Tafsir

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 191: Pentingnya Keseimbangan Dzikir dan Pikir

Ahad, 18 Februari 2024 | 14:00 WIB

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 191: Pentingnya Keseimbangan Dzikir dan Pikir

Al-Quran. (Foto: Frepik)

Orang-orang yang selalu berdzikir alias mengingat pada kekuasaan dan kebesaran Allah selalu mempunyai pikiran positif. Semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan mengandung keindahan dan hikmah yang luar biasa karena Allah menciptakan semua makhluk-Nya tidak ada yang sia-sia.

Allah berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 191:

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

alladzîna yadzkurûnallâha qiyâman wa qu‘ûdan wa ‘alâ junûbihim wa yatafakkarûna fî khalqis-samâwâti wal-ardl, rabbanâ mâ khalaqta hâdzâ bâthilan, sub-ḫânaka fa qinâ ‘adzâban-nâr

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata); Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.

Tafsir Al-Munir

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Tafsir Al-Munir menjelaskan, ayat ini merupakan penjelasan dari Allah tentang orang-orang yang masuk dalam kelompok Ulul Albab, yaitu mereka yang menggabungkan antara dzikir dan pikir.

يذكرون الله في مختلف أحوالهم من قيام وقعود واضطجاع، لا يقطعون ذكره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم

Artinya: “Mereka selalu berdzikir kepada Allah di berbagai situasi, baik dalam keadaan duduk, berdiri maupun berbaring. Mereka tidak pernah memutus dzikir kepada Allah dalam segala keadaan, baik dengan cara rahasia atau tersembunyi (hati) maupun lisan.” (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir [Damaskus: Darul Fikr, 2009] Jilid III, halaman 540).

Mereka juga selalu berpikir positif dengan memikirkan, merenungi, dan memahami segala apa yang ada di langit dan bumi berupa aneka rahasia, manfaat dan hikmah yang menunjukkan pada kebesaran, kekuasaan, ilmu, dan rahmat Allah.

Adapun objek berpikir, merenung dan memahami adalah makhluk Allah, bukan Dzat Allah itu sendiri, karena tidak akan tercapai jika merenungi dan memikirkan Dzat-Nya.

Selanjutnya, Syekh Wahbah juga menjelaskan bahwa orang-orang yang berpikir dan berdzikir akan berkata; "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, karena Engkau Maha Suci dari segala sesuatu yang bersifat sia-sia dan tanpa faedah. Semua ciptaan-Mu adalah kebenaran yang mengandung faedah dan menunjukkan hikmah serta kekuasaan."

Syekh Wahbah menjelaskan, seorang Mukmin yang berpikir dan merenung kemudian meneliti, ia akan menghadapkan diri kepada Tuhannya dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri seraya mengikrarkan keyakinannya pada keagungan hikmah Allah di semua penciptaan makhluk, ia kemudian berdoa:

فاجعل لنا وقاية وحاجزا من عذاب النار، وأجرنا من عذابها، ووفقنا للعمل الصالح والاعتقاد الجازم الثابت الصحيح

Artinya: “Maka, berilah kami perlindungan dari azab neraka, selamatkanlah kami dari azabnya, dan berilah kami taufik untuk menjalankan amal saleh dan keyakinan yang kokoh, stabil, dan benar.” (Wahbah, Tafsir Al-Munir, halaman 541).

Tafsir Al-Qurthubi

Imam Qurthubi dalam kitab Al-Jami‘ul Aḫkâmil Qur’an (Beirut, Ar-Risalah: 2006) juz V, halaman 465-470, menguraikan sejumlah pendapat yang ada dalam ayat ini. Di antaranya adalah pendapat yang menyebutkan bahwa ayat ini merupakan ungkapan bahwa tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat.

وذهب جماعة من المفسرين - منهم الحسن وغيره - إلى أن قوله : (يَذْكُرُونَ اللَّهَ) إلى آخره، إنما هو عبارة عن الصلاة ، أي: لا يُضيعونها، ففي حال العذر يُصلُّونها قعوداً أو على جنوبهم

Artinya: “Sejumlah ulama tafsir, di antaranya Hasan dan sebagainya mengungkapkan bahwa ayat ini menjelaskan ungkapan tentang shalat. Yaitu tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat. Jika dalam keadaan uzur, bisa shalat dengan cara duduk atau berbaring. (Imam Qurthubi, Al-Jami‘ul Aḫkâmil Qur’an [Beirut, Ar-Risalah: 2006] juz V, halaman 467)

Selain itu, Imam Qurthubi juga menjelaskan bahwa maksud dzikir di sini bisa dengan lisan, bisa juga bermakna melaksanakan shalat. Pada ayat ini, Allah menggandengkan antara ibadah dzikir dengan ibadah lain, yaitu tafakur atau berpikir pada semua ciptaan Allah dan mengambil hikmah atau pelajarannya agar pengetahuan dan keyakinan pada Allah bisa semakin bertambah.

Selanjutnya, pada ayat ini Allah memerintahkan kita untuk melihat, merenung, dan mengambil pelajaran pada tanda-tanda kekuasaan-Nya. Semua itu tidak mungkin ada kecuali diciptakan oleh Allah. Jika hal ini dilakukan akan berdampak pada keimanan dan keyakinan yang benar, bukan hanya sekedar taklid atau ikut-ikutan. Tafakur adalah salah satu fungsi akal yang telah diciptakan oleh Allah.


Tafsir Al-Misbah

Sementara itu, Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan, objek dalam berdzikir adalah Allah dan objek dalam tafakur atau berpikir adalah makhluk-Nya. Dengan demikian, pengenalan pada Allah lebih banyak didasarkan pada hati dan pengenalan alam raya berdasarkan pada akal.

Akal, jelas Prof Quraish, memiliki kebebasan yang luas dalam memikirkan fenomena alam, namun demikian akal memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah. Oleh sebab itu Rasulullah bersabda:

تَفَكَّرُوْا فيِ خَلْقِ الله وَلَا تَفَكَّرُوْا فيِ ذَاتِ الله

Artinya: “Berpikirlah tentang makhluk Allah dan jangan berpikir tentang Allah,”

Setiap orang yang mampu membaca lembaran alam raya niscaya bisa “mendapatkan-Nya”. Bahkan seandainya mata tidak mampu membaca lembaran alam raya, maka mata hati dengan cahayanya akan “menemukan” Allah, karena kemampuan manusia dalam memandang Tuhan melalui lubuk hatinya. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Ciputat, Lentera Hati: 2005), cetakan IV, halaman 309)

Bahkan bila manusia mendengar suara nuraninya dengan telinga terbuka pasti dia akan mendengar “suara Tuhan” menyerunya, karena pada hakikatnya kehadiran Allah dan keyakinan pada keesaan-Nya adalah fitrah yang menyertai jiwa manusia.

Di sisi lain, terkadang akal manusia merasa tidak puas dan ingin mengenal Dzat dan hakikat-Nya, bahkan ingin melihat-Nya dengan mata kepala seakan-akan Tuhan adalah sesuatu yang dapat terjangkau oleh panca indera. Padahal, diumpamakan Prof Quraish, berinteraksi dengan matahari cukup dengan merasakan dan mengambil manfaat dari cahaya dan kehangatannya, tidak harus mengenal hakikatnya. (Shihab, Tafsir Al-Misbah, halaman 311)

Dengan demikian, ayat ini menjelaskan tentang keseimbangan antara dzikir dan pikir yang dilakukan oleh hati dan akal. Ketika dua perangkat dalam diri manusia ini bisa difungsikan dengan baik akan melahirkan pikiran positif terhadap semua ciptaan-Nya karena semuanya tidak diciptakan dengan sia-sia.

Muhammad Aiz Luthfi, Pengajar di Pesantren Al-Mukhtariyyah Al-Karimiyyah, Subang, Jawa Barat.