Tafsir

Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 9: Penyelesaian Sengketa Perdata Secara Damai

Kamis, 28 November 2024 | 07:30 WIB

Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 9: Penyelesaian Sengketa Perdata Secara Damai

Ilustrasi bendera perdamaian. Sumber: Canva/NU Online

Dalam kitab Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab Imam Asy-Syafi'i, Dr. Musthafa Dib al-Bugha, Dr. Musthafa al-Khin, dan Syekh Ali Asy-Syurbaji mengupas salah satu pilar utama dalam Islam, yaitu perdamaian atau berdamai (ash-shulh). Perdamaian, menurut mereka, merupakan bagian dari tujuan luhur Islam yang dirancang untuk menjaga keharmonisan umat manusia.


Mereka memaparkan dalam kitab Al-Fiqh al-Manhaji (Damaskus, Darul Qalam, 1992: 169), "Karena perdamaian di antara manusia dan upaya untuk menghilangkan perselisihan di antara mereka adalah salah satu hal utama yang mewujudkan tujuan-tujuan Islam, maka Islam mensyariatkannya, mendorongnya, dan menjadikannya sebagai kebaikan—bahkan ia adalah kebaikan—yang dirindukan oleh hati dan dicintai oleh jiwa."


Begitu pun dalam konteks fiqih muamalah, konsep ash-shulh memiliki cakupan yang luas, mencakup penyelesaian sengketa dalam masalah sosial-ekonomi. Menurut Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fathul Qarib, ash-shulh secara bahasa berarti "mengakhiri perselisihan" (قطع المنازعة). Sementara itu, dalam pengertian syar'i, ash-shulh didefinisikan sebagai:

 

عقد يحصل به قطعها


Artinya, "Sebuah akad yang mengakhiri perselisihan." (Fathul Qarib, [Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2005], hlm. 175).


Dengan kata lain, ash-shulh dalam fiqih muamalah adalah mekanisme untuk menyelesaikan persengketaan perdata melalui kesepakatan damai antara pihak-pihak yang bersengketa. Proses ini dilakukan dengan cara damai tanpa harus melibatkan lembaga peradilan. 


Lebih jauh lagi, dalil tentang ash-shulh (perdamaian) terdapat dalam Surah Al-Hujurat ayat 9, yang menggambarkan perdamaian sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik. Allah berfirman:


وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ


Wa in ṭā'ifatāni minal-mu'minīnaqtatalū fa aṣliḥū bainahumā, fa im bagat  iḥdāhumā ‘alal-ukhrā fa qātilul-latī tabgī ḥattā tafī'a ilā amrillāh(i), fa in fā'at fa aṣliḥū bainahumā bil-‘adli wa aqsiṭū, innallāha yuḥibbul-muqsiṭīn(a).


Artinya, "Jika ada dua golongan orang-orang mukmin bertikai, damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap (golongan) yang lain, perangilah (golongan) yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah keduanya dengan adil. Bersikaplah adil! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil."


Asbabun Nuzul

Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab Tafsir al-Munir Jilid XXVI (Darul Fikr al-Muashir, 1991: 237) menjelaskan bahwa penyebab turunnya (asbabun nuzul) ayat 9 surat al-Hujurat sangat beragam.

 

Salah satu riwayat yang shahih, sebagaimana dikutip dari Ibnu Jarir dan bersumber dari Qatadah, menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan perselisihan antara dua orang laki-laki dari kalangan Anshar. Perselisihan tersebut muncul akibat klaim kepemilikan hak. Salah satu dari mereka, yang memiliki klan besar, mengancam dengan berkata kepada lawannya, "Sungguh, aku akan mengambilnya secara paksa."


Sementara itu, klan pihak satunya mengusulkan untuk meminta putusan mengenai perselisihan tersebut kepada Rasulullah saw., namun pihak yang satu lagi menolak. Akibatnya, ketegangan semakin memuncak dan berujung pada aksi kekerasan antara kedua belah pihak, menggunakan tangan dan sandal, meskipun tidak sampai terjadi pertumpahan darah dengan senjata tajam (hlm. 237).


Tafsir Al-Wahidi

Menurut Al-Wahidi dalam Tafsir Al-Basith, Surat Al-Hujurat ayat 9 memberikan perintah untuk mendamaikan dua kelompok yang berselisih atau berperang.  Kewajiban mendamaikan ini bertujuan menjaga persatuan dan menghindari keretakan di antara kaum Muslim. Dalam konteks ini, jika salah satu kelompok bertindak zalim, umat Islam diperintahkan untuk memihak kepada pihak yang terzalimi hingga kelompok yang zalim kembali kepada kebenaran.


Selanjutnya, Al-Wahidi menjelaskan bahwa konsep perdamaian tidak hanya berlaku untuk konflik besar, seperti perang antara dua golongan, tetapi juga mencakup pertikaian atau perselisihan antara dua orang Muslim.

 

Keterangan ini ditegaskan dalam ayat berikutnya, "Dan damaikanlah antara saudara-saudaramu." Menurut Al-Wahidi, penggunaan kata "saudara" dalam ayat ini menunjukkan betapa pentingnya hubungan persaudaraan dalam Islam, sehingga setiap pertikaian harus diselesaikan secara adil dan harmonis. 


Simak penjelasan Al-Wahidi dalam Tafsir Basith Jilid IV (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1994: 154) berikut;


{فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ} [الحجرات: ١٠] يعني: بين كل مسلمين تخاصما، وتقاتلا، ومعنى الآيتين يأتي على الجميع، لأن تأويله بين كل أخوين.


Artinya; "Damaikanlah antara saudara-saudaramu" (QS. Al-Hujurat: 10) maksudnya adalah antara dua orang Muslim yang berselisih atau bertikai. Makna ayat ini mencakup semua kasus, karena penafsirannya berlaku untuk setiap dua saudara."


Sementara itu, dalam hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari, berdamai adalah inti dari hubungan persaudaraan dalam Islam, karena setiap Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Rasulullah menegaskan bahwa seorang Muslim tidak boleh menzalimi atau mencela saudaranya. Konsep ini menanamkan kesadaran bahwa hidup berdampingan dengan damai adalah kewajiban moral dan agama. 


Pentingnya berdamai juga terlihat dari janji Allah kepada mereka yang membantu sesama Muslim. Begitu pula, siapa saja melepaskan kesulitan seorang Muslim, Allah akan melepaskan salah satu kesulitannya di hari kiamat.

 

Hal ini menunjukkan bahwa perdamaian dan saling menolong tidak hanya memberikan manfaat di dunia, tetapi juga menjadi bekal amal kebaikan untuk akhirat. Nabi bersabda;


عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لا يَظْلِمُهُ وَلا يَشْتُمُهُ مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ، 


Artinya; "Dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda; "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak seharusnya menzalimi dan tidak mencelanya. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa melepaskan kesulitan seorang Muslim, Allah akan melepaskan darinya salah satu kesulitan pada hari kiamat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang Muslim, Allah akan menutupi (aibnya) pada hari kiamat." (HR. Bukhari).

 

Tafsir Thabari

Menurut Imam Thabari dalam kitab Tafsir Jami’ul Bayan Jilid XXII (Makkah, Darul Tarbiyah wa Turats, tt.: 292),  ayat ini menegaskan pentingnya mendamaikan pihak-pihak yang bertikai.

 

Setiap mukmin memiliki tanggung jawab untuk menjadi penengah ketika ada konflik di antara sesama.  Seruan kepada hukum Allah ini mencakup semua keputusan yang ada di dalamnya, baik yang dirasa menguntungkan maupun yang memberatkan kedua belah pihak. 


Lebih jauh lagi, menurut Imam Thabari, penyelesaian konflik harus dilakukan berdasarkan keadilan, bukan atas dasar kepentingan pribadi atau golongan. Keadilan ini diwujudkan dengan mengikuti hukum Allah yang mencakup kepentingan bersama dan memberikan hak secara proporsional kepada masing-masing pihak. Simak penjelasan Imam Thabari berikut; 


يقول تعالى ذكره: وإن طائفتان من أهل الإيمان اقتتلوا، فأصلحوا أيها المؤمنون بينهما بالدعاء إلى حكم كتاب الله، والرضا بما فيه لهما وعليهما، وذلك هو الإصلاح بينهما بالعدل


Artinya; "Allah SWT berfirman: "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikanlah antara keduanya wahai orang-orang yang beriman, dengan menyeru mereka kepada hukum Kitab Allah dan menerima apa yang terdapat di dalamnya, baik yang menguntungkan atau membebankan keduanya. Itulah cara mendamaikan antara keduanya dengan keadilan." (Tafsir Jami'ul Bayan, [Makkah: Darul Tarbiyah wa Turats,tt] Jilid XXII, hlm, 292).


Tafsir Al-Misbah

Dalam Tafsir Al-Misbah, Prof. Quraish Shihab, mengatakan kata (اقْتَتَلُوْا) iqtatalu, dalam ayat 9 surat Al-Hujarat, berasal dari akar kata (قَتَلَ) qatala. Sejatinya, kata ini memiliki makna yang beragam, tidak hanya berarti membunuh atau berperang, tetapi juga dapat bermakna berkelahi, bertengkar, atau bahkan saling mencaci. 


Lebih jauh lagi, menurut Quraish Shihab, kata (اقْتَتَلُوْا) tidak selalu harus diterjemahkan sebagai "berperang" atau "saling membunuh," seperti yang sering dimaknai oleh sebagian orang. Sebaliknya, kata ini dapat diartikan sebagai "berkelahi" atau "bertengkar," yang menunjukkan tingkat konflik yang lebih rendah. 


Untuk itu, kata  Quraish Shihab, kata tersebut lebih netral atau tepat jika diterjemahkan sebagai "tindaklah" atau "ambil tindakan." Hal ini menunjukkan bahwa tindakan yang dimaksud tidak harus berupa peperangan, tetapi bisa berupa langkah untuk mengatasi konflik atau mencegah perselisihan lebih lanjut. Ini lebih menunjukkan kebijaksanaan ajaran Islam dalam menciptakan keharmonisan dan mencegah kerusakan.


Selain (اقْتَتَلُوْا), Prof. Quraish juga menjelaskan kata (اَصْلِحُوْا) ashlihu yang berasal dari akar kata "shaluha". Kata ini memiliki makna berlawanan dengan "fasada" (kerusakan) dan dapat diartikan sebagai upaya untuk menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas agar membawa manfaat yang lebih besar. Dalam konteks sosial, ishlah berarti memperbaiki hubungan yang rusak agar keharmonisan tercipta kembali.


Quraish Shihab menekankan bahwa untuk mencapai manfaat dari sesuatu, nilai-nilai tertentu harus dipenuhi. Sebagai contoh, sebuah kursi harus memiliki kaki yang kokoh agar dapat berfungsi dengan baik.

 

Jika salah satu kakinya rusak, kursi tersebut harus diperbaiki. Dalam hubungan antar manusia, keharmonisan adalah nilai utama yang harus dijaga. Jika terjadi perselisihan, maka harus ada upaya ishlah agar hubungan kembali bermanfaat.


Dengan demikian, Surat Al-Hujurat ayat 9 menegaskan bahwa mendamaikan pihak-pihak yang bertikai merupakan kewajiban yang harus dilakukan dengan prinsip keadilan.

 

Umat Islam dituntut untuk berperan aktif dalam menjaga persatuan dan keharmonisan. Pun, ini menunjukkan betapa tingginya nilai perdamaian dan keadilan dalam Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Parung