Tafsir

Tafsir Surat Ad-Dhuha ayat 7: Tak Mungkin Nabi Pernah Sesat

Jum, 2 September 2022 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Ad-Dhuha ayat 7: Tak Mungkin Nabi Pernah Sesat

Tafsir Surat Ad-Dhuha ayat 7: Tak Mungkin Nabi Pernah Sesat

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat ad-Dhuha ayat 7:

 

وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ

Wa wajadaka ḍhāllan fa hadā.

 

Artinya, "Dia mendapatimu sebagai seorang yang tidak tahu (tentang syariat), lalu Dia memberimu petunjuk (wahyu)".

 

Ragam Tafsir

Terkait makna kata "ḍhāllan" ada beberapa perbedaan penafsiran ulama. Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan maknanya adalah orang yang lupa; sehingga maknanya adalah Allah mendapatimu seorang yang lupa perkara nubuwah, dimana engkau dikehendakinya. (Syamsudin al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, [Mesir, Darul Kutub al-Misriyah: 1384 H/1964 M], juz XX, halaman 96).

 

Al-Baidhawi menafsirkan dengan tersesat dari mengetahui hikmah dan hukum; kemudian Allah memberi hidayah, mengajarinya lewat wahyu dan ilham serta taufik untuk mempelajarinya. (Nasiruddin as-Syarazi al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrorut Ta'wil, [Beirut, Darul Ihya': 1418 H], juz, VI halaman 913).

 

Syekh Nawawi Banten menafsirkannya dengan makna: "Allah mendapatimu sebagai orang yang kosong dari syari'at, kemudian Allah memberikan hidayah dengan menurunkan syari'at kepadamu (Muhammad)." (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz II, halaman 641).

 

Sementara Syekh Ali as-Shobuni menafsirkannya dengan makna tersesat dari pengetahuan syariat dan agama. Sehingga makna lengkapnya: "Allah mendapatimu sebagai orang yang tersesat dari mengatahui syariat dan agama, kemudian Allah memberikan hidayah kepadamu."

Beliau menguatkan penafsiran​​​​​​nya ini dengan surat Asyura ayat 25:


 
مَا كُنتَ تَدْرِى مَا ٱلْكِتَٰبُ وَلَا ٱلْإِيمَٰنُ 
 

Artinya, "Kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu."

 

As-Shabuni juga mengutip penafsiran Imam Jalaluddin al-Mahalli. Ia berkata: "Maksudnya Allah mendapatimu tersesat dari syariat yang engkau tetapi saat itu, kemudian Allah memberi hidayah kepadamu. Ada yang mengatakan Nabi tersesat di jalan kota Makkah di masa kecilnya kemudian Allah mengembalikan kepada kakeknya. (Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwatut Tafasir, [Kairo, Darus Shabuni: 1997 M/1417 H], juz III, halaman 546).

 

Terkait adanya angapan sebagian orang bahwa Nabi saw awalnya kafir kemudian diberi hidayah oleh Allah dan dijadikan sebagai Nabi-Nya, Imam Fakhrurrazi menjelaskan: 

 

وَأَمَّا الْجُمْهُورُ مِنَ الْعُلَمَاءِ فَقَدِ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَا كَفَرَ بِاللَّهِ لَحْظَةً وَاحِدَةً

 

Artinya, "Adapun jumhur ulama telah menyepakati bahwasanya Nabi saw tidak pernah sejenakpun kafir kepada Allah". (Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya’: 1420 H], juz XIII, halaman 791).

 

Senada dengan penjelasan Imam Fakhrurrazi, Syekh Ali As-Shabuni menukil pendapat Abu Hayyan dalam tafsirnya sebagai berikut:  
 

قال أبو حيان: لا يمكن حمله على الضلال الذي يقابله الهدى، لأن الأنبياء معصومون من ذلك 

 

Artinya, "Tidak mungkin makna ayat (ḍhāllan) dibawa pada makna tersesat (al-dhalal), yang maknanya adalah kebalikan dari petunjuk (al-huda). Karena para nabi terjaga dari tersesat atau ma'shum." (As-Shabuni, Shafwatut Tafasir, juz III, halaman 546). Wallahu a'lam.

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo

​​​​​​​