Tasawuf/Akhlak

Tuntunan Al-Qur’an saat Mendengar Rumor dan Berita Bohong

Ahad, 27 Februari 2022 | 20:00 WIB

Tuntunan Al-Qur’an saat Mendengar Rumor dan Berita Bohong

Ilustrasi rumor dan berita bohong di media sosial.

Pada masa Rasulullah saw, ada sekelompok orang yang menyebarkan rumor tentang istri Nabi Muhammad saw, Aisyah ra yang cukup meresahkan Nabi dan sahabat-sahabat karib beliau. Setelah sebulan rumor itu berkembang, baru Allah swt ayat-ayat yang membantah rumor tersebut sambil memberi pengajaran kepada umat bagaimana langkah yang harus ditempuh jika tabayun tidak menghasilkan apa yang diharapkan atau bila rumor itu menyangkut orang yang selama ini dikenal baik.


Prof Muhammad Quraish Shihab dalam Yang Hilang dari Kita: Akhlak (2017) menjelaskan, di dalam QS An-Nur [24]: 12 yang maksudnya antara lain menyatakan bahwa mestinya sewaktu seseorang mendengar rumor, selaku orang-orang mukmin dan mukminah harus bersangka baik terhadap yang dicemarkan namanya itu. Karena yang dicemarkan namanya tersebut adalah sesama orang beriman.


لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ


Artinya: "Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (QS An-Nur: 12)


Pada ayat 24 dalam surat di atas, Allah dengan jelas memperingatkan bahwa orang-orang yang senang tersebarnya berita-berita yang mencemarkan dalam masyarakat Islam, mereka itu akan ditimpa siksa yang pedih.


Krisis akhlak semakin akut terutama di kalangan generasi muda. Bangsa Indonesia, terutama umat Islam perlu memperhatikan tradisi keilmuan dan pendidikan di pesantren yang integratif antara akhlak, ilmu, dan amal.


Bahkan, pengembangan adab dan budi pekerti luhur sangat ditekankan di pesantren sehingga lembaga pendidikan khas di Indonesia itu mampu menjadi benteng moral bagi generasi bangsa sejak berabad-abad lalu hingga saat ini.


Di zaman canggih saat ini, mudahnya komunikasi menggunakan perangkat elektronik dan maraknya penggunaan media sosial, prasangka buruk menjadi kekejian yang mengerikan. Hati dan jiwa yang dipenuhi kebencian dan mengedepankan prasangka buruk kepada orang-orang yang tidak disukai mendapatkan tempat dan rumah bersama lalu melahirkan caci maki, fitnah, dan hasutan bahkan sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan.


Prasangka buruk saja merupakan dosa serius dan disamakan dengan ucapan yang paling dusta, begitu juga dengan caci maki, fitnah, hasutan, dan ujaran kebencian yang dihasilkan oleh prasangka buruk itu. Barangkali, masyarakat yang kini gandrung dengan gadget (gawai) sudah seharusnya sering merenung. Yaitu fitnah, tuduhan-tuduhan keji, hasutan, dan caci maki yang barangkali pernah diucapkan atau ditulis dan disebarkan di media-media sosial, maupun grup WhatsApp dan lain sebagainya. Kira-kira berapa persen yang didasari oleh kebenaran pasti?


Buruk sangka bukanlah ciri orang beriman. Orang beriman itu lebih mendahulukan prasangka baik, kepada siapa pun, termasuk kepada Allah. Bahkan Imam Syafi’i, berwasiat kepada umat Islam, agar siapa pun yang ingin meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah maka hendaknya ia selalu berprasangka baik kepada manusia.


Berbaik sangka ini bukan hanya diperintahkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Allah SWT. Artinya kita diperintahkan untuk berprasangka baik bahwa Allah akan memperlakukan kita dengan baik, akan memberikan kita kebahagiaan, akan menyelamatkan kita di akhirat. Dan jika kita berprasangka baik kepada Allah, maka Allah akan memperlakukan kita sebagaimana prasangka baik kita itu.


Dalam sebuah hadis qudsi, Allah ta’ala berfirman:


انَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاء 


Artinya: “Aku ‘mengikuti’ prasangka hamba-Ku kepada-Ku, maka silakan berprasangka apa saja terhadap-Ku.” (HR. Ahmad)


Kalau Allah memperlakukan manusia sesuai dengan prasangka manusia itu sendiri terhadap Allah, maka akan lebih bagus jika manusia berprasangka yang baik-baik saja. Akal yang sehat dan jiwa yang lurus tentu akan memilih untuk berprasangka baik kepada Allah. (Fathoni)