Tafsir

Tafsir Surat Al-Isra' Ayat 1: Perjalanan Agung Nabi Meraih Gelar Tertinggi

Sab, 10 Februari 2024 | 06:30 WIB

Tafsir Surat Al-Isra' Ayat 1: Perjalanan Agung Nabi Meraih Gelar Tertinggi

Surat Al-Isra'; Ayat 1. (Foto ilustrasi: NU Online)

Ayat ini secara garis besar merupakan dalil argumentasi terjadinya peristiwa Isra’ Nabi Muhammad saw. Ayat ini menjelaskan besarnya kekuasaan Allah swt di hadapan makhluk-Nya dengan memperjalankan Nabi Muhammad saw dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina hanya pada satu malam saja. Setelah Isra', Nabi kemudian diangkat menuju Sidratul Muntaha (Mi’raj) menerima perintah shalat 5 waktu dari Allah swt. Ayat ini juga sekaligus menjadi tanda penyematan gelar tertinggi kepada Nabi Muhammad saw yaitu gelar sebagai hamba Allah.


Berikut ini adalah teks, terjemahan, sabab nuzul, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Isra ayat 1:


سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ


sub-ḫânalladzî asrâ bi‘abdihî lailan minal-masjidil-ḫarâmi ilal-masjidil-aqshalladzî bâraknâ ḫaulahû linuriyahû min âyâtinâ, innahû huwas-samî‘ul-bashîr


Artinya: “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.


Ragam Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 1

Permulaan ayat ini diawali dengan penyebutan sub-ḫânalladzî yang mempunyai arti Maha Suci Allah yang kemudian diikutkan dengan penyebutan asrâ bi‘abdihî yang memiliki arti memperjalankan hamba-Nya. Prof. Quraisy Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata sub-ḫâna biasa digunakan untuk menunjukkan keheranan atau keajaiban sesuatu. Ini menunjukkan bahwa peristiwa Isra’ merupakan salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam. (Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, [Jakarta: Lentera Hati], Vol 7, hal 400).


Peristiwa Isra’ Nabi Muhammad saw ini juga sekaligus merupakan penyematan gelar tertinggi kepada Nabi Muhammad saw oleh Allah dengan menyebutnya hamba pada ayat di atas. Sebab tidak ada gelar yang lebih tinggi dibandingkan penghambaan diri kepada Allah swt. 


Syekh Ahmad Al-Sawi dalam Hasyiyah As-Shawi ala Tafsirul Jalalain berkata:


(قوله بعبده) لم يقل بنبيه ولا برسوله اشارة على ان وصف العبودية أخص الاوصاف وأشرفها لانه اذا صحت نسبة العبد لربه بحيث لا يشرك فى عبادته له احدا فقد فاز وسعد


Artinya: “(Firman Allah biabdihi): Allah tidak menggunakan kata Nabi ataupun Rasul menunjukan bahwa sifat ubudiyyah, kehambaan merupakan sifat yang paling istimewa dan mulia. Karena ketika seorang hamba telah diberi “stempel” demikian (sekiranya tidak melakukan kemusyrikan) maka ia telah mendapatkan kebahagiaan”. (Ahmad As-Shawi, Hasyiyah As-Shawi ala Tafsirul Jalalain, [Beirut: Darul Jayid], juz II, hal 311).


Peristiwa Isra’ terjadi pada malam hari, Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa malam hari yang dimaksud ialah hanya sebagian dari malam saja. Sebab penyebutan nakirah lafadz lailan pada ayat di atas menunjukkan makna sebagian. Nabi Muhammad saw menempuh jarak yang seharusnya ditempuh selama 40 malam dengan hanya sebagian malam saja. Malam yang dimaksud pun diperselisihkan oleh ulama. Disebutkan dari riwayat Muqatil bahwa peristiwa ini terjadi pada malam hari setahun sebelum hijrahnya Nabi saw. (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, cet 3, [Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi], juz XX, hal 292).


Terkait dipilihnya Baitul Maqdis sebagai tempat Isra’ Nabi Muhammad saw, Imam Nawawi Al-Bantani dalam Tafsirnya menyebutkan beberapa kemungkinan hikmah yang dapat diambil darinya, yaitu:


Pertama, hikmah Isra’ Nabi Muhammad saw ke Baitul Maqdis ialah agar Nabi Muhammad saw dapat naik ke langit dengan mensejajarinya. Sebab menurut riwayat Ka’ab, pintu langit yang menjadi tempat naiknya para malaikat sejajar dengan Baitul Maqdis.


Kedua, disebutkan bahwa alasan dipilihnya Baitul Maqdis sebagai tempat Isra’ Nabi Muhammad saw ialah tanah Syam merupakan tanah pilihan Allah. Sebab dalam hadits shahih disebutkan bahwa tanah Syam ialah tanah yang paling utama setelah tanah Haramain dan menjadi tanah pertama yang menampakkan kuasa Allah.


Ketiga, hikmah Isra’ Nabi Muhammad saw ke tanah Baitul Maqdis ialah untuk menampakkan kebenaran kepada orang-orang yang tidak percaya atas Mi’raj-nya (naiknya) Nabi Muhammad saw ke langit. Sebab jika Nabi Muhammad saw langsung naik dari Makkah menuju langit, tidak akan ada bukti konkret yang dapat menjelaskan peristiwa tersebut. 


Nabi Muhammad saw belum pernah mengunjungi Baitul Maqdis. Pada saat Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa ia diperjalankan ke Baitul Maqdis, maka orang-orang Quraiys yang pernah mengunjunginya dapat menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan Baitul Maqdis. Setelah Nabi Muhammad saw dapat menjawab pertanyaan dari mereka yang pernah mengunjunginya, darinya dapat diketahui, bahwa Nabi Muhammad saw benar telah diperjalankan ke Baitul Maqdis. Dalam hal ini peristiwa Isra’ merupakan bukti nyata bagi peristiwa Mi’raj.


Keempat, hikmah terakhir ialah untuk mengumpulkan antara dua kiblat. (Nawawi Al-Bantani, Marah Labid, cet I, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah], juz I, hal 614).


Lebih lanjut, pada ayat di atas disebutkan pula bahwa Allah memberkahi sekelilingnya, Ar-Razi menjelaskan bahwa keberkahan yang dimaksud ialah dengan banyaknya buah-buahan dan bunga yang tumbuh di sekitar tanah Baitul Maqdis. Disebutkan pula sebab Baitul Maqdis merupakan tanah menetapnya para Nabi dan tempat turunnya para malaikat. (Ar-Razi, hal 292).


Sementara, maksud dari “untuk memperlihatkan sebagian tanda kekuasaan kami”, menurut Imam Nawawi Al-Bantani ialah untuk memperlihatkan kepada Nabi Muhammad saw sebagian tanda kekuasaan Allah. Di antaranya ialah dengan memperjalankan perjalanan yang harusnya ditempuh dalam waktu sebulan dengan hanya satu malam saja. 


Kekuasaan Allah yang dapat memperjalankan Nabi Muhammad saw dengan kecepatan tinggi tersebut sekaligus menjadi penetapan bahwa peristiwa Mi’raj (naiknya Nabi ke Sidratul Muntaha) merupakan sesuatu yang mungkin terjadi. Hal yang sama dengan peristiwa-peristiwa mukjizat yang terjadi pada zaman terdahulu seperti berubahnya tongkat Nabi Musa menjadi ular, keluarnya unta besar dari batu besar pada masa Nabi Shaleh as. Itu semua merupakan bukti kenabian yang harus diimani. (Al-Bantani, 615).


Kesimpulannya, peristiwa Isra’ Nabi Muhammad saw merupakan peristiwa agung yang tercatat dalam sejarah Islam. Dalam peristiwa ini, Nabi Muhammad saw mendapatkan gelar tertinggi sebagai hamba Allah swt. Peristiwa Isra’ merupakan bukti argumentasi terjadinya peristiwa lebih besar selanjutnya yaitu Mi’rajnya Nabi Muhammad saw. Wallahu a’lam


Ustad Alwi Jamalulel Ubab, Alumni PP Khas Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly
Saidussidiqiyah Jakarta.