Tasawuf/Akhlak

Kepemimpinan Sunan Gresik dan Sunan Gunung Jati di Bidang Pertanian dan Lingkungan

Rab, 11 Oktober 2023 | 17:30 WIB

Kepemimpinan Sunan Gresik dan Sunan Gunung Jati di Bidang Pertanian dan Lingkungan

Sunan Gresik dan Sunan Gunung Jati. (Foto ilustrasi: NU Online)

Harga beras yang mahal dan lingkungan yang mengalami kekeringan adalah fenomena yang mengusik masyarakat dewasa ini. Di sisi lain, muncul istilah el nino dan perubahan iklim yang dianggap sebagai biang keladi dari permasalahan tersebut. Kondisi ini tentu membawa dampak negatif bagi masyarakat. Jungkir balik pemimpin untuk mencari solusi terhadap mahalnya harga pangan dan menjamin ketersediaan pengairan seakan belum bisa memberikan ketenangan bagi rakyat yang dipimpinnya.


Bagaimana sejarah Islam di Nusantara memberikan wawasan dalam mengatasi masalah pangan dan pengairan? Apakah ada kepemimpinan di masa Walisongo yang mencetuskan cara bijak mengolah lingkungan? Apabila ada, mungkinkah pemimpin di masa sekarang mengambil teladan untuk lebih memperhatikan kelestarian lingkungan dan ketahanan pangan?


Sejak era wali generasi awal, masalah kekeringan ternyata sudah akrab dengan petani di Nusantara. Mereka sering mengalami masa paceklik yang ditandai dengan kekeringan sehingga tanaman tidak tumbuh dengan baik dan gagal panen. Dulu, yang dianggap membawa sial adalah para “danyang penunggu” persawahan sehingga banyak ritual dan sesajian yang dipersembahkan untuk mencegah kemarahan makhluk halus itu.


Pada masa Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, beliau menggunakan pendekatan inovatif untuk mengatasi masalah paceklik yang dialami oleh petani. Karena masalah utama yang dihadapi adalah buruknya pengairan sawah, maka Sunan Gresik melakukan alih teknologi berupa melatih masyarakat dengan teknik irigasi. Dalam sebuah sumber, disebutkan bahwa Sunan Gresik memang berasal dari luar Nusantara. Beliau diperkirakan berasal dari daerah yang telah memiliki teknologi pengairan lahan pertanian sehingga mampu menularkan pengetahuannya kepada masyarakat Jawa waktu itu.


Dalam salah satu laporan penelitian dari UIN Walisongo Semarang, disebutkan bahwa para wali yang berdakwah di Nusantara telah menerapkan pengetahuan yang bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat. 


Contohnya adalah saat para petani mengalami masa paceklik panjang akibat lahan pertanian kurang terolah dengan baik, maka Maulana Malik Ibrahim memperkenalkan sistem irigasi kepada mereka. Sistem irigasi adalah bagian dari ilmu-ilmu modern namun ketika hal itu dijadikan sebagai media dakwah, maka terjadilah proses Islamisasi terhadap ilmu tersebut. Secara perlahan para petani akan menyadari bahwa kegagalan panen tersebut bukan karena kemarahan “danyang penunggu” sawah, tetapi karena kurang ikhtiar. Ketika ajaran tentang ikhtiar sudah dilakukan maka selanjutnya mereka diajak untuk tawakkal, sehingga hasil apapun akan mereka terima dengan lapang dada meski terkadang tidak sesuai dengan keinginan.” (Widiastuti dan Maria Ulfah, 2018, Mercu Suar di Jawa Dwipa Menguak Gagasan Penerapan UoS pada Penyebaran Islam di Jawa, UIN Walisongo, Semarang: halaman 11, 96-108)


Hasil penelitian tersebut mengungkapkan fakta bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah salah satu wali yang memiliki kepemimpinan di bidang pertanian. Pertanian padi di Nusantara menjadi sangat esensial karena memang makanan pokok penduduk waktu itu adalah padi. Meskipun banyak sumber makanan lain yang bisa digunakan sebagai alternatif beras, tetapi apabila beras langka tetap saja disebut sebagai masa paceklik. Oleh karena itu, Maulana Malik Ibrahim tidak tinggal diam dan mengerahkan upaya agar produksi beras bisa dibangkitkan lagi.


Keterkaitan antara pertanian dengan sumber air dari lingkungan sangatlah erat. Petani bisa mengandalkan sungai sebagai sumber irigasi. Namun, apabila kelestarian hutan yang menyangga cadangan air dan turut menjaga debit air sungai terganggu, maka ketersediaan air juga akan bermasalah. Oleh karena itu, perlakuan terhadap hutan berperan penting untuk menjaga sumber air, baik yang mengalir ke sungai maupun dalam bentuk cadangan air tanah.


Salah satu Walisongo yang memberikan perhatian khusus terhadap pengelolaan hutan adalah Sunan Gunung Jati. Dalam buku Atlas Walisongo, sejarawan Agus Sunyoto mengungkapkan bahwa salah satu peran penting Sunan Gunung Jati adalah mengajarkan tata cara membuka hutan (Sunyoto, 2017, Atlas Wali Songo, Mizan Media Utama, Bandung: halaman 160)


Selain sebagai penguasa kerajaan Islam di Jawa Barat waktu itu, beliau juga mendidik masyarakat untuk tetap melestarikan hutan ketika membukanya untuk berbagai kepentingan. Pada masa itu, pembukaan hutan tidak jauh dari kepentingan perluasan pemukiman dan kebutuhan terhadap lahan pertanian. Oleh karena itu, sebagai pemimpin masyarakat, Sunan Gunung Jati menunjukkan kepiawaian dalam mengelola lingkungan agar terhindar dari kerusakan.


Salah satu bukti hasil perjuangan Sunan Gunung Jati adalah keberadaan Kampung Naga di Jawa Barat. Kampung itu merupakan hasil pembukaan hutan yang dilakukan oleh salah satu murid Sunan Gunung Jati bernama Singaparana. Dengan mempraktikkan ajaran Sunan Gunung Jati, Singaparana membuka hutan dengan konsep ramah lingkungan. Hasilnya, Kampung Naga yang masih eksis hingga hari ini menyodorkan kepada kita konsep pengelolaan air, lahan pertanian, hutan, dan pemukiman.


Di Kampung Naga, ada hutan yang tidak boleh dijamah oleh siapapun. Bahkan, sebatang pohon yang tumbang di hutan itu tidak boleh diubah dari tempat tumbangnya. Menurut warga di sana, hutan itu dikeramatkan karena sangat penting untuk menjaga kelestarian sumber air dan sungai yang mengairi kampung itu. 


Hutan yang dikeramatkan sesuai dengan konsep penjagaan lingkungan di masa kenabian. Nabi menerapkan area tertentu di Makkah dan Madinah sebagai area haram yang tidak boleh diusik flora maupun faunanya. Pada masa kekhalifahan sahabat juga dikenal adanya hima yang merupakan area terpelihara untuk menjamin ketersediaan pakan ternak maupun kelestarian tanaman (El-Awaisi, 2017, Mapping the Sacred: The Haram Region of Makkah, Milal ve Nihal Volume 14 nomor 2: halaman 24-47).


Selain itu, konsep pengaturan sumber air di Kampung Naga juga unik. Air dibiarkan mengalir sehingga tidak ada nyamuk yang bersarang. Air untuk keperluan konsumsi dijaga dengan baik sehingga tetap bersih dan dibedakan dengan air untuk pengairan irigasi sawah. Warga juga mendesain jamban di luar batas lingkungan pemukiman sehingga tidak mencemari tempat tinggal.


Untuk keperluan bercocok tanam, warga menanami sawahnya dengan padi varietas lokal yang diwariskan secara turun temurun. Bahkan untuk memanen padi mereka masih menggunakan alat manual yang disebut sebagai ani-ani. Berkat menerapkan ajaran leluhur yang diyakini berasal dari petuah Sunan Gunung Jati, mereka mandiri dalam ketahanan pangan dan dapat menjadi contoh dalam pelestarian air, hutan, padi, dan sumber daya lingkungan. Wallahu a’lam bis shawab.


Yuhansyah Nurfauzi, pakar farmasi, pemerhati sejarah kedokteran dan sejarah peradaban Islam