzul, keutamaan surat dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat ad-Dhuha ayat 1-3:

 

وَالضُّحى (1) وَاللَّيْلِ إِذا سَجى (2) ما وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَما قَلى (3)

 

Waḍ-ḍuḥā. Wal-laili iżā sajā . Mā wadda'aka rabbuka wa mā qalā.


Artinya, "(1) Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah), (2) dan demi malam apabila telah sunyi. (3) Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu."

 

Surat ad-Dhuha termasuk surat makiyah, berjumlah 11 ayat, 40 kalimat dan 142 huruf.  Surat ini dinamakan dengan surat ad-Dhuha berdasarkan awal suratnya, yakni Allah bersumpah dengan waktu dhuha. 


Asbabun Nuzul Surat ad-Dhuha

Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya memyebutkan beberpa riwayat terkait asbabun nuzul tiga ayat surat ad-Dhuha sebagai berikut: 


Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan selainnya dari Jundab, ia berkata: 'Nabi saw sakit sehingga tidak qiyamul lail selama  satu atau dua malam. Lalu seorang perempuan mendatanginya seraya berkata: 'Hai Muhammad, aku tidak melihat setanmu kecuali dia telah meninggalkanmu. Lalu Allah swt menurunkan ayat: '(1) Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah), (2) dan demi malam apabila telah sunyi. (3) Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu'."
 

Kedua, diriwayatkan oleh Sa'id bin Mansur al-Faryabi dari Jundab, ia berkata: Jibril melambatkan penurunan wahyu kepada Nabi saw, kemudian orang-orang musyrik berkata: " Allah sungguh telah meninggalkan Muhammad", kemudian turunlah ayat wadh dhuha.


Ketiga, diriwayatkan oleh al-Hakim dari Zaid bin Arqam, ia berkata: "Nabi Muhammad saw berdiam beberapa hari lantaran Jibril tidak menurunkan wahyu kepadanya. Kemudian Ummu Jamil istri Abi Lahab berkata: 'Aku tidak melihat sahabatmu kecuali telah meninggalkan dan membencimu.' Kemudian Allah menurunkan surat ad-Dhuha. (Wahbah bin Mustafa az-Zuhaili, at-Tafsirul Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XXX, halaman 283).
 

Kesunnahan Membaca Takbir setelah Surat ad-Dhuha dan Surat Setelahnya

Wahbah az-Zuhaili menyebutkan dalam tafsirnya, at-Tafsirul Munir, dari Imam as-Syafi'i bahwasanya disunahkan untuk membaca takbir dengan mengucapkan اللَّه أكبر atau اللَّه أكبر، لا إله إلا اللَّه، واللَّه أكبر setelah membaca surat ad-Dhuha dan seluruh surat setelahnya.
 

Ulama Qurra' atau ahli baca Al-Qur'an menyebutkan korelasi kesun​​​nahan​​​​​ takbir di membaca surat ad-Dhuha dan seluruh surat setelahnya karena ketika wahyu terlambat kepada Rasulullah saw dan terjeda beberapa waktu, kemudian malaikat datang memberikan wahyu kepadanya, yakni surat ad-Dhuha Rasulullah saw bertakbir karena bergembira. (Az-Zuhaili, at-Tafsirul Munir, juz, XXX halaman 280).

 

Keutamaan Surat ad-Dhuha

Al-Baidhawi menyebutkan keutamaan surat ini dalam tafsirnya sebagai berikut:
 

عن النبي صلّى الله عليه وسلم: من قرأ سورة والضحى جعله الله سبحانه وتعالى فيمن يرضى لمحمد صلّى الله عليه وسلم أن يشفع له وعشر حسنات، يكتبها الله سبحانه وتعالى له بعدد كل يتيم وسائل

 

Artinya, "Diriwayatkan dari Nabi saw: "Siapa saja membaca surat ad-Dhuha maka Allah akan menjadikanya orang yang ridhai oleh Nabi untuk diberikan syafaat kepadanya 10 kebaikan, Allah mencatat kebaikan untuknya sebanyak anak yatim dan orang yang meminta-minta". (Nasiruddin as-Syairazi al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wal Asrarut Ta'wil, [Beirut, Darul Ihya': 1418 H], juz V, halaman 230).

 

Ragam Tafsir Surat ad-Dhuha 

Syekh Nawawi al-Bantani mengatakan dalam tafsirnya, "Demi waktu dhuha", yakni awalnya siang saat matahari akan naik dan saat matahari memancarkan sinarnya. Pengkhususan waktu dhuha menjadi sumpah karena merupakan waktu di mana Allah berbicara dengan Nabi Musa as dan waktu di mana Nabi Musa as menakhlukkan para tukang sihir Fir'aun.
 

Dinukil dari Qatadah, Muqatil dan Ja'far as-Shadiq, yang dimaksud dengan dhuha adalah waktu Allah berbicara dengan Nabi Musa as; sedangkan yang dimaksud dengan malam adalah malam mi'raj. Dikatakan bahwa penyebutan satu waktu di siang hari (dhuha), sedangkan malam dengan keseluruhanya, karena siang adalah waktu bahagia dan istirahat, sedangakan malam adalah waktu kesedihan dan kemurungan. Ini merupakan isyarat bahwa kesedihan dan kegelihasan dunia akan terus-menerus dibandingkan kebahagiannya. Karena dhuha hanya satu waktu sedangakan malam ada beberapa waktu. (Muhammad Nawawi al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz II halaman 639).


Syekh Jalaluddin al-Mahali dalam tafsirnya memjelaskan kata "ma wadda'aka" dengan Tuhanmu tidak meninggalkanmu hai Muhammad. "Wama qala", dan tidak juga membencimu. (Jalaluddin al-Mahali, Tafsirul Jalalain, [Kairo, Darul Hadits], halaman 816).
 

Al-Baidhawi menafsirkan "mawaddaaka robuka", Allah tidak memisahkanmu seperti memisahkanya orang yang ditinggalkan. Senada dengan al-Baidhawi, Syekh Nawawi berkata: 'Urwah bin Zubair dan putranya, Hisyam dan Ibnu Abi Ablah, membaca dengan tanpa mentasydid huruf dzalnya (takhfif), yang bermakna Tuhanmu tidak meninggalkanmu hai Rasul paling mulia, mulai aku menurunkan wahyu kepadamu, sampai seperti perpisahan orang yang ditinggalkan. Lanjut al-Baidhawi, "mawa qola", aku tindak membencimu. Maf'ulnya "qala" dibuang karena sudah cukup disebutkan sebelumnya. Sedangkan Syekh Nawawi menafsirkannya dengan: 'Aku tidak membencimu sejak aku mencintaimu'.  (Nawawi al-Jawi, at-Tafsîrul Munîr, juz II, halaman 639; dan Nasiruddin as-Syairazi al-Baidhawi, Anwarut Tanzil, juz V, halaman 319).


Walhasil, dalam surat ad-Dhuha ayat 1-3, Allah bersumpah dengan dua macam tanda-tanda kebesaran-Nya, yaitu (1) dhuḥā atau waktu matahari naik sepenggalah bersama cahayanya; dan (2) malam beserta kegelapan dan kesunyiannya, bahwa Allah tidak meninggalkan Rasul-Nya, Muhammad saw, dan tidak pula memarahinya, sebagaimana orang-orang musyrik mengatakannya. Wallahu a'lam



Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM PCNU Purworejo

​​​​​​​