Bahtsul Masail

Hukum Najis Kaki Anjing dan Babi di Tanah Basah dan Corcoran

Jum, 23 Februari 2024 | 16:00 WIB

Hukum Najis Kaki Anjing dan Babi di Tanah Basah dan Corcoran

Ilustrasi: Najis anjing dan babi di tanah basah (freepik).

Assalamu’alaikum wr wb. Mohon maaf mau nanya, seperti yang kita tau bahwa najis anjing dan babi itu najis mughalladhah. Yang saya tanyakan bagaimana hukum bekas injakan anjing atau babi ke tanah yang basah sehingga bekasnya sampai kelihatan bekas kaki anjing dan babi tersebut? Bagaimana juga bekas injakan anjing atau babi di bekas corcoran semen sehingga membekas sampai kering?
 

 

Apakah kedua najis tersebut, di tanah yang basah dan di tempat cor yang membekas sampai kering itu, apakah bisa dikatakan termasuk najis mughalladhah?
 

 

Karena di daerah yang saya tempatin sangat susah sekali menghindar dari bekas-bekas injakan anjing maupun babi. terima kasih atas jawabanya mohon jawabanya saya tunggu. (Achmad Tonie).


 

Jawaban

Wa’alaikumussalam wr wb. Terima kasih kami sampaikan kepada penanya atas pertanyaannya, semoga penanya dan semua pembaca NU Online selalu dalam lindungan Allah swt. 


 

Di sebagian wilayah di Indonesia, memang ditemukan banyak anjing dan babi yang berkeliaran di sekitar rumah penduduk. Menurut mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab yang dianut mayoritas Muslim Indonesa, najis yang berasal dari anjing dan babi disebut najis mughalladhah sehingga harus dibasuh sebanyak tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan debu. 


 

Najis mughalladhah dari anjing dan babi tidak hanya terbatas pada kotoran dan air liurnya saja, melainkan juga berlaku pada seluruh tubuhnya, termasuk kaki ketika bersentuhan dengan benda lain dalam keadaan basah.Karena itu, selama benda lain tersebut belum disucikan, maka masih dihukumi najis mughalladhah.
 

 

اَلْمُغَلَّظَةُ مَا تَنَجَّسَ مِنَ الطَّاهِرَاتِ بِلُعَابِهَا اَوْ بَوْلِهَا اَوْ عَرَقِهَا اَوْ بِمُلَاقَاتِ اجْزَاءِ بَدَنِهَا مَعَ تَوَسُّطِ رُطُوْبَةٍ مِنْ اَحَدِ جَانِبَيْهِ

 

Artinya “Najis mughalladhah ialah benda-benda suci yang menjadi najis sebab terkena air liur, kencing, atau keringat anjing dan babi atau bersentuhan dengan salah satu anggota tubuh anjing atau babi dengan kondisi basah pada salah satu dari keduanya.” (Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi, Kasyifatus Saja Syarah Safinatun Naja, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2012],  halaman 92).
 

 

 وَإِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءٍ أَوْ أَدْخَلَ عُضْوًا مِنْهُ فِيْهِ وَهُوَ رَطْبٌ لَمْ يَطْهُرْ الْإِنَاءُ حَتَّى يُغْسَلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ إِحْدَاهُنَّ بِالتُّرَابِ


 

Artinya “Jika seekor anjing menjilat bejana atau memasukkan bagian tubuhnya ke dalam bejana dengan keadaan basah, maka bejana tersebut tidak dihukumi suci hingga disucikan sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan debu.” (Abu Ishaq Ibrahim As-Syirazi, Al-Muhaddzab, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1995], juz I, halaman 94)


 

Dari referensi ini dapat dipahami, permasalahan bekas injakan babi dan anjing tergolong najis mughalladhah karena kaki anjing dan babi tersebut menginjak tanah atau corcoran dalam keadaan basah. Sehingga harus disucikan dengan tujuh kali basuhan air yang salah satunya diberi debu. 


 

Adapun problem yang disampaikan terkait sulitnya menghindari karena banyaknya anjing dan babi, maka sebagai solusi, berikut kami paparkan perbedaan pendapat di antara empat mazhab terkait najisnya anjing dan babi sebagai berikut: 


 

Syafi’iyah dan Hanabilah

Menurut kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah, anjing dan babi tergolong najis mughalladhah, dan najis itu berlaku untuk air liur, keringat, kencing dan anggota tubuh termasuk kaki yang bersentuhan dengan benda yang basah.
 

 

Dari pendapat ini, bekas injakan babi dan anjing harus disucikan dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, yang salah satunya dicampur dengan debu. 
 

 

وَيَجِبُ غَسْلُ نَجَاسَةِ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيْرِ سَبْعًا إِحْدَاهُنَّ بِالتُّرَابِ لَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ فِي نَجَاسَةِ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيْرِ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَنَّهُ نَجَسٌ عَيْنُهُ وَسُؤْرُهُ وَعَرَقُهُ وُكُلُّ مَا خَرَجَ مِنْهُ


 

Artinya “(Najis anjing dan babi wajib dibasuh sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan debu). Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kenajisan anjing dan babi serta apa yang dihasilkan dari keduanya, bahwa najis itu pada binatangnya, mulutnya, keringatnya, dan segala sesuatu yang keluar darinya.”  (Ibnu Quddamah, As-Syarhul Kabir [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2009], juz  I, halaman 403)


 

Malikiyah

Menurut kalangan Malikiyyah anjing dan babi yang masih hidup hukumnya suci. Sehingga tanah basah atau corcoran yang terinjak oleh anjing dan babi tetap dihukumi suci dan tidak menjadi najis mughalladhah .
 

 

 الطَّاهِرُ الْحَيُّ  وَعَرَقُهُ وَدَمْعُهُ وَمُخَاطُهُ وَلُعَابُهُ وَبَيْضُهُ إلَّا الْمَذِرَ وَمَا خَرَجَ بَعْدَ مَوْتِهِ: الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الطَّهَارَةُ .جَمِيعُ أَجْزَاءِ الْأَرْضِ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهَا طَاهِرٌ وَالنَّجَاسَةُ عَارِضَةٌ .فَكُلُّ حَيٍّ وَلَوْ كَلْبًا وَخِنْزِيرًا طَاهِرٌ وَكَذَا عَرَقُهُ وَمَا عُطِفَ عَلَيْهِ إلَّا الْبَيْضَ الْمَذِرَ


 

Artinya, “(Sesuatu yang suci adalah (binatang) yang hidup, keringatnya, air matanya, lendirnya, air liurnya, dan telurnya, kecuali telur busuk dan apa yang keluar setelah kematiannya). Prinsip dalam segala sesuatu adalah suci. Seluruh bagian bumi dan apa yang dihasilkannya adalah suci, dan najis bersifat baru datang. Setiap makhluk hidup, meskipun itu anjing atau babi, adalah suci, begitu pula keringatnya dan hal-hal yang disebutkan bersamanya, kecuali telur yang busuk.”  (Syihabuddin ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hasyiyah As-Shawi 'ala Syarhis Shaghir [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1995], juz I, halaman 30).
 

 

Hanafiyah

Dalam mazhab Hanafi terjadi perbedaan hukum antara anjing dan babi. Pendapat kuat di kalangan Hanafiyah mengatakan anjing yang masih hidup itu hukumnya suci. Karena itu, bekas injakannya tetap dianggap suci dan tidak menjadi najis. 


 

Sedangkan untuk babi, mayoritas kalangan Hanafiyah mengatakan termasuk binatang najis, dan benda-benda yang bersentuhan dengannya dalam keadaan basah akan menjadi najis mughalladhah, termasuk tanah basah dan Corcoran yang diinjaknya. 
 

 

 قَوْلُهُ وَمَحَلُّ كِلَابٍ: فِي الْمُنْيَةِ مَشَى كَلْبٌ عَلَى الطِّينِ فَوَضَعَ رَجُلٌ قَدَمَهُ عَلَى ذَلِكَ الطِّينِ تَنَجَّسَ وَكَذَا إذَا مَشَى عَلَى ثَلْجٍ رَطْبٍ وَلَوْ جَامِدًا فَلَا اهـ .قَالَ فِي شَرْحِهَا وَهَذَا كُلُّهُ بِنَاءً عَلَى أَنَّ الْكَلْبَ نَجِسُ الْعَيْنِ وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّ الْأَصَحَّ خِلَافُهُ ذَكَرَهُ ابْنُ الْهُمَامِ ا هـ 


 

Artinya “(Ungkapan: "Dan tempat anjing"). Dalam Al-Munyah disebutkan: seekor anjing berjalan di atas tanah liat, dan seseorang menginjakkan kakinya di atas tanah liat tersebut, maka ia menjadi najis, begitu pula jika ia berjalan di atas salju yang basah, dan jika padat, maka tidak najis. Beliau berkata dalam syarahnya: "Ini semua didasarkan pada pemahaman bahwa anjing adalah benda najis, dan telah disebutkan sebelumnya bahwa pendapat yang lebih kuat (ashah) justru sebaliknya (anjing bukan benda najis). Disebutkan oleh Ibnu Al-Hammam.” (Ibnu Abidin, Raddul Muhtar [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2011], juz I, halaman 532).
 

 

وَإِنْ كَانَ فِي الْبِئْرِ فَالْوَاقِعُ فِيهِ لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ حَيَوَانًا أَوْ غَيْرَهُ مِنْ النَّجَاسَاتِ فَإِنْ كَانَ حَيَوَانًا فَإِمَّا إنْ أُخْرِجَ حَيًّا وَإِمَّا إنْ أُخْرِجَ مَيِّتًا فَإِنْ أُخْرِجَ حَيًّا فَإِنْ كَانَ نَجِسَ الْعَيْنِ كَالْخِنْزِيرِ يُنَجِّسُ جَمِيعَ الْمَاءِ وَفِي الْكَلْبِ اخْتِلَافُ الْمَشَايِخِ فِي كَوْنِهِ نَجِسَ الْعَين


 

Artinya, “Jika di dalam sumur, maka apa yang jatuh di dalamnya tidak terlepas dari binatang atau najis lainnya. Jika itu binatang, maka adakalanya dikeluarkan hidup-hidup, atau dikeluarkan dalam keadaan mati. Jika binatang itu dikeluarkan hidup-hidup, maka jika berupa binatang najis seperti babi, semua air menjadi najis, dan dalam permasalahan anjing, para ulama berbeda pendapat apakah termasuk binatang najis.” (Abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasani, Bada’ius Shana’i’ [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2010], juz I, halaman 415).


 

Demikian penjelasan tentang perbedaan pendapat dalam permasalahan bekas injakan anjing dan babi.
 

 

Perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat untuk umat. Masing-masing pendapat dapat diikuti. Namun bagi masyarakat yang mudah untuk menghindari najisnya anjing dan babi, sebaiknya mengikuti pendapat yang mengatakan najis mughalladhah. Sedangkan bagi masyarakat yang kesulitan untuk menghindari najis anjing dan babi, maka pendapat yang mengatakan suci dapat menjadi solusi. Wallahu a’lam.


 

Ustadz Muhammad  Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar Jawa Timur.