Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa' Ayat 29: Larangan Melakukan Tindak Kejahatan terhadap Harta dan Jiwa Orang Lain

Ahad, 19 Maret 2023 | 06:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa' Ayat 29: Larangan Melakukan Tindak Kejahatan terhadap Harta dan Jiwa Orang Lain

Kejahatan terhadap harta dan jiwa orang lain. (Ilustrasi: NU Online)

Surat An-Nisa' Ayat 29 mengingatkan kita untuk tidak menganiaya orang lain dengan menzalimi hartanya dan juga mengingatkan kita untuk tidak mencelakai diri sendiri.


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَاطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا


Yā ayyuhallażīna āmanụ lā ta`kulū amwālakum baynakum bil bāṭili illā an takụna tijāratan 'an tarāḍim minkum, wa lā taqtulū anfusakum, innallāha kāna bikum raḥīmā.


Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling rela di antara kalian. Dan janganlah membunuh diri kalian; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian." (An-Nisa': 29)


Ragam Tafsir Surat An-Nisa' Ayat 29

Ayat ini menjelaskan sejumlah hal-hal yang diharamkan seputar harta dan jiwa setelah sebelumnya dijelaskan sejumlah perempuan yang haram dinikahi atau muharramatun nisa', sebagaimana dijelaskan Abus Su'ud (wafat 982 H), mufasir kenamaan asal negeri Mesir.


Persisnya, ayat ini menjelaskan dua bahasan utama, yaitu keharaman memakan harta orang lain secara jahat atau batil, dan keharaman melakukan pembunuhan.


Keharaman Memakan Harta Orang Lain secara Jahat

Maksud haram memakan harta orang lain adalah haram mengambil, merampas, menguasai, dan merusak harta orang lain dengan cara apapun yang haram. Seperti dengan cara mencuri, merampok, ghasab atau memakai dan menguasai harta orang lain tanpa seizin pemiliknya. Demikian pula masuk dalam petunjuk ayat ini melakukan korupsi atas harta rakyat atau negara. Semuanya haram. (Sulaiman bin Umar Al-Jamal, Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 2018], juz II, halaman 42).


Termasuk pula mengambil harta orang lain dengan cara judi, riba dan seluruh pekerjaan yang haram. (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 2009], juz V, halaman 33).


Penyebutan "la ta'kulu" atau janganlah memakan dalam ayat hanya menunjukkan keumumannya. Umumnya orang mengambil harta orang lain untuk dimakan. Karenanya yang disorot secara tekstual dalam ayat adalah memakan harta orang lain. Tapi secara substansial ayat juga mencakup seluruh perbuatan mengganggu harta orang lain.


Bahkan menurut sebagian pendapat sebagaimana disampaikan oleh Imam Al-Khazin, ayat juga mencakup memakan harta diri sendiri dengan jalan yang haram. Yaitu menggunakan harta sendiri untuk melakukan kemaksiatan.


Inilah maksud penggalan ayat:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَاطِلِ


Artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil."


Setelah melarang memakan harta milik orang lain secara haram, kemudian Allah menyebutkan cara memakan harta orang lain secara halal, yaitu dengan frasa ayat:


إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ


Artinya, "Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling rela di antara kalian."


Maksudnya orang boleh memakan harta orang lain dengan jalan perniagaan berdasarkan asas saling rela atau taradhi antara dua pihak yang bertransaksi. Frasa "tijarah" atau perniagaan dalam ayat mencakup seluruh akad tukar-menukar yang dimaksudkan untuk memperoleh laba, sehingga mencakup jual beli, sewa-menyewa, dan lain sebagainya.


"Tijarah" yang bermakna perniagaan atau jual beli disebutkan secara khusus dalam ayat karena melihat keumumannya. Umumnya transaksi harta antara manusia yang paling banyak terjadi adalah jual beli. Selain itu juga karena jual beli atau berdagang merupakan pekerjaan yang paling utama dibandingkan dengan yang lainnya. 


Berkaitan hal ini Rasulullah saw bersabda:


إنَّ أطْيَبَ الكَسْبِ كَسْبُ التُّجّارِ، الَّذِينَ إذا حَدَّثُوا لَمْ يَكْذِبُوا، وإذا وعَدُوا لَمْ يُخْلِفُوا، وإذا ائْتُمِنُوا لَمْ يَخُونُوا، وإذا اشْتَرَوْا لَمْ يَذُمُّوا، وإذا باعُوا لَمْ يَمْدَحُوا، وإذا كانَ عَلَيْهِمْ لَمْ يَمْطُلُوا، وإذا كانَ لَهم لَمْ يُعَسِّرُوا


Artinya, "Sungguh pekerjaan terbaik adalah pekerjaan para pedagang. Yaitu para pedagang yang bila berbicara maka tidak berdusta, bila berjanji tidak mengingkari, bila mendapatkan amanah tidak berkhianat, bila membeli tidak mencela, bila menjual tidak memuji (dagangan secara keterlaluan), bila punya utang maka tidak menunda-nunda pelunasannya, dan bila punya piutang, maka tidak mempersulit orang yang utang kepadanya." (HR Al-Ashbahani).


Namun demikian tidak setiap kerelaan antara dua pihak yang bertransaksi kemudian dihalalkan oleh syariat. Kerelaan tersebut harus terbingkai dalam batas-batas akad yang legal. Karenanya harta yang diperoleh dengan cara judi atau riba, meskipun berdasarkan kerelaan pihak-pihak yang bersangkutan maka tetap haram.  Demikian dijelaskan secara panjang lebar oleh Prof Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab tafsirnya, At-Tafsirul Munir. (Az-Zuhaili, V/33).


Keharaman Membunuh

Keharaman melakukan pembunuhan dalam ayat terekspos dalam frasa:


وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ


Artinya, "Dan janganlah membunuh diri kalian."


Secara lahiriah, ayat ini hanya menerangkan larangan melakukan bunuh diri, tidak mencakup perbuatan membunuh orang lain, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw:


مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا 


Artinya, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan senjata tajam, maka senjata tajam yang tergenggam di tangannya akan selalu ia tikamkan ke perutnya di neraka Jahanam secara terus-menerus dan ia kekal di dalamnya.” (HR Muslim).


Namun demikian mayoritas mufasir justru memaknainya sebagai larangan membunuh orang lain. Kejahatan membunuh orang lain seolah sama dengan kejahatan melakukan bunuh diri. Sehingga makna ayat adalah, janganlah kalian membunuh orang lain karena sama saja dengan membunuh diri kalian sendiri.


Hal ini seperti hadits Nabi saw yang memposisikan orang lain ibarat satu tubuh dengan kita. Nabi Muhammad saw bersabda:


‏الْمُؤْمِنُونَ كَرَجُلٍ وَاحِدٍ إِنْ ‏ ‏اشْتَكَى‏ ‏رَأْسُهُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ ‏


Artinya, "Orang-orang yang beriman seperti satu orang, jika sakit kepalanya, maka seluruh jasadnya akan ikut merasa panas dan tidak bisa tidur (HR Muslim).


Bahkan menurut Imam As-Suyuthi makna ayat bukan hanya pembunuhan dengan menghilangkan nyawa orang, tapi juga termasuk perbuatan yang mengakibatkan kebinasaan di akhirat.


Secara lugas Imam As-Suyuthi menjelaskan, maksud ayat adalah jangan melakukan hal-hal yang menyebabkan kebinasaan, baik kebinasaan di dunia maupun di akhirat. Sehingga ayat ini mencakup perbuatan yang menghilangkan nyawa, maupun perbuatan maksiat yang mengakibatkan kesengsaraan di akhirat kelak. 


Pemaknaan seperti ini berdasarkan petunjuk frasa terakhir dari ayat:


إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا


Artinya, "Sungguh Allah adalah Zat Yang Maha Pengasih kepada kalian." 


Sebagaimana diketahui, makna Ar-Rahim adalah Dzat Yang Maha Pengasih di akhirat bagi orang-orang mukmin. Karenanya, ayat juga mencakup perbuatan maksiat yang mengakibatkan kebinasaan dan kesengsaraan di akhirat. Wallahu a'lam. (Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain pada Futuhatul Ilahiyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 2018], juz II, halaman 42). 


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda