Bersalaman dengan Nonis Pemelihara Anjing, Najiskah?
Ahad, 11 Agustus 2024 | 08:00 WIB
Muhamad Hanif Rahman
Kolomnis
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya Azka A'mala mau izin bertanya kepada para kyai pengasuh rubrik Bahtsul Masail NU Online. Apakah najis tangan kita ketika berjabat tangan dengan seseorang Nonis yang mempunyai anjing dan otomatis Nonis (Nonmuslim) tersebut sudah mengelus elus anjing miliknya. Terimakasih. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. (Azka A'mala).
Jawaban
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Penanya dan pembaca NU Online yang budiman. Semoga rahmat dan keberkahan hidup selalu Allah limpahkan untuk kita semua.
Urusan najis dan tidaknya sesuatu itu adalah ranah pembahasan fiqih. Fiqih telah menetapkan bahwa dalam menentukan kenajisan sesuatu tidak cukup hanya berangkat dari asumsi, praduga, apalagi keragu-raguan, tapi harus dengan keyakinan. Bahkan praduga kuatpun menurut pendapat yang lebih unggul tidak dapat menetapkan kenajisan sesuatu.
Sebagai dalilnya, Nabi saw pernah pernah diberi keju dari negeri Syam dan beliau memakannya tanpa mempertanyakan lebih lanjut. Padahal telah masyhur bahwa keju seperti itu umumnya diproses dengan rennet babi. Berikut penjelasan Fathul Muin terkait hal itu:
قاعدة مهمة: وهي أن ما أصله الطهارة وغلب على الظن تنجسه لغلبة النجاسة في مثله فيه قولان معروفان بقولي الأصل والظاهر أو الغالب أرجحهما أنه طاهر عملا بالأصل المتيقن لأنه أضبط من الغالب المختلف بالأحوال والأزمان وذلك كثياب خمار وحائض وصبيان وأواني متدينين بالنجاسة وورق يغلب نثره على نجس ولعاب صبي وجوخ اشتهر عمله بشحم الخنزير وجبن شامي اشتهر عمله بإنفحة الخنزير وقد جاءه ﷺ جبنة من عندهم فأكل منها ولم يسأل عن ذلك ذكره شيخنا في شرح المنهاج
Artinya, "Kaidah penting: bahwa sesuatu yang asalnya suci tetapi diduga kuat terkena najis karena seringnya najis pada hal yang serupa. Ada dua pendapat yang dikenal sebagai pendapat 'asal' dan 'dzahir' atau 'ghalib'.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan benda tersebut tetap suci berdasarkan hukum asal yang diyakini. Karena hukum asal lebih akurat dibandingkan dengan kebiasaan yang berbeda keadaan dan waktunya.
Contohnya seperti pakaian dan kerudung wanita yang sedang haid, pakaian anak-anak, peralatan makan pemeluk agama lain yang menggunakan benda najis, kertas yang sering berserakan di tempat najis, air liur anak-anak, kain wol yang terkenal dibuat dengan lemak babi, dan keju Syam yang terkenal dibuat dengan infihah atau rennet babi.
Rasulullah saw pernah diberi keju Syam dan beliau memakannya tanpa bertanya tentang hal itu. Ini disebutkan oleh guru kami dalam Syarhul Minhaj." (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu'in, [Beirut, Darul Ibnu Hazm: tt], halaman 83).
Selain harus yakin dan nyata-nyata telah menyentuh anjing dapat dihukumi sebagai najis yang berat (mughallazhah), disyaratkan salah satu dari yang memegang atau dipegang harus basah.
المُغَلَّظَةُ أي مَا تَنَجَّسَ مِنَ الطَّاهِرَاتِ بِلِعَابِهَا أَوْ بَوْلِهَا أَوْ عِرْقِهَا أَوْ بِمُلَاقَاةِ أَجْزَاءِ بَدَنِهَا مَعَ تَوَسُّطِ رُطُوْبَةٍ مِنْ أَحَدِ جَانِبَيْهِ اهـ
Artinya, "Najis yang berat (mughallazhah) adalah sesuatu yang suci yang menjadi najis sebab terkena air liur, air kencing, keringat, atau karena bersentuhan dengan bagian tubuhnya dengan adanya perantara basah pada salah satu dari kedua sisinya." (Muhammad Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: tt], halaman 44).
Dari sini jelas bahwa syarat perpindahan najis itu adalah basahnya salah satu sisi dari keduanya. Jika kedua sisinya tidak ada yang basah, kering semuanya, maka najisnya tidak berpindah, sebagaimana kaidah yang dijelaskan dalam Al-Asybah wan Nazha'ir sebagai berikut:
قَاعِدَةٌ: قَالَ الْقَمُولِيُّ فِي الْجَوَاهِرِ: النَّجِسُ إذَا لَاقَى شَيْئًا طَاهِرًا، وَهُمَا جَافَّانِ: لَا يُنَجِّسُهُ
Artinya, "Kaidah: Al-Qamuli dalam kitab Al-Jawahir berkata, "Ketika najis bertemu dengan sesuatu yang suci dalam keadaan keduanya kering, maka najis tersebut tidak memberi dampak pada sesuatu yang terkena olehnya"." (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha'ir, [Beirut, Darul kutub Al-'Ilmiyyah: 1990], halaman 432).
Dari paparan penjelasan dapat ditarik kesimpulan bahwa tangan yang digunakan untuk bersalaman dengan Nonis yang mempunyai anjing tidak menjadi najis mughallazhah selama tidak yakin atau menyaksikan sendiri secara langsung tangannya si Nonis dijilati anjing atau bersentuhan dengan anjing dengan keadaan basah, dan bersalaman dengan kita juga dengan keadaan yang basah.
Jika saat bersalaman kedua tangan dalam keadaan kering, maka najisnya tidak berpindah meskipun tangannya Nonis dalam kondisi terkena najis mughallazhah. Semoga penjelasan ini dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo
Terpopuler
1
Ustadz Maulana di PBNU: Saya Terharu dan Berasa Pulang ke Rumah
2
Kick Off Harlah Ke-102 NU Digelar di Surabaya
3
Pelantikan JATMAN 2025-2030 Digelar di Jakarta, Sehari Sebelum Puncak Harlah Ke-102 NU
4
Khutbah Jumat: Mari Menanam Amal di Bulan Rajab
5
Respons Gus Yahya soal Wacana Pendanaan Makan Bergizi Gratis Melalui Zakat
6
Puluhan Alumni Ma’had Aly Lolos Seleksi CPNS 2024
Terkini
Lihat Semua