Tafsir

Tafsir Surat Ar-Rum ayat 17: Anjuran Bertasbih kepada Allah di Setiap Keadaan

Sab, 18 Mei 2024 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Ar-Rum ayat 17: Anjuran Bertasbih kepada Allah di Setiap Keadaan

Ilustrasi dzikir. (Foto: NU Online/Suwitno)

Surat Ar-Rum ayat 17 memberikan petunjuk penting bagi umat Islam. Ayat ini menyerukan untuk menyucikan Allah SWT dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya. Ini diartikan sebagai larangan untuk bersekutu dengan-Nya atau menganggap-Nya memiliki kekurangan. Sebaliknya, kita diwajibkan untuk memuji Allah dengan segala sifat terpuji yang dimiliki-Nya. Perintah ini dapat dipahami sebagai bentuk pengabdian, yakni dengan melaksanakan ibadah kepada Allah di siang dan malam hari.

 

Selain itu, ayat ini juga berisi perintah untuk bertasbih kepada Allah SWT. Arti dari bertasbih adalah menyucikan Allah dari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan. Ini menjadi pengingat bagi kita untuk senantiasa mengagungkan kebesaran Allah SWT. Dalam keadaan senang maupun susah, kita harus bersyukur dan berserah diri kepada-Nya. Dengan bertasbih, kita mengakui keagungan dan kesempurnaan Allah SWT yang tak terbantahkan.

 

Allah berfirman dalam QS Ar-Rum ayat 17:

 

فَسُبْحٰنَ اللّٰهِ حِيْنَ تُمْسُوْنَ وَحِيْنَ تُصْبِحُوْنَ 

 

fa sub-ḫânallâhi ḫîna tumsûna wa ḫîna tushbiḫûn

 

Artinya: "Bertasbihlah kepada Allah ketika kamu berada pada waktu senja dan waktu pagi".

 

Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab Tafsir Munir menjelaskan, Surat Ar-Rum ayat 17 memerintahkan umat Islam untuk bertasbih dan menyucikan Allah SWT di dua waktu penting, yaitu waktu petang (saat menjelang Maghrib dan Isya') dan waktu pagi (saat Subuh). 

 

Kata “Fasubḫâna” berarti “Huwat tasbîḫ”, yakni “menyucikan” dan kalimat ini mengandung makna perintah untuk memuji dan mengagungkan Allah SWT. Perintah bertasbih dan menyucikan Allah SWT di waktu-waktu tersebut bukan hanya ritual ibadah, tetapi juga pengingat bagi umat Islam untuk merenungkan kebesaran dan keagungan Allah SWT.

 

Para ahli tafsir lainnya berpendapat bahwa “bertasbih” memiliki arti yang lebih luas, yaitu penyucian Allah. Penyucian ini meliputi hati (iman yang kuat), lisan (mengucapkan kebaikan), dan anggota tubuh (melakukan amal saleh). Penyucian hati adalah yang utama, diikuti dengan ucapan yang baik, dan diakhiri dengan perbuatan yang baik. 

 

Ibnu Abbas berpendapat bahwa “bertasbih” yang dimaksud adalah shalat lima waktu. Beliau menjelaskan shalat yang dimaksud berdasarkan waktu yang disebutkan dalam ayat. Namun ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa ayat ini hanya isyarat untuk empat shalat yaitu Maghrib, Subuh, Asar, dan Zuhur. Shalat Isya disebutkan di ayat lain.

 

Shalat adalah bentuk penyucian yang paling sempurna karena melibatkan hati, lisan, dan anggota tubuh. Ini sesuai dengan perintah Allah untuk menyucikan diri. Perintah ini juga berkaitan dengan ayat sebelumnya yang menyebutkan bahwa surga adalah tempat bagi orang yang beriman dan beramal saleh.

 

Lebih lanjut, ayat ini juga menjelaskan bahwa selain manusia, semua makhluk di langit dan bumi bertasbih kepada Allah dengan cara memuji-Nya. Makna  bertasbihlah kalian kepada Allah SWT, adalah sucikanlah Dia dari segala bentuk sifat kurang dan sematkanlah kepada-Nya sifat-sifat kesempurnaan. Namun manusia memiliki kewajiban khusus untuk memuji Allah dengan cara bertasbih. Pujian kepada Allah bertujuan untuk mengagungkan-Nya dan mendorong manusia beribadah sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diberikan.

 

Waktu-waktu yang disebutkan dalam ayat ini, yaitu malam, pagi, petang, dan zuhur dipilih karena pada saat itulah tanda-tanda kekuasaan, keagungan, dan rahmat Allah tampak jelas. Hadits Nabi Muhammad SAW memperkuat pentingnya ayat ini dengan menyebutkan keutamaan bagi yang mengamalkan "bertasbih" di waktu pagi dan petang.  (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir,  [Beirut: Darul Fikr Al-Muashir, 1991 M], Jilid XXI, halaman 64)

 

Sementara itu, Imam Baghawi dalam kitab Tafsir Ma'alim Tanazil fi Tafsir Al-Qur'an menjelaskan makna mendalam dari kata "Subhanallah". Menurutnya, ayat tersebut berarti "Maha Suci Allah" dan mengandung perintah untuk bertasbih kepada Allah. Dalam konteks ayat ini, bertasbih diartikan sebagai melaksanakan shalat.

 

Imam Baghawi selanjutnya menjelaskan waktu-waktu yang dimaksud dalam ayat tersebut. Yakni saat petang untuk melaksanakan shalat Maghrib dan Isya, serta saat pagi hari untuk melaksanakan shalat Subuh. Penjelasan ini semakin menegaskan bahwa bertasbih yang diperintahkan dalam ayat tersebut merujuk pada ibadah shalat.

 

Dengan demikian, Imam Baghawi merangkum bahwa ayat ini memiliki dua makna utama. Pertama, sebagai perintah untuk bertasbih kepada Allah dalam bentuk dzikir "Subhanallah". Kedua, sebagai perintah untuk melaksanakan shalat, yang diperkuat dengan penegasan mengenai waktu-waktu shalat di dalam ayat.

 

(فَسُبْحَانَ اللَّهِ) أَيْ: سَبِّحُوا اللَّهَ، وَمَعْنَاهُ: صَلُّوا لِلَّهِ، (حِينَ تُمْسُونَ) أَيْ: تَدْخُلُونَ فِي الْمَسَاءِ، وَهُوَ صَلَاةُ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، (وَحِينَ تُصْبِحُونَ} أَيْ: تَدْخُلُونَ فِي الصَّبَاحِ، وَهُوَ صَلَاةُ الصُّبْحِ 

 

Artinya: “Maha Suci Allah. Maksudnya: Agungkanlah Allah. Maknanya: Shalatlah karena Allah. [ketika kamu berada pada waktu senja] maknanya saat kalian memasuki waktu sore hari ( Shalat Maghrib dan Isya) dan saat kalian memasuki waktu pagi hari ( Shalat Subuh).” (Imam Baghawi, Tafsir Ma'alim Tanazil fi Tafsir Al-Qur'an, [Riyadh: Darul Thaybah Lin Nasyar wa At-Tauzi',1997] Jilid VI, halaman 164). 

 

Adapun Imam Baidhawi dalam Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta'wil menjelaskan, sejatinya setiap muslim diwajibkan untuk bertasbih, yaitu menyucikan Allah SWT dari segala sifat kekurangan, dan menyifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan. Hal ini harus dilakukan di setiap waktu, silih berganti tanpa henti. Aktivitas bertasbih ini dibarengi dengan tahmid, yaitu memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan nikmat-Nya. (Imam Baidhawi, Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta'wil, [Beirut: Darul Ihya Turats al-'Arabi, tt], Jilid IV,halaman 204)

 

Salah satu manifestasi nyata dari bertasbih dan bertahmid adalah shalat fardhu lima waktu. Shalat, di dalamnya mengandung bacaan tasbih dan tahmid, menjadi bukti nyata keimanan seorang muslim. Ibnu Abbas menjadikan ayat Al-Qur'an sebagai landasan dalil tentang kewajiban shalat lima waktu dan keutamaan bertasbih dan bertahmid. 

 

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, 

 

مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيًّا وَحِينَ تُظْهِرُونَ إِلَى ﴿وَكَذَلِكَ تُخْرَجُونَ أَدْرَكَ مَا فَاتَهُ فِي لَيْلَتِهِ وَمَنْ قَالَهُنَّ حِينَ يُمْسِي أَدْرَكَ مَا فَاتَهُ فِي يَوْمِهِ

 

Artinya: "Barangsiapa yang membaca wirid dengan ayat "fa sub-ḫânallâhi ḫîna tumsûna wa ḫîna tushbiḫûn," pada pagi hari, maka dia men-dapatkan apa yang dia lewatkan pada malamnya, dan siapa yang membaca wirid itu pada petang hari, maka dia mendapatkan apa yang dia lewatkan pada siangnya."

 

Pada hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda, 

 

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُكَالَ لَهُ بِالْقَفِيْزِ الْأَوْفَى فَلْيَقُلْ فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ ..الآية

 

Artinya: "Barangsiapa yang ingin dipenuhi timbangan kebaikannya dengan penuh, maka hendaklah ia membaca tasbih (Subhanallah) di waktu pagi dan petang, sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam ayat: ‘fa sub-ḫânallâhi ḫîna tumsûna wa ḫîna tushbiḫûn..’” 

 

Kedua hadits ini menjadi bukti dan penguat kewajiban umat Islam untuk bertasbih dan bertahmid. Keutamaan yang digambarkan dalam hadits-hadits tersebut menjadi motivasi bagi setiap muslim untuk senantiasa memuji dan menyucikan Allah SWT dalam setiap kesempatan. 

 

Dengan bertasbih dan bertahmid, seorang muslim tidak hanya mendapatkan pahala yang berlimpah, tetapi juga mendekatkan diri kepada Allah SWT dan merasakan ketenangan hati.

 

Dengan demikian, meskipun para ulama memiliki tafsir berbeda mengenai bentuk bertasbih yang dimaksud dalam ayat ini. Ada pendapat yang mengatakan bahwa bertasbih merujuk pada shalat lima waktu. Pendapat lain menyebutkan bahwa bertasbih bisa dilakukan kapan saja dalam bentuk dzikir dan pujian kepada Allah SWT.

 

Intinya, ayat ini mengajak kita untuk senantiasa dekat dengan Allah SWT. Bertasbihlah kepada-Nya dalam setiap keadaan, baik melalui shalat maupun amalan ibadah lainnya.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat.