Bahtsul Masail

Apakah Kotoran pada Lipatan Tubuh Harus Dihilangkan saat Mandi Wajib?

Sel, 7 Desember 2021 | 16:00 WIB

Apakah Kotoran pada Lipatan Tubuh Harus Dihilangkan saat Mandi Wajib?

Adapun alasan kotoran tersebut tidak wajib dihilangkan karena bisa pasti akan muncul lagi secara berulang-ulang dan bila diharuskan menghilanggkannya maka secara fiqih dinilai akan menyulitkan

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Redaktur NU Online, mohon penjelasan tentang kotoran daki pada buku ketiak dan bulu selangkangan (kadang disebut blonggot) yang sulit dihilangkan. Apakah daki tersebut harus dihilangkan ketika mandi wajib agar basuhan air benar-benar sampai pada bulu-bulu tersebut? Bila orang memilih membersihkannya dengan mencabutnya apakah boleh dan serta apa konsekuensinya? Mohon penjelasannya. (Muhammad Dhikrul Qhoybi /Nganjuk).

 
Jawaban

Wa’alaikumus salam wr.wb. Penanya dan pembaca budiman, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. 


Sebagaimana kita ketahui syarat bersuci wudhu atau mandi ada lima, yaitu (1) menggunakan air mutlak, (2) air mengalir pada anggota yang wajib dibasuh, (3) tidak terdapat benda yang mengubah status kemutlakan air pada anggota tubuh yang dibasuh atau diusap, (4) tidak terdapat benda yang menghalangi air sampai pada anggota tubuh, dan (5) telah masuk waktu ibadah khusus bagi orang yang beser.


Haruskah Kotoran Daki di Bulu Ketiak dan Selangkangan Dihilangkan saat Mandi Wajib?

Nah, pertanyaan di atas berkaitan dengan syarat bersuci, wudhu atau mandi, yang keempat, yaitu tidak terdapat benda yang menghalangi air sampai pada anggota tubuh. Lalu apakah kotoran daki pada bulu ketiak dan selangkangan yang sulit dihilangkan tersebut harus dihilangkan ketika mandi wajib, agar basuhan air benar-benar sampai pada bulu-bulu tersebut? 


Mengingat kotoran daki itu sebenarnya berasal dari keringat sendiri yang lama-lama memadat maka secara fiqih tidak perlu dihilangkan dan ketika mandi wajib cukup dengan membasuhnya. Hal ini berbeda bila kotoran daki itu berasal dari debu maka wajib dihilangkan. Secara lugas Imam al-Isnawi menjelaskan:


يُتَصَوَّرُ صِحَّةُ الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ وَعَلَى بَدَنِهِ شَيْءٌ لَاصِقٌ بِهِ يَمْنَعُ وُصُولَ الْمَاءِ إلَيْهِ يَقْدِرُ عَلَى إزَالَتِهِ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ الْإِعَادَةُ .وَصُورَتُهُ فِي الْوَسَخِ الَّذِي نَشَأَ مِنْ بَدَنِهِ وَهُوَ الْعَرَقُ الَّذِي يَتَجَمَّدُ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّ. بِخِلَافِ الَّذِي يَنْشَأُ مِنْ الْغُبَارِ كَذَا ذَكَرَهُ الْبَغَوِيّ فِي فَتَاوِيهِ وَهُوَ مُتَّجَهٌ.


Artinya, “Dalam fiqih terdapat kasus wudhu dan mandi yang tetap sah padahal terdapat benda  yang menempel di tubuh pelakunya, mencegah air sampai padanya, bisa dihilangkan dan tidak mewajibkan pengulangan shalat yang bersucinya dilakukan dengan wudhu dan mandi tersebut. Yaitu kasus kotoran daki yang muncul atau berasal dari tubuh pelaku, yakni keringat yang telah menjadi padat atau mengeras, maka kotoran daki tersebut tidak mempengaruhi keabsahan bersucinya. Lain halnya dengan kotoran yang berasal dari debu. Demikian disebutkan Imam al-Baghawi dalam Fatawinya. Ini adalah pendapat yang kuat.” (Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Tuhfatul Habîb ‘alâ Syarhil Khathîb, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1417 H/1996 M], cetakan pertama, juz I, halaman 186).

 


Adapun alasan kotoran tersebut tidak wajib dihilangkan karena bisa pasti akan muncul lagi secara berulang-ulang dan bila diharuskan menghilanggkannya maka secara fiqih dinilai akan menyulitkan. Syekh Nawawi Banten menjelaskan:


لا عرق متجمد عليه وإن لم يصر كالجزء ولم يتأذ بإزالته لكثرة تكرره وللمشقة في إزالته


Artinya, “Keringat yang telah menjadi padat (kotoran daki) maka tidak mempengaruhi keabsahan bersuci (wudhu/mandi), meskipun belum menjadi seperti bagian dari tubuh, dan meskipun tidak membuat sakit bila dihilangkan, karena keringat tersebut akan berunlang muncul terus dan karena kesulitan menghilangkannya.” (Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawi al-Jawi, Nihâyatuz Zain, [Beirut, Dârul Fikr], halaman 17).


Dari sini menjadi jelas, bahwa kotoran daki yang berasal dari keringat tidak mencegah keabsahan wudhu atau mandi wajib, meskipun kotoran tersebut mencegah air sampai ke tubuh atau bulu tubuh yang tertempeli olehnya, dan meskipun sebenarnya bisa dihilangkan. Karenanya, bulu-bulu tersebut tidak perlu dicabut untuk mencapai keabsahan mandi wajib.

 


Mencabut Bulu Tubuh Sebelum Mandi Wajib

Namun bila orang justru memilih mencabutnya sebelum mandi wajib, maka menurut sebagian ulama hukumnya makruh. Syekh Nawawi Banten menjelaskan:


ومن لزمه غسل يسن له ألا يزيل شيئا من بدنه ولو دما أو شعرا أو ظفرا حتى يغتسل لأن كل جزء يعود له في الآخرة فلو أزاله قبل الغسل عاد عليه الحدث الأكبر تبكيتا للشخص


Artinya, “Orang yang wajib mandi jinabat maka disunnahkan baginya agar tidak menghilangkan apapun dari badannya, meskipun berupa darah, rambut atau kuku, sehingga ia membasuhnya. Sebab di akhirat setiap bagian tubuh akan kembali kepadanya. Karnanya, bila ia menghilangkannya sebelum mandi, maka hadats besar akan kembali kepadanya untuk menegurnya.” (Al-Jawi, Nihâyatuz Zain, halaman 31).


Yang terpenting, bila ia memilih mencabut bulu ketiak dan selangkangan, maka harus dipastikan tempat tumbuh bulu-bulu tersebut terbasuh dengan air secara sempurna. Syekh al-Khatib menjelaskan:


و إلى جميع أجزاء (البشرة) حتى الاظفار وما يظهر من صماخي الاذنين ومن فرج المرأة عند قعودها لقضاء الحاجة، وما تحت القلفة وموضع شعر نتفه قبل غسله


Artinya, “Dan wajib menyampaikan air ke seluruh kulit, hingga kuku, dan bagian lipatan dua telingga yang tampak dari luar, bagian vagian wanita yang tampak ketika ia jongkok saat buang hajat, bagian penis dibalik kuncup orang yang belum khitan, dan tempat tumbuh rambut yang dicabutnya sebelum mandi.” (Muhammad as-Syirbini al-Khatib, al-Iqnâ’ fi Halli Alfâdz Abî Syujâ’, [Beirut, Darul Fikr, 1415 H], juz I, halaman 63).

 


Kesimpulan Hukum Kotoran Daki Buku Ketiak dan Selangkangan

Secara sederhana uraian di atas dapat disimpulkan sebagaimana berikut:


1. Kotoran daki yang menempel pada bulu ketiak dan bulu selangkangan tidak wajib dihilangkan saat mandi wajib, sebab akan muncul terus secara berulang, dan keharusan menghilangkannya dinilai menyulitkan.


2. Hukum mencabut bulu-bulu tersebut adalah makruh menurut sebagian ulama.


3. Bila bulu-bulu tersebut dicabut, maka tempat tumbuhnya harus benar-benar terbasuh dengan air secara sempurna.


Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami secara baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wassalamu ’alaikum wr. wb. 


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.