Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 239: Menjaga Shalat dalam Segala Kondisi
Senin, 30 Desember 2024 | 12:00 WIB
M Ryan Romadhon
Kolomnis
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 239, Allah SWT memerintahkan agar kita senantiasa menjaga shalat dalam segala keadaan, baik dalam kondisi sehat maupun sakit, menetap ataupun bepergian, mampu ataupun tidak, bahkan dalam situasi terancam bahaya (khauf) maupun aman. Shalat tetap wajib ditunaikan dalam kondisi apa pun, tanpa ada alasan untuk meninggalkannya.
Prinsip utama dari ayat ini adalah bahwa shalat harus dikerjakan dengan cara apa pun yang memungkinkan. Kewajiban ini tidak gugur sama sekali, bahkan jika hanya dapat dilaksanakan melalui isyarat mata, shalat tetap harus dilakukan.
Hal ini menunjukkan keistimewaan shalat dibandingkan ibadah lainnya. Ibadah lain dapat gugur jika terdapat uzur tertentu atau dilaksanakan dengan berbagai keringanan, sedangkan shalat tetap diwajibkan dalam berbagai keadaan, dengan penyesuaian cara pelaksanaannya sesuai kemampuan.
Berikut ini disajikan teks, transliterasi, terjemahan, serta kutipan beberapa tafsir ulama mengenai Surat Al-Baqarah ayat 239:
فَاِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا اَوْ رُكْبَانًاۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ ٢٣٩
fa in khiftum fa rijâlan au rukbânâ, fa idzâ amintum fadzkurullâha kamâ ‘allamakum mâ lam takûnû ta‘lamûn
Baca Juga
Tata Cara Pelaksanaan Shalat Tasbih
Artinya, “Jika kamu berada dalam keadaan takut, salatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Lalu, apabila kamu telah aman, ingatlah Allah (salatlah) sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 239)
Tafsir Al-Qurthubi
Imam Qurthubi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi Jilid III (Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964: 223) menjelaskan bahwa dalam ayat ini, Allah SWT menegaskan larangan meninggalkan shalat dalam keadaan apa pun.
Baca Juga
Tata Cara dan Ketentuan Qashar Shalat
Lebih lanjut, Imam Qurthubi menyebutkan bahwa Allah juga memberikan keringanan bagi hamba-hamba-Nya dengan membolehkan shalat dilakukan sambil berjalan kaki, berkendara di atas kuda, unta, atau kendaraan lainnya, dengan menggunakan isyarat kepala ke arah mana pun yang memungkinkan. Pendapat ini telah disepakati oleh para ulama.
Shalat yang dimaksud adalah shalat sendirian (munfarid) yang dilakukan seseorang saat menghadapi situasi yang mengancam keselamatan dirinya, seperti dalam keadaan perang, dikejar binatang buas, diintai oleh musuh, atau terancam bahaya banjir yang dapat menghanyutkannya.
Para ulama sepakat bahwa keringanan ini berlaku bagi siapa saja yang bergerak ke mana pun demi menyelamatkan dirinya.
Kesimpulannya, menurut Imam Qurthubi, setiap kondisi yang membuat seseorang khawatir akan keselamatannya menjadi alasan baginya untuk melaksanakan shalat sesuai keringanan yang disebutkan dalam ayat ini.
At-Tafsirul Munir
Menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab At-Tafsirul Munir Jilid II (Damaskus: Darul Fikr, 1991: 395), karena shalat memiliki kedudukan yang sangat penting, Islam tidak memperkenankan umatnya meninggalkan shalat dalam kondisi apa pun. Oleh karena itu, Syekh Wahbah menegaskan bahwa Allah SWT berfirman sebagai berikut:
لا عذر لأحد في ترك الصلاة، حتى في حال الخوف على النفس أو المال أو العرض من العدو. فإن خفتم أي ضرر من القيام، فصلوا كيفما كان راجلين (مشاة) أو ركبانا. فإذا أمنتم أي زال الخوف عنكم، فاذكروا الله واعبدوه، واشكروه على نعمة الأمن، كما علمكم من الشرائع، وكيفية صلاة الأمن، ما لم تكونوا تعلمون.
Artinya: “Tidak ada alasan apapun yang dapat dipakai seseorang untuk meninggalkan shalat, bahkan dalam keadaan terancam jiwanya, hartanya, atau kehormatannya oleh musuh pun tidak boleh meninggalkan shalat.
Kalau kamu khawatir terkena mudarat apabila berdiri, shalatlah sebisanya, sambil berjalan atau berkendaraan. Kalau kamu sudah aman (yakni kamu sudah tidak terancam bahaya), ingatlah kepada Allah dan sembahlah Dia, bersyukurlah atas anugerah keamanan itu, sebagaimana Dia telah mengajarimu aturan-aturan syariat dan tata cara shalat aman yang tadinya tidak kamu ketahui.”
Kewajiban Shalat dalam Segala Kondisi
Menurut penjelasan Syekh Wahbah, shalat tidak gugur dalam keadaan apa pun dan tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apa pun, bahkan ketika berhadapan dengan musuh, di tengah peperangan, atau saat mengalami sakit keras. Islam telah menetapkan tata cara pelaksanaan shalat yang sesuai dengan berbagai kondisi.
Dalam keadaan takut (terancam bahaya), shalat tetap dapat dilakukan sambil berkendara, berjalan, atau berdiri menggunakan isyarat. Ketika sakit, shalat dapat dilaksanakan sambil berdiri, duduk, terlentang, berbaring miring, dengan menggunakan isyarat mata untuk rukun-rukunnya, atau bahkan hanya dengan mengerjakan rukun-rukun shalat di dalam hati, sebagaimana diatur oleh mazhab Syafi'i, Maliki, dan lainnya.
Nabi SAW juga bersabda kepada Imran bin Hushain:
صلّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لم تستطع فعلى جنب
Artinya: “Shalatlah sambil berdiri. Kalau tidak bisa, sambil duduk. Kalau tidak bisa, sambil berbaring!” (HR. Al-Bukhari)
Lebih lanjut, Syekh Wahbah menjelaskan bahwa shalat tidak gugur dalam keadaan apa pun karena ia berfungsi untuk mengingatkan manusia akan kekuasaan Allah atas segala sesuatu. Allah SWT adalah tujuan akhir hidup manusia, dan kepada-Nya lah mereka akan kembali.
Syekh Wahbah juga menegaskan bahwa gerakan fisik dalam shalat dapat membantu hati untuk lebih fokus mengingat Allah. Gerakan ini menjadi bentuk penghambaan kepada Allah dalam menghadapi berbagai persoalan, baik yang rumit maupun yang sederhana, dalam kondisi sehat maupun sakit, serta dalam situasi aman maupun penuh ketakutan. Sebab, Allah SWT adalah Dzat yang mengawasi segala sesuatu.
Allah SWT adalah Dzat Yang Mahaagung dan Mahakuasa atas segala yang dikehendaki-Nya. Dialah yang mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya yang berdoa dengan tulus kepada-Nya. Namun, semua itu membutuhkan keimanan yang benar, amal saleh, serta doa yang ikhlas dan tulus. (hlm. 396–397)
Ketentuan Hukum Shalat Khauf
Menurut penjelasan Syekh Wahbah, frasa فَاِنْ خِفْتُمْ dalam ayat 239 menunjukkan kebolehan melaksanakan shalat saat perang atau dalam keadaan bahaya (khauf) yang mengancam, baik dengan berjalan kaki maupun berkendaraan, seperti di atas kuda, unta, atau kendaraan lainnya, menggunakan isyarat kepala ke arah mana pun yang memungkinkan.
Shalat dalam kondisi tersebut tidak batal meskipun dilakukan sambil menghadapi situasi perang. Namun, syarat menghadap kiblat menjadi gugur. Artinya, bagi seseorang yang melaksanakan shalat dalam keadaan berperang, kewajiban untuk menghadap kiblat tidak lagi diberlakukan.
Pendapat ini merupakan kesepakatan jumhur ulama, yaitu Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, yang berlandaskan pada makna lahiriah dari ayat ini. Pendapat ini juga dikuatkan oleh riwayat sahih dari Ibnu Umar tentang shalat khauf (shalat dalam keadaan takut atau terancam bahaya).
فإن كان خوف أكثر من ذلك، صلوا قياما وركبانا، مستقبلي القبلة، وغير مستقبليها
Artinya: “Jika bahayanya lebih besar dari itu, shalatlah sambil berdiri atau berkendara, menghadap kiblat ataupun tidak.” (HR. Muslim)
Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai kriteria khauf (bahaya) yang membolehkan pelaksanaan shalat sambil berjalan kaki atau berkendaraan. Menurut Imam Syafi'i, keadaan ini terjadi ketika kaum muslimin berhadapan langsung dengan musuh tanpa perlindungan benteng sehingga mereka terancam oleh senjata, seperti lemparan panah atau serangan langsung berupa tusukan dan tikaman. Selain itu, kriteria khauf juga terpenuhi jika terdapat informasi terpercaya dari seseorang yang menyampaikan bahwa musuh mendekat dan berniat menyerang.
Apabila salah satu dari dua kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka shalat khauf tidak boleh dilaksanakan. Namun, jika shalat khauf dilakukan berdasarkan informasi adanya bahaya, dan kemudian bahaya tersebut ternyata tidak terjadi, menurut Imam Syafi'i shalat tersebut tetap sah dan tidak perlu diulangi. Sebaliknya, menurut pendapat Abu Hanifah, shalat tersebut harus diulangi.
Pensyariatan shalat khauf menunjukkan bahwa kewajiban shalat tidak gugur dalam kondisi apa pun, termasuk dalam keadaan bahaya atau ancaman serius. Jika shalat tidak gugur dalam situasi khauf, maka tentu ia lebih tidak dapat gugur karena alasan lain seperti sakit atau keadaan lainnya. (hlm. 399–400)
Dari seluruh uraian di atas, dapat dipahami bahwa Surat Al-Baqarah ayat 239 menegaskan kewajiban menjaga shalat dalam segala kondisi, baik saat sehat maupun sakit, menetap maupun bepergian, mampu maupun tidak, bahkan dalam keadaan terancam bahaya (khauf) maupun aman. Wallahu a'lam.
M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua