Tasawuf/Akhlak

Cara Menyikapi Kisah-kisah Karamah Wali di Masa Sekarang

Rabu, 19 Februari 2025 | 20:00 WIB

Cara Menyikapi Kisah-kisah Karamah Wali di Masa Sekarang

Ilustrasi wali. (Foto: NU Online)

Saat ini, media sosial dipenuhi dengan berbagai konten yang menampilkan kutipan ceramah dari para mubaligh seperti kiai, ustadz, gus, dan habib, yang menceritakan kisah-kisah karamah para wali. Sayangnya, banyak dari konten ini justru menjadi bahan tertawaan dan olok-olokan.

 

Sebagai seorang muslim, memercayai karamah para wali merupakan suatu keharusan. Hal ini seperti yang dikemukakan dalam al-Fiqhul Akbar, sebuah kitab yang dinisbatkan pada Imam Abu Hanifah, bahwa banyak ayat-ayat yang menetapkan karamah para wali (Emirat Arab, Al-Furqan, 1419H/1999M, jilid I, hlm. 51).

 

Di antara ayat yang menjadi contoh bagi karamah wali adalah ayat Al-Qur’an surat Ali Imran ke-37 yang berkaitan dengan Maryam, ibunda Nabi Isa. Tatkala Zakariya mengunjungi Maryam, terdapat makanan di sisinya. Nabi Zakariya menanyakan dari mana datangnya makanan tersebut kepada Maryam. “Dari Allah,” jawab Maryam. Ayat tersebut adalah:

 

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَۙ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًاۚ قَالَ يٰمَرْيَمُ اَنّٰى لَكِ هٰذَاۗ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَاۤءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

 

Artinya, “ Setiap kali Zakaria masuk menemui di mihrabnya, dia mendapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam, dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.”.

 

Ibnu Katsir menyebut bahwa ayat di atas merupakan dalil akan adanya karamah para wali. Karamah Maryam dalam ayat tersebut adalah tersedianya makanan di mihrabnya tanpa perantara. Bahkan disebutkan dalam riwayat Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Abu Syatha, Ibrahim an-Nakha’i, ad-Dhahhakk dan lain sebagainya, bahwa makanan musim dingin tersedia di musim panas, dan juga sebaliknya, makanan musim panas tersedia di musim dingin dalam mihrab Maryam (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, [Beirut, Darul Fikr, 1994], jilid I, hlm. 442).

 

Berbeda dengan mukjizat yang diberikan kepada para nabi, yang berfungsi sebagai bukti otentik atas klaim kenabian mereka, karamah tidak selalu ditunjukkan untuk menantang orang lain. Para wali sering kali memilih untuk menyembunyikan karamah mereka.

 

Kendati demikian, ‘Abdul Qahir al-Baghdadi menjelaskan jika seorang wali sah-sah saja menampilkan karamahnya untuk membuktikan kewaliannya:

 

يجوز ظهور الكرامات على الاولياء وجعلوها دلالة على الصدق فى احوالهم كما كانت معجزات الانبياء دلالة على صدقهم فى دعاويهم وقالوا على صاحب المعجزة إظهارها والتحدى بها وصاحب الكرامات لا يتحدى بها غيره وربما كتمها وصاحب المعجزة مأمون العاقبة وصاحب الكرامة لا يأمن تغيير عاقبته كما تغيرت عاقبة بلعم بن باعورا بعد ظهور كراماته

 

Artinya, “Munculnya karamah dari pada para wali untuk dijadikan sebagai tanda kebenaran kewalian mereka boleh-boleh saja (jaiz ‘aqli), sebagaimana mukjizat para nabi menjadi tanda kebenaran dalam klaim kenabian. Sekelompok orang berpendapat bahwa pemilik mukjizat harus menampakkannya dan menantang orang lain (yang membantahnya, sebagaimana umat-umat terdahulu), sedangkan pemilik karamah tidak menantang orang lain dengan karamahnya, dan mungkin saja menyembunyikannya. Pemilik mukjizat dijamin keselamatannya, sementara pemilik karamah tidak aman dari perubahan nasibnya (baik/buruk), seperti yang terjadi pada Bal’am bin Ba’ura setelah munculnya karamah-karamahnya.” (Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu baynal Firaq, [Beirut, Darul Afaq al-Jadidah, 1977], jilid I, hlm. 334-335).

 

Muhammad bin Yusuf ash-Shalihi asy-Syami juga menjelaskan, sekte dalam Islam yang tidak menerima adanya karamah bagi para wali adalah kalangan Mu’tazilah. Mu’tazilah berargumen, jika khawariqul ‘adah, atau hal-hal di luar nalar terjadi juga pada selain nabi, maka niscaya akan membingungkan, dan orang-orang sulit membedakan antara nabi dan bukan nabi. Bahkan, boleh jadi, orang mengaku-ngaku sebagai nabi.

 

Ash-Shalihi asy-Syami memaparkan pendapat kontra Mu’tazilah. Ia mengatakan bahwa perbedaan antara karamah wali dan mukjizat para nabi terletak pada fungsi khawariqul adat. Menurutnya, mukjizat para nabi berfungsi untuk memperkuat klaim kenabian, sementara karamah yang terjadi pada wali tidak dimaksudkan untuk menguatkan status kewalian, apalagi untuk mengklaim sebagai nabi. Selain itu, perbedaan juga terletak pada jenis khawariqul ‘adat-nya juga, yaitu:

 

فيمتنع عند هؤلاء أن ينفلق البحر، وقلب العصا ثعبانا، وإحياء الموتى وإلى غير ذلك

 

Artinya, “Bagi para wali, tidak mungkin terjadi peristiwa seperti terbelahnya laut, tongkat yang berubah menjadi ular, menghidupkan orang mati, dan sebagainya.” (Ash-Shalihi asy-Syami, Sabilul Huda war Rasyad, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiah, 1414 H - 1993 M], jilid X, hlm. 237-240).

 

Lantas, bagaimana cara menyikapi kisah-kisah yang beredar di era modern dan era media sosial, yang jauh dari nalar dan tidak masuk akal?

 

Pertama, kita harus mengimani bahwa para wali memiliki karamah karena kedekatannya dengan Allah, sebagaimana para ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Mereka adalah orang-orang saleh yang hatinya bersih.

 

Kedua, sebagian kelompok meyakini karamah sebagai anugerah khusus dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh, sementara kelompok lain menolak konsep ini dengan berbagai alasan rasional dan teologis. Dalam menyikapi perbedaan ini, penting untuk menegaskan bahwa kepercayaan terhadap karamah bukanlah bagian dari rukun iman yang harus diyakini oleh setiap Muslim.

 

Oleh karena itu, pandangan yang menolak karamah harus diterima sebagai bagian dari keragaman pemikiran dalam Islam, selama tidak menafikan kekuasaan Allah dalam memberikan keistimewaan kepada hamba-Nya.

 

Ketiga, secara epistemologis, karamah berbeda dengan mukjizat para nabi dan tidak dapat dijadikan sebagai dalil qiyasi (analogi) dalam hukum Islam. Karomah bersifat ikhtiyari (pilihan) Allah dan tidak dapat dipelajari atau ditiru oleh manusia, sebab ia merupakan bentuk anugerah yang diberikan tanpa usaha manusiawi tertentu.

 

Banyak ulama menyebutkan kisah-kisah wali yang dikaruniai keistimewaan tertentu, tetapi hal ini tidak bisa dijadikan standar normatif dalam kehidupan beragama. Oleh karena itu, memahami karamah harus tetap dalam kerangka keyakinan yang tidak mengesampingkan prinsip rasionalitas dan hukum sebab-akibat dalam kehidupan duniawi.

 

Keempat, kisah karamah biasanya berlebihan. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan paradigma berpikir dalam masyarakat di masa kini (era post-truth), konsep kewalian dan karamah perlu dikontekstualisasikan agar tidak terjebak dalam pemahaman yang statis dan ahistoris. Di era yang semakin menekankan rasionalitas, spiritualitas, dan etika sosial, kewalian dapat dimaknai sebagai bentuk ketakwaan dan pengabdian seseorang kepada Allah serta kontribusinya terhadap umat manusia.

 

Karamah, dalam pengertian yang lebih luas, dapat diwujudkan dalam bentuk kemampuan intelektual, moralitas tinggi, serta pengaruh positif yang diberikan oleh seorang wali kepada masyarakatnya. Dengan pendekatan ini, konsep kewalian tidak hanya dipahami sebagai fenomena supranatural 'yang aneh-aneh' dan di luar nalar, tetapi juga sebagai manifestasi spiritualitas yang relevan di masa sekarang dan sejalan dengan sunnatullah.

 

Sikap-sikap di atas menegaskan bahwa sebagian orang memang percaya pada eksistensi karamah para wali, sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab ilmu tauhid dan kalam Ahlussunnah wal Jamaah. Hanya saja, ketika ada seseorang yang datang menyodorkan kisah-kisah khariqul 'adah atau bertentangan dengan kebiasaan alam, yang terbilang aneh, kemudian mereka menolak memercayainya, maka sikap begini boleh dan wajar. Wallahu a’lam.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta