Bahtsul Masail

Hukum Kerja Sama Usaha Pengolahan Air dengan Fasilitas Masjid

Ahad, 5 Februari 2023 | 18:00 WIB

Hukum Kerja Sama Usaha Pengolahan Air dengan Fasilitas Masjid

Fasilitas masjid. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Assalamu ’alaikum

Ada suatu pengurus ranting organisasi berencana membuat satu usaha produksi air minum dalam kemasan, namun karena terkendala tempat pengolahan, sumber air serta sarana dan prasarana. Kemudian, pengurus ranting organisasi tersebut berencana ingin bekerja sama dengan pengurus masjid setempat untuk menggunakan fasilitas yang ada di masjid itu.


Meliputi; sumur bor sebagai sumber air beserta mesin airnya, listrik, dan bekas rumah marbot (penjaga) masjid yang tidak terpakai sebagai calon tempat produksi dan pengolahan air. Selanjutnya hasil usaha dari kerja sama kedua belah pihak ini nantinya akan dibagi dua setelah dipotong modal, biaya operasional, dan upah karyawan.


Pertanyaannya: bolehkah fasilitas masjid tersebut digunakan untuk usaha yang demikian? Mohon keterangannya. Wa’alaikum salam wr. wb.


Jawaban

Wa’alaikum salam wr. wb.

Penanya yang budiman. Semoga Allah merahmati kita semua. Pada dasarnya, barang yang telah diwakafkan maka terputus kepemilikannya secara personal atau golongan tertentu dan menjadi milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan umum.  Hal ini sebagaimana kisah sahabat Umar bin Khattab:


عن ابن عمر أن عمر أصاب أرضا بخيبر فأتى النبي يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط أنفس عندي منه فما تأمرني به قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها.فتصدق بها عمر أنه لا يباع ولا يوهب ولا يورث وتصدق بها في الفقراء وفي القربى وفي الرقاب وفي سبيل الله وابن السبيل والضيف ولا جناح على وليها أن يأكل منها بالمعروف.


Artinya, “Diceritakan dari Ibnu Umar bahwa shahabat Umar mendapatkan sebidang tanah di daerah Khaibar. Kemudian, ia mendatangi Rasulullah untuk meminta arahan. Ia mengatakan ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan sebidang tanah di daerah Khaibar, aku tidak melihat harta yang lebih indah darinya, lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Rasulullah bersabda ‘Kalau engkau menghendaki maka tahanlah pokoknya dan bersedekahlah dengannya.’ Maka, Umar bin Khattab tidak menjualnya, tidak menghadiahkannya, tidak mewariskannya, dan ia bersedekah dengannya untuk orang-orang fakir, sanak kerabat, memerdekakan budak, meluhurkan agama Allah, orang-orang yang dalam perjalanan, serta tamu. Dan tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya (harta wakaf) dengan cara yang baik,’” (HR Bukhari).


Dalam permasalahan kita ini, tanah yang digunakan sebagai masjid maka statusnya menjadi milik Allah yang tidak dapat dijual maupun dipindah-tangankan dan fasilitas yang ada di dalam masjid harus dimaksimalkan untuk kepentingan umum. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah:


وأن المساجد لله فلا تدعو مع الله أحدا


Artinya, “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah. Maka, janganlah kamu menyembah apapun di dalamnya selain Allah,” (Qs.Al-Jinn: 18).


Lantas, bagaimana misal masjid memiliki sumber mata air yang dapat dimanfaatkan? Maka, nadzir (pengelola) masjid harus mengalokasikannya untuk kepentingan umum sesuai dengan adat yang berlaku di masyarakat serta yang paling dekat dengan tujuan wakaf pada umumnya.


Hal ini dibolehkan selama tidak ada syarat tertentu dari orang yang mewakafkan (waqif) terkait pemanfaatan sumber air milik masjid. Misal, orang yang mewakafkan (waqif) mensyaratkan air sumur masjid hanya dipakai untuk minum saja maka tidak boleh dimanfaatkan selain untuk minum misal untuk mandi dan sejenisnya.


وسئل بما لفظه جوابي ونحوها عند مسجد وبها مياه ولا يدري على أي جهة وقفت فما الحكم؟ فأجاب بقوله يتبع فيها العادة المستمرة من غير نكير أخذا من قاعدة أن العادة المحكمة


Artinya, “Dan beliau (Ibnu Hajar al-Haitami) ditanyai mengenai perkara yang bentuknya penampungan air dan sesamanya pada masjid dan di dalamnya terdapat air dan tidak diketahui dalam sisi mana diwakafkan maka apa hukumnya? Ia (Ibnu Hajar al-Haitami) menjawab, ‘Hukumnya sesuai dengan adat yang berlaku selama tidak dalam perkara yang diingkari karena mengambil kaidah ‘Adat menjadi landasan hukum,’” (Al-Haitami Ibnu Hajar, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra [Kairo: Maktabah Islamiyyah,2003], juz III, halaman 259).


Menurut as-Subuki, barang yang telah diwakafkan boleh untuk diubah bentuknya misal sumur air wakaf diubah menjadi sumber produksi air kemasan dan sesamanya dengan tiga syarat yaitu; 1. Tidak sampai mengubah penyebutan nama (musamma) barang wakaf tersebut. 2. Adanya maslahat yang lebih baik seperti bertambahnya pendapatan dari barang wakaf. 3. Tidak menghilangkan ‘ain (barang) wakaf. (Al-Qalyubi Ahmad Salamah, Hasyiyah Al-Qalyubi wa Amirah [Beirut: Darul Fikr, 1995] juz III, halaman 109).


Nadzir (pengelola) masjid harus berhati-hati dalam mengelola aset milik masjid serta memaksimalkan pendapatan dari aset milik masjid untuk kepentingan masjid. Misal nantinya pendapatan dari air kemasan yang diproduksi keuntungannya digunakan untuk perkara yang maslahat (mashalih) bagi masjid. Selain itu, nadzir (pengelola) masjid juga boleh untuk berinovasi dalam mengembangkan (al-inma’) aset masjid. Misal contoh, dengan akad sewa, akad tanam, akad bagi hasil ataupun sejenisnya (Kementerian Wakaf Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [Kairo: Dar Shofwah,2008] juz.7 hal.67)


Mengembangkan aset wakaf sangat dianjurkan bagi nadzir (pengelola) masjid. Para ulama menyamakan hal ini dengan perintah Rasulullah untuk mengembangkan harta milik anak yatim:


قال رسول الله من ولي يتيما له مال فليتجر له بماله


Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaknya ia berdagang untuknya (anak yatim) dengan hartanya (anak yatim),’” (HR Turmudzi).


Simpulan yang dapat kita pahami di sini adalah seorang pengelola masjid harus mengelola aset milik  masjid dengan cermat. Pengelola tidak boleh membuat keputusan yang justru dapat merugikan masjid. Contoh, membuat produksi air dalam kemasan dari sumur masjid tetapi berdampak kurangnya persediaan air untuk bersuci jamaah masjid karena konsep pengembangan aset milik masjid harus tetap dalam koridor kaidah fiqih.


درء المفاسد مقدم على جلب المصالح


Artinya, “Menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kebaikan”


Demikian jawaban saya. Semoga bisa dipahami. Kami terbuka menerima saran dan masukan. Terima kasih. Wallahu ’alam.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


Ustadz Muhammad Tholchah al-Fayyadl, Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo Mesir