Tasawuf/Akhlak AL-HIKAM

Hari Raya Idul Fitri Bagi Para Sufi

Ahad, 8 Mei 2022 | 07:00 WIB

Hari Raya Idul Fitri Bagi Para Sufi

Hari raya Id bagi para sufi bukan tanggal 1 Syawwal yang penuh beraneka penganan di atas meja dan pakaian mentereng yang melekat di tubuh sebagaimana umumnya syiar hari raya Id di kalangan awam

Hari raya Idul Fitri merupakan momentum kebahagiaan bagi semuanya. Hari raya Id juga saat-saat yang bahagia bagi para sufi. Hari raya Id mendekatkan para sufi kepada Allah swt sehingga momentum demikian yang mereka tunggu-tunggu.


Hari raya Id bagi para sufi jauh dari kesan duniawi dan kenikmatan materi yang disyiarkan kalangan awam pada hari raya Idul Fitri. Hari raya Id bagi para sufi adalah situasi sulit atau pengalaman spiritual di mana mereka merasa butuh kepada Allah sebagaimana keterangan Ibnu Athaillah pada butir hikmah berikut ini:


ورود الفاقات أعياد المريدين 


Artinya, “Kedatangan saat-saat ‘terjepit’ adalah hari raya Id bagi kalangan murid,” (Ibnu Athaillah, Al-Hikam).


Bagi para sufi, hari raya Id merupakan saat-saat atau pengalaman spiritual di mana seseorang merasa rendah, hina, dan tidak berdaya di hadapan kekuatan maha besar Allah. Bagi para sufi, hari raya Id merupakan saat di mana mereka tidak lagi mengingat nafsu dan ketinggian diri mereka.


Yang mereka ingat hanya kerendahan, kedaifan, kefakiran, kelemahan diri, dan segala atribut kehambaan mereka di hadapan Allah. Pengalaman spiritual atau momentum kefakiran seperti ini yang membuat bahagia. Jadi itulah hari raya Id bagi mereka.


أي الأعياد جمع عيد وهي الأوقات العائدة على الناس بالمسرات والأفراح فالمريدون يسرون بالفاقات لأنها تسرع بوصولهم لمقصودهم لما فيها من الذل وقصر النفس 


Artinya, “’A‘yad’–bentuk jamak dari ‘Id’–merupakan saat-saat kegembiraan dan kebahagiaan yang kerap dialami manusia. Kalangan murid merasa bahagia atas saat-saat terjepit karena saat-saat terjepit itu diyakini dapat mengantarkan mereka dengan cepat ke tujuan di mana saat-saat itu mengandung kerendahan (mereka sebagai hamba) dan pembatasan nafsu,” (Lihat Syekh Abdullah Hijazi As-Syarqawi, Syarhul Hikam Ibnu Athaillah, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, juz II, halaman 12).


Syekh Ibnu Ajibah mengatakan, bagi para sufi, kebahagiaan itu terletak pada keesaan pandangan terhadap Allah, bukan yang lain. Untuk sampai ke sini–masih menurut mereka–, lazimnya orang mesti “terjebak” dalam kondisi terjepit atau situasi kefakiran kepada Allah karena dalam kondisi demikian orang tidak lagi menghiraukan nafsunya.


أي الأعياد جمع عيد وهو ما يعود على الناس بالأفراح والمسرة… والخواص فرحهم بإقبال الملك عليهم ووجود قلوبهم  وصفاء وقتهم من كدرات الأغيار والغالب أن هذه المعاني انما توجد عند الفاقة والحيزة والاضطرار حيث ينقطع حظ النفس فيها لأن النفس كلما ضيقت عليها رحلت الى عالم الملكوت وفي ذلك العالم راحتها وفرحها ومسرتها قال تعالى وأما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى فإن الجنة هي المأوى 


Artinya, “’A‘yad’–bentuk jamak dari ‘Id’–merupakan saat-saat kegembiraan dan kebahagiaan yang kerap dialami manusia. Bagi kalangan tertentu (khawash atau para sufi), kebahagiaan mereka tampak ketika ‘sambutan’ Allah atas mereka, serta saat kehadiran qalbu mereka dan sepinya waktu mereka dari ‘lumpur’ selain-Nya. Ghalibnya, semua itu muncul di saat terjepit (faqir), terbatas, dan terdesak di mana nafsu mereka terhenti ketika itu. Logikanya, ketika ruang gerak nafsu dipersempit, maka ia akan berpindah ke alam malakut. Di alam inilah terletak kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan nafsu mereka sebagaimana firman Allah, ‘Adapun orang yang takut pada maqam Tuhannya dan menahan nafsu dari kecenderungannya, maka surga menjadi tempatnya,’” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam fi Syarhil Hikam, Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, juz II, halaman 247).


Syekh Ali Baras dalam Syarah Al-Hikam-nya mengatakan, “Kata ‘faqir ilallah’ menjadi kata kunci hari raya Id bagi para sufi. Kefakiran kepada Allah sebagai pengalaman spiritual ditunggu para sufi karena itu yang menghadirkan diri mereka yang penuh kedaifan, kerendahan, dan ketidakberdayaan di hadapan Allah. Kefakiran ini mendekatkan mereka kepada Allah, melenyapkan kelalaian dari hati untuk kemudian mengingat Allah, melapangkan hati, dan menambah kuat mata batin mereka,” (Syekh Ali bin Abdullah bin Ahmad Baras, Syifa’us Saqam wa Fathu Khaza’inil Kalim fi Ma’nal Hikam, [Beirut, Darul Hawi: 2018 M/1439 H], halaman 628).


Kefakiran kepada Allah sebagai pengalaman spiritual bagi para sufi merupakan syiar orang-orang saleh. Mereka menyambut gembira kefakiran tersebut. Inilah makna kebahagiaan hari raya Id bagi para sufi. (Syekh Ali Baras, 2018 M/1439 H: 629).


Hari raya Id bagi para sufi bukanlah berisi kenikmatan duniawi, kelezatan makanan dan minuman, kemewahan pakaian, kemegahan rumah, kesenangan jasmani, ketinggian pangkat dan atribut duniawi lainnya. Hari raya Id bagi para sufi bukan tanggal 1 Syawal yang penuh beraneka penganan di atas meja dan pakaian mentereng yang melekat di tubuh sebagaimana umumnya syiar hari raya Id di kalangan awam. Wallahu a'lam. (Alhafiz Kurniawan).