Tafsir

Tafsir Surat an-Nisa’ Ayat 20

Sel, 13 Juli 2021 | 12:00 WIB

Tafsir Surat an-Nisa’ Ayat 20

Pembahasan lainnya penegasan Al-Qur’an bahwa perbuatan suami mengambil mahar yang telah diberikan kepada istri dalam kasus tersebut merupakan kezaliman dan dosa yang sangat nyata.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa ayat 20:


وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا، أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا


Wa in aradhtum istibdāla zawjin makāna zaājin wa ātaytum ihdāhunna qinthāran fa lā ta’khudzū minhu syay’an, ata’khudzūnahu buhtānan wa itsmam mubīna.


Artinya, “Jika kalian menghendaki menggantikan seorang istri pada posisi istri lainnya sementara kalian telah memberikan salah satu dari para istri itu harta yang banyak (sebagai mahar) maka jangan kalian ambil kembali sedikitpun harta itu. Apakah kalian akan mengambilnya dengan kezaliman dan dosa yang sangat jelas?” (An-Nisa’ ayat 19).


Ragam Tafsir 

Ayat ini memuat dua pembahasan. Pembahasan pertama, larangan Al-Qur’an kepada para suami dari mengambil kembali sedikitpun mahar yang telah diberikan kepada istrinya, yaitu ketika ia ingin menceraikannya dan menggantinya dengan wanita lain. Inilah substansi frasa ayat:


وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا


Artinya, “Jika kalian menghendaki menggantikan seorang istri pada posisi istri lainnya, sementara kalian telah memberikan kepada salah satu dari para istri itu harta yang banyak (sebagai mahar), maka jangan kalian ambil kembali sedikitpun harta itu.”


Imam Fakhruddin Ar-Razi mengutip riwayat yang berkaitan dengan konteks ayat ini:


رُوِيَ أَنَّ الرَّجُلَ مِنْهُمْ إِذَا مَالَ إِلَى التَّزَوُّجِ بِامْرَأَةٍ أُخْرَى رَمَى زَوْجَةَ نَفْسِهِ بِالْفَاحِشَةِ حَتَّى يُلْجِئَهَا إِلَى اْلاِفْتِدَاءِ مِنْهُ بِمَا أَعْطَاهَا لِيُصْرِفَهُ إِلَى تَزَوُّجِ الْمَرْأَةِ التَّيِ يُرِيدُهَا.


Artinya, “Diriwayatkan sungguh lelaki dari golongan Jahiliyah ketika ingin menikahi wanita lain maka ia menuduh istrinya sendiri telah melakukan kekejian sehingga kondisi seperti itu memaksa istrinya untuk menebus diri dari suaminya dengan memberikan mahar yang telah diberikan suami kepadanya agar suaminya tidak jadi menikahi wanita lain tersebut.”


Ar-Razi juga menjelaskan bahwa jika nusyûz dilakukan oleh suami, maka ia dilarang untuk mengambil kembali sedikitpun mahar yang telah diberikan kepada istrinya. Namun bila kemudian ternyata benar-benar terjadi khulu’, yaitu istri benar-benar menuntut cerai dengan membayar tebusan, maka suami mempuyai hak milik atas harta tebusan tersebut. Hal ini seperti kasus jual beli waktu azan Jum’at. Meskipun haram, namun jika benar-benar terjadi maka jual beli itu sah dan dapat memindahkan hak kepemilikan barang yang diperjualkan. (Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], juz X, halaman 12-13).


Pembahasan kedua, penegasan Al-Qur’an bahwa perbuatan suami mengambil mahar yang telah diberikan kepada istri dalam kasus tersebut merupakan kezaliman dan dosa yang sangat nyata, yang dalam frasa ayat:


أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا


Artinya, “Apakah kalian akan mengambilnya dengan kezaliman dan dosa yang sangat jelas?” (An-Nisa’ ayat 19).


Pertanyaan dalam ayat adalah pertanyaan dengan maksud mengingkari perbuatan tersebut, atau yang dikenal dengan istilah istifhâm inkâri. Maksudnya, semestinya hal itu tidak dilakukan karena sangat jelas keburukannya menurut syariat maupun akal sehat. (Ar-Razi, 1421 H/2000 M: X/13). Wallâhu a’lam.


Ustadz Ahmad Muntaha AM-Founder Aswaja Muda