Tafsir

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 102: Perintah Takwa dan Mati dalam Keadaan Islam

Kam, 23 Mei 2024 | 21:00 WIB

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 102: Perintah Takwa dan Mati dalam Keadaan Islam

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 102. (Foto: NU Online/Freepik)

Dalam Islam, takwa adalah salah satu pondasi paling penting yang menjadi perisai bagi setiap individu umat Islam untuk mengarungi kehidupan. Takwa secara universal memiliki dua komponen utama yaitu melakukan perintah dan meninggalkan larangan yang digariskan syariat. Dengannya, umat Islam akan selamat dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia menuju kehidupan abadi akhirat.


Salah satu ayat Al-Qur’an yang berisi perintah untuk melanggengkan bertakwa kepada Allah ialah surat Ali Imran ayat 102. Ayat ini secara garis besar menjelaskan perintah untuk bertakwa kepada Allah swt dan mati dalam keadaan Muslim. Di dalamnya, Allah memberikan perintah kepada orang-orang yang beriman untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan mati dalam keadaan Islam.


Berikut ini adalah bagian teks, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Ali Imran ayat 102:


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۝١٠٢


Yâ ayyuhalladzîna âmanuttaqullâha ḫaqqa tuqâtihî wa lâ tamûtunna illâ wa antum muslimûn


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim”. (Qs. Al-Imran: 102)


Tafsir Mafatihul Ghaib

Dalam menafsiri ayat ini, Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa ayat ini merupakan rangkaian pertama dari perintah Allah kepada orang-orang beriman untuk melaksanakan berbagai macam ketaatan dan kebaikan. Pada ayat sebelumnya, Allah memberi peringatan kepada umat Islam untuk waspada dari tipu daya orang-orang kafir yang mencoba menyesatkan mereka. 


Pada ayat ini, Allah memerintahkan bertakwa kepada Allah, di mana pada ayat setelahnya dilanjutkan dengan rangkaian perintah ketaatan yaitu berpegang teguh dengan tali Allah dan selalu mengingat nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah.


Alasan dari rangkaian ayat yang dimulai dengan ayat perintah untuk takwa kepada Allah, kemudian dilanjutkan dengan perintah berpegang teguh dengan tali Allah, ialah agar takwa menjadi pondasi untuk melaksanakannya. Dengan takwa, umat Islam dapat mengarungi kehidupan dunia.


Adapun setelahnya, Allah menghubungkannya dengan ayat yang berisi motivasi untuk selalu mengingat nikmat-nikmat yang telah Allah berikan, semuanya tak lain merupakan kesimpulan dari perintah untuk selalu tunduk dan patuh kepada perintah Allah.


Lebih lanjut, Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa pada saat turun, ayat ini membuat pesimis umat Islam untuk bisa melaksanakannya. Sebab makna bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa yang dimaksud ialah taat kepada Allah tanpa melakukan maksiat barang sekejap mata, selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak mengufuri-Nya dan selalu mengingat-Nya tanpa lalai kepada-Nya. Sesuatu yang dirasa tidak mampu dilakukan oleh para sahabat Nabi.


Kemudian Allah menurunkan setelahnya ayat ayat فَاتَّقُوا اللَّه مَا اسْتَطَعْتُمْ (surat At-Tagabun: 16) yang memiliki arti "Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuanmu!". Sehingga awal dari ayat ini dihukumi naskh (dihapus ketentuan) hukumnya.


Namun, mayoritas ulama ahli tahqiq dalam hal ini menjelaskan bahwa ayat ini tidak di-naskh oleh surat At-Tagabun: 16. Dengan sebab di antaranya maksud bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa pada surat Ali Imran ayat 102 ini senada dengan surat At-Taghabun ayat 16. Yaitu dengan meninggalkan bermaksiat kepada-Nya, sehingga dalam hal ini tidak mungkin ayat ini di-naskh secara hukum. (Imam Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, 1420 H], cet 3, juz VIII, hal 310).


Tafsirul Jalalain

Imam As-Suyuthi dalam Tafsirul Jalalain menjelaskan bahwa maksud dari bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa ialah bertakwa kepada Allah dengan menaatinya dan tidak bermaksiat kepada-Nya, bersyukur dan tidak mengufuri-Nya, serta selalu mengingat-Nya dan tidak melupakannya. 


Dalam hal ini, dalam tafsirnya Imam As-Suyuthi mengonfirmasi bahwa ayat ini di-naskh hukumnya dengan turunnya ayat فَاتَّقُوا اللَّه مَا اسْتَطَعْتُمْ (surat At-Tagabun: 16) yang memiliki arti "Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuanmu!". Hal itu terjadi setelah para sahabat Nabi menanyakan terkait ayat ini kepada Nabi Muhammad saw dengan berkata: “Ya Rasulallah, siapa yang kuat melakukannya?”. 


Selanjutnya, pada ayat ini pula Allah memerintahkan untuk tidak mati kecuali dalam keadaan Muslim (mengesakan Allah swt). (Imam As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain, [Kairo: Darul Hadits, tt], cet 1, hal 80).


Tafsir Marah Labid

Sementara itu, Imam Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari ayat ḫaqqa tuqâtihî ialah bertakwa kepada Allah sebagaimana wajib bagi kita untuk bertakwa kepada-Nya yaitu dengan mengerahkan seluruh kemampuan diri dalam menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan-Nya.


Berbeda dengan Imam As-Suyuthi, Imam Nawawi Al-Bantani justru menyatakan bahwa ayat ini memiliki makna senada dengan surat At-Taghabun: 16, tidak di-naskh olehnya. Imam Nawawi menjelaskan bahwa arti dari keduanya sama yaitu memerintahkan untuk menaati perintah Allah seperti selayaknya.


Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa maksud dari “janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim” ialah larangan untuk mati dalam keadaan selain Islam. Dalam artian, mendawamkan diri untuk istiqamah dalam Islam hingga maut menjemput. (Imam Nawawi Al-Bantani, Marah Labid, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1417 H], cet 1, juz I, hal 143).


Tafsirul Qur’anil Adzim

Lebih lanjut, dalam menafsiri ayat wa lâ tamûtunna illâ wa antum muslimûn, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa maksudnya ialah Allah memerintahkan untuk menjaga diri dalam keislaman selagi kita masih dalam keadaan sehat dan selamat dengan harapan di kemudian hari akan mati dalam keadaan Islam. Sebab mereka yang hidup istiqamah melakukan sesuatu diharapkan ia akan mati juga dalam keadaan yang sama saat ia hidup, juga pada saat dibangkitkan. 


وقوله تعالى: وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ أَيْ حَافظُوا عَلَى الْإِسْلَامِ فِي حَالِ صِحَّتِكُمْ وَسَلَامَتِكُمْ لِتَمُوتُوا عَلَيْهِ، فَإِنَّ الْكَرِيمَ قَدْ أَجْرَى عَادَتَهُ بِكَرَمِهِ أَنَّهُ مَنْ عَاشَ عَلَى شَيْءٍ مَاتَ عَلَيْهِ، وَمَنْ مَاتَ عَلَى شَيْءٍ بُعِثَ عَلَيْهِ، فَعِيَاذًا بِاللَّهِ مِنْ خِلَافِ ذَلِك
َ

Artinya: “Firman Allah ta’ala: wa lâ tamûtunna illâ wa antum muslimûn artinya ialah jagalah keislaman kalian dalam kondisi sehat dan selamat kalian agar kalian mati dalam keadaan Islam. sebab orang yang mulia akan memiliki kebiasaan yang mulia. Sungguh orang yang hidup istiqamah melakukan sesuatu maka ia akan mati dalam keistiqamahannya itu, dan orang yang mati dalam keadaan demikian akan dibangkitkan juga dalam keadaan yang sama. Sungguh aku berlindung kepada Allah dari hal sebaliknya”. (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1419 H], cet 1, juz II, hal 75).


Kesimpulannya, Allah memerintahkan kepada kita untuk selalu bertakwa kepada-Nya dengan menjalankan seluruh kewajiban dan menjauhi segala larangan-Nya. Istiqamah menjalankannya bertujuan agar menjadi kebiasaan baik bagi kita sehingga pada akhirnya mati dalam keadaan Islam. Wallahu a'lam


Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek dan Mahad Aly Jakarta