Tasawuf/Akhlak

Menyampaikan Pengalaman Spiritual di Media Sosial

Ahad, 11 Februari 2024 | 20:00 WIB

Menyampaikan Pengalaman Spiritual di Media Sosial

Ilustrasi: sufi (thesufi.com)

Tasawuf merupakan salah satu ajaran dalam Islam yang menjelaskan tentang pembersihan hati dan jiwa melalui proses riyadhah atau olah batin yang sudah ditentukan. Dalam pengertiannya, para sufi memberikan tawaran yang cukup banyak, bahkan Syeikh Imam Zainuddin Al-Malibariy menyatakan terdapat satu ribu pendapat ulama tentang pengertian tasawuf. (Zainuddin Al-Malibari, Kifayatul Adzkiya’ wa Minhajul Ashfiya’, [Lebanon, Darul Kutub Al-Ilmiah: 2015], halaman 65).

 


Salah satu definisi tasawuf yang cukup komprehensif dapat ditemukan dalam kitab Haqaiq ‘anit Tashawwuf karya Syaikh Abdul Qadir ‘Isa. Dalam pemaparannya beliau memberikan pendapat tentang esensi tasawuf. Di antaranya ialah dari Syaikh Zakariya Al-Anshari:

 


التصوف علم تعرف به أحوال تزكية النفوس وتصفية الأخلاق وتعمير الظاهر والباطن لنيل السعادة الابدية

 

Artinya, “Tasawuf adalah sebuah disiplin ilmu tentang cara membersihkan hati, pemurnian akhlak serta membangun kehidupan dahir dan batin untuk memperoleh kehidupan yang hakiki.” (Abdul Qadir ‘Isa, Haqaiqu anit Tashawwuf [Suriah, Darul Irfan: 2007], halaman 17).

 

Dengan demikian, tasawuf memiliki peran yang cukup signifikan dalam menjaga keseimbangan aspek lahir dan batin manusia. Proses pembersihan jiwa yang kotor dari sifat-sifat tercela seperti dengki, takabbur, riya’, ghadab (marah) dan sebagainya serta mengisi hati dan jiwa dengan sifat yang terpuji, seperti qana’ah, zuhud, tawadhu’, dan wara’, merupakan nilai-nilai spiritual yang ditawarkan oleh tasawuf. 

 

Sedangkan para sufi adalah pelaku daripada ilmu tasawuf itu sendiri. Ibaratnya, seperti orang yang sedang jatuh cinta pada kekasih dambaannya, ia akan melakukan hal-hal yang disukai sang kekasih agar bisa selalu dekat dan diakui pula sebagai kekasihnya.  Demikian para sufi, mereka melakukan tazkiyatun nufus, zuhud, dan sebagainya yang disukai oleh Allah. Tiada lain tujuannya ialah agar selalu dekat dengan Allah dan diridhai oleh-Nya.

 

Lantas, apakah penyampaian para sufi tentang ilmu tasawuf, yang dalam konteks ini adalah ‘pengalaman religius spiritual para sufi’ dikhususkan hanya pada ahlinya saja atau boleh disampaikan kepada publik atau masyarakat awam? 
 

Memandang, sesuatu yang disampaikan para sufi terkadang belum tentu dapat pahami oleh orang biasa atau dapat dipahami tetapi dengan pemahaman yang subjektif, melenceng tanpa kaidah yang benar dan menyalahi aturan tasawuf.

 

Misalnya, ungkapan Syekh Siti Jenar yang sekilas sebenarnya dianggap kontroversial tentang “manunggaling kawula gusti” atau kesatuan manusia dengan Tuhan. Ajaran ini sebenarnya sudah pernah digagas oleh Ibnul 'Arabi dengan ajaran “Wahdatul Wujud” bahwa yang ada hanyalah wujud Yang Satu, alam semesta dan isinya merupakan manifestasi dari Yang Satu tersebut (Allah). 

 

Dalam kitab Al-Muntakhabat karangan KH Achmad Asrori Al-Ishaqy, setidaknya terdapat dua pandangan tentang penyampaian ilmu tasawuf oleh para sufi. Ada yang berpendapat ilmu tasawuf tidak boleh dipublikasikan kepada semua kalangan dan sebagian sufi lainnya berpendapat dipublikasikan kepada semua kalangan, tidak hanya pada ahlinya saja.

 

Ulama sufi yang berpendapat penyampaian ilmu tasawuf hanya pada ahlinya saja ialah Syekh Sufyan Tsauri, Syekh Abu Hasan An-Nuri dan mayoritas ulama sufi, sebagaimana pernyataan berikut:

 


يُبْذَلُ لِأَهلِهِ قطٌّ فَكَانُوْا لا يتكلَّمُوْنَ فىِ الْحَقِيْقَةِ وعلْم السِّرِّ إلَّا معَ أهلِهِ فىِ مَوْضِعٍ خالٍ وَرُبَّمَا سدُّوا الْأَبْوَابَ غيرةً منهُمْ على السِّرِّ الرُّبُوبيَّةِ أن يَّتبذّلَ وَيُنَادِى علَيْهِ بِلِسَانِ الْإِشْتِهَارِ

 

Artinya: “(Ilmu tasawuf) hanya disampaikan kepada ahlinya saja. Karenanya, mereka (para sufi) tidak membincangkan hakikat dan sirri (rahasia) kecuali kepada ahlinya dan di dalam tempat yang sunyi. Bahkan, mereka menutup pintu karena khawatir rahasia ketuhanan (rububiyah) terpublikasikan.” (Achmad Asrori Al-Ishaqy, Al-Muntakhabat fi Rabithatil Qalbiyah wa Shilatur Ruhiyah [Surabaya, Al-Wava: 2010], halaman 155).

 

Pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat Syekh Junaid Al-Baghdadi yang menyatakan bahwa ilmu tasawuf, selain disampaikan kepada ahlinya, juga perlu diberikan kepada yang lain. Dalam kitab yang sama, Al-Muntakhabat isebutkan:
 


وَعِنْدَ سَيِّدِنَا سيِّدِ الطَّائِفَةِ الشَّيْخِ أَبِى الْقَاسِم الْجُنَيْدِ البَغْدَادِى والشيخ على العمراني: يُبْذَلُ لِأَهْلِهِ وَلِغَيْرِ أَهْلِهِ

 

Artinya, “Menurut Syekh Junaid Al-Baghdadi dan Ali Al-Imrani, (Ilmu Tasawuf) selain disampaikan pada ahlinya juga disampaikan kepada yang bukan ahlinya.”

 

Dalam sebuah riwayat juga dikisahkan, Syeikh Junaid Al-Baghdadi pernah ditanya, “Berapa kali engkau menyeru Allah di hadapan orang awam?”. Beliau menjawab:

 


لَكِنْ أُنَادِى عَلَى الْعَامَةِ بَيْنَ يدى للهِ تَعَالىَ 

 

Artinya, “Tetapi, aku menyeru orang awam di hadapan Allah swt.”
 

Dari kedua pemetaan tersebut, perlu ditekankan, maksud dari penyampaian ilmu tasawuf di sini ialah penemuan-penemuan batin para sufi karena kemakrifatannya kepada Allah swt yang sekilas dianggap kontroversial ketika menangkapnya tanpa penalaran dan pengalaman spiritual yang mendalam, seperti contoh di atas.

 

Dalam Hikam Al-’Athaiyah dikatakan, adakalanya ungkapan para sufi karena akibat dari melimpah ruahnya wujdi (kerinduan yang mendalam) dan adakalanya bertujuan untuk membimbing murid. Klasifikasi yang pertama, dialami oleh para salik, sedangkan yang kedua adalah ungkapan ulama ahli hakikat untuk membimbing muridnya. Bagi ulama ahli hakikat yang hatinya sudah kokoh (tamkin), ungkapan tanpa tujuan membimbing tidak diperbolehkan sebab dianggap membuka sirri yang tidak diizinkan. (Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari, Syarhul Hikam ‘Athaiyah, halaman 128).

 

Untuk itu, menanggapi kedua pendapat yang berbeda ini, KH Achmad Asrori memberikan jalan tengah dengan memetakan kedua konteks dari masing-masing pendapat tersebut. Beliau menyatakan:

 


التفصيل فى المجال فما كان من الوعظ والتذكير فللخاصة والعامة. وما كان من البيان والتقرير فللخاصة من المحبين والمتبعين. وما كان من الاحوال والمنازلات فللمريدين والسالكين فلكل مقام مقال ولكل عمل رجال

 

Artinya, “Rincian kesimpulan dari perbedaan di atas adalah jika ajaran yang disampaikan berupa nasihat dan peringatan, maka boleh disampaikan baik kepada kalangan khusus atau masyarakat awam. Apabila berupa penjelasan (al-bayan) dan ketetapan (al-taqrir), maka hanya boleh disampaikan pada orang-orang tertentu yakni para pecinta dan pengikut. Jika penjelasannya tentang ahwal, maqam dan pendakian, maka hanya dikhususkan pada murid dan salik. Karena, setiap maqam (tingkatan dalam tasawuf) terdapat ungkapan tertentu dan setiap amal terdapat tokoh yang berperan.” (Al-Ishaqy, Al-Muntakhabat, halaman 157).

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat ulama sufi tentang sasaran penyampaian ajaran tasawuf khusus bagi ahlinya saja atau boleh disampaikan pada masyarakat umum, dapat disesuaikan dengan masing-masing konteks pesan yang disampaikan. Jika isi dari penyampaiannya berupa nasihat atau peringatan maka boleh disampaikan kepada masyarakat umum. Tetapi, jika ajaran yang disampaikan berkenaan dengan maqam, pendakian atau tingkatan tertentu maka hanya diperuntukkan bagi para murid dan salik.

 

Esensi perbedaan ini mengindikasikan bahwa dalam menyampaikan sesuatu perlu adanya upaya kehati-hatian. Utamanya di era yang serba modern ini, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memudahkan kita untuk mengakses dan membagikan hal-hal yang kita ketahui melalui medsos. Kurang tepat apabila pengalaman spiritual, yang untuk memahaminya perlu penalaran yang mendalam, di-share di medsos, selain karena kurang produktif, juga untuk menghindari terjadinya pemahaman yang keliru terhadap apa yang kita sampaikan.

 


Ustadz Lukman Hakim, Mahasiswa IQT UIN Sunan Ampel Surabaya