Tasawuf/Akhlak

4 Adab Pemberi Hadiah menurut Imam al-Ghazali

Sel, 30 Maret 2021 | 12:30 WIB

4 Adab Pemberi Hadiah menurut Imam al-Ghazali

Pemberi hadiah hendaknya memandang utama kepada orang yang diberi hadiah. Sebab, pemberian atas dasar iba tidak bisa disebut sebagai hadiah tetapi sedekah.

Hadiah merupakan salah satu jenis pemberian kepada orang lain yang juga dianjurkan di dalam Islam berdasarkan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu sebagai berikut:


تهادوا تحابوا


Artinya: “Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR al-Bukhari).


Syekh Zakariyya Al-Anshari mendefinisikan hadiah sebagai berikut:


(الهدية وهي) تمليك (ما يحمل) اي يبعث (غالبا) بلا عوض الى المهدى اليه (إكراما)


Artinya: “Hadiah adalah penyerahan hak milik harta benda tanpa ganti rugi yang umumnya dikirimkan kepada penerima untuk memuliakannya.” (lihat Abi Yahya Zakariyya Al-Anshari Asy-Syafi’i, Asnal Mathalib, [Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah], juz 5, hlm. 566).


Jadi tujuan dari pemberian hadiah adalah untuk memuliakan seseorang, misalnya atas kedudukan, prestasi, peranan atau jasa penting yang dimilikinya dalam masyarakat. 


Terkait dengan pemberian hadiah ini, Imam al-Ghazali memberikan petunjuk tentang adab yang perlu diperhatikan oleh siapa saja yang bermaksud memberikan hadiah kepada seseorang sebagai berikut:


آداب المهدي: رؤية الفضل للمهدي إليه ، وإظهار السرور بالقبول منه لها ، والشكر عند رؤية المهدي إليه والاستقلال لها وإن كثرت


Artinya: Memandang utama kepada orang yang diberi hadiah; memperlihatkan rasa senang pada waktu menyerahkan hadiah; bersyukur ketika melihat orang yang akan diberi hadiah; dan mengikhlaskan hadiah tersebut (tidak pamrih) walaupun banyak. (lihat Imam al-Ghazali, al-Adâb fî al-Dîn dalam Majmû'ah Rasâil al-Imâm al-Ghazâlî [Kairo: Al-Maktabah At-Taufîqiyyah, t.th.], Hal. 439).


Dari kutipan di atas dapat diuraikan keempat adab memberi hadiah sebagai berikut: 


Pertama, memandang utama kepada orang yang diberi hadiah. 

Pemberian kepada orang lain karena merasa iba tidak bisa disebut sebagai hadiah tetapi sedekah. Oleh karena itu jika kita bermaksud memberikan sesuatu kepada seseorang sebagai hadiah, maka kita harus memandang sisi keutamaan atau kelebihan dari orang itu sebagai sikap menghargai atau menghormati, misalnya sebagai sesepuh, orang alim, orang saleh, orang yang banyak kebaikan dan jasanya, tokoh masyarakat, dan sebagainya. 


Pertanyaannya adalah bolehkah kita memberikan hadiah kepada seorang tokoh yang kebetulan kondisi ekonominya lemah atau termasuk orang tak mampu? 


Tentu saja kita boleh memberikan hadiah kepada seseorang dengan kondisi seperti di atas tetapi harus dengan niat memuliakan karena ketokohannya. Jika niat kita karena ingin berbagi kepada orang yang membutuhkan uluran tangan, maka pemberian itu disebut sedekah. Secara agama, tidak ada perbedaan yang berarti antara hadiah dan sedekah karena keduanya hukumnya sunnah. Tetapi secara sosial, hadiah lebih tinggi nilainya dari pada sedekah. 

 


Kedua, menampakkan rasa senang pada waktu menyerahkan hadiah. 

Memberikan hadiah bukanlah kewajiban karena sekali lagi hukumnya adalah sunnah. Oleh karena hukumnya bukan wajib, maka terasa janggal apabila kita memberikan hadiah karena keterpaksaan sehingga tidak bisa menampakkan rasa senang. 


Oleh karena itu, dalam memberikan hadiah kepada seseorang harus disadari bahwa pemberian itu bersifat suka rela sebagai ungkapan terima kasih atau penghargaan atas kelebihan-kelebihan atau keutamaan-keutamaan yang ada padanya. 


Ketiga, bersyukur ketika melihat orang yang akan diberi hadiah. 

Jika menampakkan rasa senang di depan orang lain lebih bersifat sosial karena terkait dengan hubungan baik antara manusia satu dengan lainnya atau disebut hablum minan nas, maka rasa syukur di dalam hati ketika bertemu orang yang akan diberi hadiah termasuk wilayah hablum minallah karena bersyukur merupakan ibadah personal kepada Allah.


Rasa syukur dalam kaitan ini adalah penting karena kita perlu menyadari bahwa tidak setiap orang mendapat kesempatan atau diberi kamampuan untuk memberikan hadiah kepada orang-orang yang memang memiliki keutamaan-keutamaan tertentu sebagaimana telah disinggung di atas.


Keempat, mengikhlaskan hadiah tersebut walaupun banyak. 

Memberikan hadiah dengan nilai yang pantas adalah wajar sebab hadiah bersifat penghargaan dan tidak diberikan dengan pamrih tertentu. Bagi orang mampu, nilai hadiah yang wajar tidak menjadi persoalan, tetapi bagi orang yang kurang mampu, mungkin terasa berat dan bisa mengurangi keikhlasannya. Di sinilah masalahnya jika orang-orang tak mampu didorong-dorong memberikan hadiah kepada orang-orang tertentu di dalam masyarakat. 


Solusinya, orang-orang tak mampu yang berkeinginan memberikan hadiah dengan nilai yang pantas menurut ukuran umum, mereka bisa melakukannya dengan terlebih dahulu menabung hingga mencapai angka yang pantas. Tetapi jika mereka memutuskan nilai hadiah yang seadanya, maka mereka tidak boleh lupa memohon maaf untuk menghindari kesalahpahaman. Atau, mereka tidak perlu memaksakan diri untuk memberikan hadiah jika faktanya memang belum cukup mampu. 


Demikianlah keempat adab pemberi hadiah sebagaimana dinasihatkan oleh Imam al-Ghazali yang hendaknya kita perhatikan dengan baik. Intinya adalah dalam memberikan hadiah kepada orang-orang tertentu yang memiliki keutamaan atau kelebihan di masyarakat, kita perlu memperhatikan bahwa hadiah itu diberikan sebagai penghormatan dengan nilai yang wajar dan dilakukan dengan senang hati, syukur, serta tanpa pamrih.


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.