Tasawuf/Akhlak

Slebew Dicap Kata Mesum, Begini Larangan Berucap Kotor dalam Islam 

Sen, 15 Agustus 2022 | 10:00 WIB

Slebew Dicap Kata Mesum, Begini Larangan Berucap Kotor dalam Islam 

Kata slebew berhubungan dengan situs dewasa.

Kata ‘slebew’ menjadi trending seiring dengan populernya komunitas SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok) atau yang dikenal dengan Tren Citayam Fashio Week. Tahukah anda? Kata yang kerapkali diucapkan Jasmine Laticia atau Jeje Slebew ini ternyata memiliki arti yang kurang pantas karena termasuk ungkapan untuk memperhalus ungkapan dewasa agar tidak terdengar vulgar. 


Kata ‘slebew’ sendiri tidak terdaftar dalam KBBI, meski jika ditelusuri di mesin pencarian diterjemahkan ‘tidur nyenyak’. Dengan alasan ini pula Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) memblokir kata ‘slebew’ karena memiliki hubungan dengan ratusan situs dewasa. 


Berbicara soal kata ‘slebew’ yang memiliki arti kurang pantas secara moral, bagaimanakah Islam memandang ucapan atau tutur kata kotor? 


Dalam Islam sendiri bertutur kata yang baik merupakan bagian dari menjaga moral, sehingga mengucapkan kata-kata kotor sangat dihindari bagi seorang Muslim karena dianggap perilaku buruk. Sebab, satu perbuatan buruk bisa menjadi pemicu keburukan-keburukan yang lain. Rasulullah saw bersabda, 


مَا كَانَ الْفُحشُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ، وَ كَانَ الْحَيَاءُ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ 


Artinya, “Tidaklah kekejian (tidak punya malu dalam hal ucapan dan perbuatan) ada pada sesuatu kecuali akan membuatnya jelek, dan tidaklah sifat malu ada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah.” (HR Ibnu Majah) 


Berangkat dari hadits di atas, Syekh Syarafuddin ath-Thibi berkomentar, satu keburukan akan menjadi pintu masuk keburukan-keburukan lainnya. Demikian juga satu kebaikan bisa menjadi pemicu kebaikan-kebaikan lainnya. Sebab itu, sebagai perbuatan tercela ucapan kotor harus dihindari karena bisa menimbulkan keburukan-keburukan lainnya. (Abdurrauf al-Munawi, Faidhul Qadir, 1972: juz V, h. 461) 


Dengan kata lain ath-Thibi ingin menyampaikan, karena termasuk perbuatan buruk, menjaga lisan dari ucapan kotor merupakan tindakan preventif agar tidak terjerumus dalam perbuatan-perbuatan buruk lainnya. 


Dalam hadits lain Rasulullah juga menyampaikan bahwa ucapan kotor merupakan moral yang sangat buruk bahkan bisa mempengaruhi berat timbangan amal perbuatan kelak di akhirat. Rasul bersabda, 


مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ 


Artinya, “Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang paling berat di timbangan kebaikan seorang mu’min pada hari kiamat seperti akhlak yang mulia, dan sungguh-sungguh (benar-benar) Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.” (HR Tirmidzi) 


Mengutip penjelasan ath-Thibi, hadits ini menjelaskan bahwa moral luhur yang dimiliki seorang Muslim sangat membantu dirinya sebab mempengaruhi berat timbangan amal kelak saat perhitungan amal di akhirat. Sebaliknya, moral buruk akan membuatnya celaka karena membuat timbangan amal baiknya sangat ringan. Dan seburuk-buruknya moral adalah ucapan yang jelek (termasuk berkata kotor). (Syekh Ali al-Qari, Mirqatul Mafatih, 2001: juz IX, h. 276) 


Kemudian, dalam hadits lain Rasulullah sangat mewanti-wanti umatnya agar berhati-hati dalam menyampaikan ucapan. Sebab, barangkali perkataannya menyebabkan Allah swt murka sehingga ia dimasukkan ke dalam Neraka Jahannam. Sebaliknya, jika ucapan itu membuat Allah ridha maka akan membuat penuturnya memperoleh kedudukan mulia di sisi Allah. Nabi bersabda, 


إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ 


Artinya, “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah ridhai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu, ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkatnya beberapa derajat. 


Dan sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah murkai dalam keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata tersebut berakibat sesuatu yang ternyata karenanya Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Al-Bukhari) 


Dari hadits ini Imam an-Nawawi berpesan, “Rasulullah menyampaikan agar kita selalu menjaga lisan. Seyogianya ketika orang ingin mengucapkan sesuatu agar berpikir matang-matang dulu terhadap apa yang akan ia katakan, apakah ucapannya memiliki manfaat atau justru sebaliknya. Jika memiliki manfaat, silakan sampaikan, tapi jika tidak lebih baik diam.” 


Lebih tegas, berangkat dari sabda Nabi ini pula Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam berkomentar dengan nada preventif, “Haram hukumnya mengucapkan kata-kata yang belum diketahui baik atau buruknya.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, 2000: juz XI, h. 317) 


Oleh sebab itu, kita sebagai Muslim seharusnya berhati-hati dalam memilih ucapan. Jangan hanya karena sebuah istilah sedang tren kemudian kita ikut-ikutan mempopulerkannya. Alih-alih ikut viral justru tanpa sadar mengucapkan kata bermakna kotor dan vulgar seperti ungkapan ‘slebew’. 


Terakhir, penulis tutup artikel ini dengan dua bait syair:


لَا يعجبنك من خطيب خطْبَة # حَتَّى يكون مَعَ الْكَلَام أصيلا 


إنَّ الْكَلَامَ لَفِي الْفُؤَادِ وَإِنَّمَا # جُعِلَ اللِّسَانُ عَلَى الْفُؤَادِ دَلِيلًا 


Artinya,“Janganlah mudah terpukau dengan tutur kata padahal kau belum tahu arti yang sebenarnya. Sungguh, isi sebuah ucapan ada di dalam hati, sementara lisan sebatas perantara.” Wallahu a’lam.


Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta