Tasawuf/Akhlak

Menjaga Akhlak di Era Digital

Kam, 5 Agustus 2021 | 12:30 WIB

Menjaga Akhlak di Era Digital

Ilustrasi akhlak dan media sosial. (Foto: NU Online)

Semakin luhur akhlak seseorang, maka semakin mantap kebahagiaannya. Demikian juga dengan masyarakat, semakin kompak anggota-anggotanya secara bersama-sama melaksanakan nilai-nilai akhlak yang disepakati bersama, maka semakin bahagia masyarakat tersebut.


Muhammad Quraish Shihab dalam Yang Hilang dari Kita: Akhlak (2017) menjelaskan Akhlak secara filosofis. Ia mengemukakan sejumlah konsep etika dan nilai dari para filsuf Yunani dan filsuf Barat. Tentu saja penguatan ilmu akhlak banyak ia kutip dari Al-Qur’an, Hadits, dan kitab-kitab klasik para ulama.


Secara historis, para filsuf Yunani kuno sangat menjunjung tinggi etika dan kemanusiaan. Langkah-langkah kaki mereka tidak pernah berhenti mencari ruang-ruang kehidupan manusia, dimana akhlak, etika, dan kemanusiaan dihidupkan.


Nurani sangat terkait dengan perkembangan akhlak luhur pada diri manusia. Layaknya pelita yang selalu menerangi, nurani merupakan pencerah hati dan perasaan manusia sehingga memungkinkan dirinya terhindar dari hal-hal negatif.


Namun demikian, hati nurani bukan hasil dari pemikiran teoritis aqliah. Tetapi ia lahir dari kerja perasaan yang bisa jadi tidak mudah untuk didefinisikan substansinya. Namun, setiap orang dapat merasakan hati nurani dan tidak mudah untuk mengabaikannya. 

 


Akhlak juga berkaitan dengan kebaikan dan keburukan atau kejahatan. Keburukan atau kejahatan adalah lawan dari kebaikan. Ia mencakup dua hal pokok, pertama, sakit atau perih, baik jasmani maupun rohani, seperti musibah kebakaran atau tenggelam.


Kedua, yang mengantar pada sakit atau perih seperti kebodohan dan kedurhakaan. Keburukan dan kejahatan itu bisa jadi bersumber dari pihak lain dan bisa juga akibat ulah yang mengalaminya sendiri.


Quraish Shihab (2017: 57) mengungkapkan salah satu doa yang diamalkan dan diajarkan Rasulullah ketika akan keluar rumah, ialah: “Ya Allah, kami memohon perlindungan-Mu sehingga kami tidak sesat, tidak juga disesatkan, tidak tergelincir atau digelincirkan, tidak menganiaya tidak juga dianiaya, serta tidak berbuat jahil (picik), tidak juga kami diperlakukan dengan picik.”


Doa tersebut mengisyaratkan potensi terjadinya keburukan dan kejahatan akibat ulah pihak lain maupun ulah kita sendiri. Dalam konteks keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi, ditekankan akhlak bertabayun atau melakukan kroscek kebenaran terhadap informasi dan berita yang beredar, baik itu melalui media cetak, website, maupun media sosial.

 


Dalam hal ini, Allah SWT dalam QS Al-Hujurat [49] ayat 6 memerintahkan manusia untuk senantiasa melakukan tabayun atau check dan richeck.


“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal.” (QS Al-Hujurat: 6)


Tanpa upaya bertabayun terlebih dahulu, tidak terhitung orang-orang yang aktif di media sosial termakan oleh berita-berita palsu dan bohong. Agaknya pasar warganet (netizen) yang mudah dibohongi makin marak, dampaknya seolah kebohongan dalam bentuk informasi menjadi sebuah industri. 


Lagi-lagi, di sinilah akhlak luhur harus dikedepankan. Jika sebelum era digital langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, saat ini akhlak juga harus dijunjung tinggi ketika berinteraksi di media sosial.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon