Amien Nurhakim
Penulis
Belakangan ini, kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan terkait keteladanan pemimpin dalam berucap. Salah satu contoh yang mencolok adalah pernyataan pemimpin negara, dengan lontaran kata yang menohok, yaitu “Ndasmu!”, yang berarti “Pala loe!”
Arti kata “ndasmu” atau “ndashmu” tidak sesederhana “kepalamu,” sebagaimana makna literalnya. Ia mencerminkan konotasi kasar oleh pengucap kepada lawan bicaranya (I Dewa Putu Wijana, Kata-kata Kasar dalam Bahasa Jawa, [Jurnal Humaniora, 2008, vol. 20], hlm. 254).
Menurut Eko Heriyanto dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Javanese Swearing Words: an Analysis of Shifting and Changing Referring Connotative Meaning,” penggunaan kata “ndasmu" menunjukkan pergeseran makna. Pada awalnya, istilah ini merujuk pada bagian tubuh yang berfungsi sebagai pusat berpikir, tetapi dalam konteks makian, ia berfungsi untuk mengekspresikan ketidakpuasan atau ketidakpercayaan terhadap seseorang. (Journal of Language and Health, vol. 1, April 2020, hlm. 34)
Beberapa politikus berusaha menjelaskan bahwa ucapan "ndasmu etik" hanya candaan dan merupakan gaya bahasa orang Banyumas, serta disampaikan dalam nuansa kekeluargaan, sehingga seharusnya tidak ada yang tersinggung. Ada juga yang berpendapat bahwa video viral tersebut dipolitisasi oleh kompetitor (Lihat “Analisis Framing Pemberitaan ‘Ndasmu Etik’ dalam Debat Calon Presiden (Capres) 2024 Di Portal Kompas.Com dan Tempo.Co” oleh Siti Nur Aisah).
Kendati demikian, tetap saja, masyarakat, terutama anak-anak, tidak seharusnya mendengar kata-kata kasar ini, karena mereka cenderung menirunya. Jika sudah ditiru oleh anak-anak, maka secara otomatis telah terjadi krisis keteladanan pemimpin dalam berucap dan berkata-kata, khususnya di era media sosial saat ini.
Dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar tentang bagaimana seseorang mengatur dan mengambil keputusan, tetapi juga bagaimana ia berbicara dan menyampaikan kata-katanya kepada orang lain. Seorang pemimpin teladan tentu saja mampu menjaga lisannya dari kata-kata yang tidak pantas diucap di depan publik.
Dalam Al-Qur’an, terdapat larangan untuk perkataan buruk dan kasar, terlebih jika dilakukan secara terang-terangan. Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an:
لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْۤءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَۗ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا
Artinya, “Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS An-Nisa: 148)
Syekh Wahbah menjelaskan ayat di atas, “Allah Ta'ala menghukum orang yang terang-terangan mengucapkan perkataan buruk, yaitu dengan menyebut aib orang lain dan menyebutkan keburukan mereka. Hal ini karena dapat memicu permusuhan, kebencian, dan menanamkan dendam di dalam hati. Selain itu, hal ini juga berdampak buruk bagi pendengarnya, karena dapat mendorong mereka untuk melakukan kemungkaran, meniru perbuatan buruk, dan terjerumus dalam dosa. Sebab, mendengar keburukan sama halnya dengan melakukan keburukan itu sendiri.” (Tafsirul Munir, [Beirut, Darul Fikr al-Mu’ashir, 1418], jilid VI, hlm. 7).
Memang ayat di atas bentuknya adalah menceritakan keburukan orang lain secara terang-terangan, alias sebelas dua belas dengan ghibah, namun dilakukan di depan publik. Tidak begitu detail, omongan keburukan ini dibawakan dengan kata-kata yang buruk atau tidak, akan tetapi yang perlu digarisbawahi dari penjelasan Syekh Wahbah adalah bawah perbuatan buruk akan menciptakan:
تقليد المسيء
Artinya, “Meniru perbuatan buruk.”
Maka tidak heran beberapa netizen di media sosial, khususnya orang tua yang sudah memiliki anak, mengeluhkan soal anak-anaknya yang berani secara lantas menyebut kata “ndasmu!”, sebab meniru pemimpin negara yang menyebut kata-kata tersebut di depan publik, kemudian viral menjadi konten yang bertebaran di medsos.
Rasulullah SAW juga pernah mengemukakan bahwa Allah tidak suka dengan lisan yang kotor dan kasar, dalam sabdanya yang dilampirkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunan:
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ
Artinya, “Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang paling berat di timbangan kebaikan seorang orang beriman pada hari kiamat seperti akhlak yang mulia, dan sungguh Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.” (HR Tirmidzi)
Hadits di atas menunjukkan bahwa akhlak yang baik, termasuk dalam berbicara, memiliki bobot yang sangat berat di sisi Allah SWT. Sebaliknya, perkataan yang kasar dan menyakitkan adalah sesuatu yang dibenci oleh-Nya.
Mula al-Qari menjelaskan bahwa ‘fahisy’ pada hadits di atas memiliki ragam makna. Bisa diartikan sebagai orang yang berlaku keji, atau orang yang berbicara dengan keji, dan suka mencaci maki. Namun, Mula al-Qari sendiri lebih condong kepada makna berikut:
وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الشَّتْمُ الْقَبِيحُ الَّذِي يَقْبُحُ ذِكْرُهُ
Artinya, “Tampaknya, maksud utama dari istilah ini (fahisy) adalah hinaan yang sangat buruk hingga tidak pantas untuk disebutkan.” (Mirqatul Mafatih, [Beirut, Darul Fikr, 2002], jilid VII, hlm. 3044)
Keteladanan seorang pemimpin tidak hanya terlihat dari tindakannya, tetapi juga dari tutur katanya. Dalam Islam, ucapan yang baik mencerminkan akhlak yang luhur, sehingga seorang pemimpin harus menjadi teladan dalam berbicara, terutama saat berada di muka publik. Wallahu a’lam
Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Perintah Membaca
2
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Anjuran Memperbanyak Tadarus
3
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Turunnya Kitab Suci
4
PBNU Adakan Mudik Gratis Lebaran 2025, Berangkat 25 Maret dan Ada 39 Bus
5
Khutbah Jumat: Pengaruh Al-Qur’an dalam Kehidupan Manusia
6
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Peduli Lingkungan dan Sosial
Terkini
Lihat Semua