Hukum Shalawatan Pakai Speaker Keras: Bolehkah Mengganggu Tetangga?
Kamis, 13 Maret 2025 | 17:00 WIB
Bushiri
Kolomnis
Assalamu‘alaikum wr wb. Saya ingin bertanya tentang hukum mengadakan shalawatan yang dilakukan di dekat rumah saya. Kegiatan ini berlangsung setiap malam Jumat, dimulai pukul 21.00 hingga sekitar pukul 23.00 atau 00.00 dengan menggunakan speaker besar di luar rumah.
Sebenarnya saya tidak keberatan dengan shalawat itu sendiri, namun karena dilakukan hingga larut malam dengan suara yang sangat keras, hal ini cukup mengganggu waktu istirahat saya dan tetangga lainnya. Bahkan, beberapa warga pernah protes karena sulit tidur akibat suara yang terlalu nyaring.
Bagaimana pandangan syariat mengenai kegiatan ini, mengingat ada warga yang merasa dirugikan? Mohon penjelasannya. (Hamdani - Tangsel).
Jawaban
Wa’alaikumussalam wr wb. Kepada penanya yang budiman dan pembaca setia NU Online, semoga Allah senantiasa memberikan pertolongan dalam setiap langkah dan aktivitas kita sehari-hari. Amin.
Mengadakan kegiatan keagamaan seperti shalawatan merupakan aktivitas yang bernilai positif dan bagian dari syiar agama Islam. Terlebih, membaca shalawat kepada Rasulullah saw bukan hanya dianjurkan dalam Islam, tetapi juga menjadi bentuk cinta dan penghormatan kepada beliau.
Namun, dalam pelaksanaannya, setiap kegiatan harus tetap memperhatikan adab serta batas agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi orang lain. Kegiatan keagamaan hendaknya dilakukan dengan penuh hikmah, ketertiban, dan tidak sampai mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar. Prinsip ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Artinya, “Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain.” (HR Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni).
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan, setiap orang berhak melakukan aktivitas atau kegiatan apapun di area miliknya sendiri, seperti di rumahnya.
Namun demikian jika aktivitas tersebut membuat orang lain merasa tidak nyaman atau terganggu, namun masih dalam batas kewajaran dan dapat ditoleransi menurut kebiasaan, maka hukumnya tetap diperbolehkan. Sebaliknya, jika aktivitas itu melampaui batas kewajaran, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Beliau mengatakan:
وَيَتَصَرَّفُ كُلُّ وَاحِدٍ) مِنْ الْمُلَّاكِ (فِي مِلْكِهِ عَلَى الْعَادَةِ) وَإِنْ أَضَرَّ جَارَهُ كَأَنْ سَقَطَ بِسَبَبِ حَفْرِهِ الْمُعْتَادِ جِدَارُ جَارِهِ أَوْ تَغَيَّرَ بِحَشِّهِ بِئْرُهُ؛ لِأَنَّ الْمَنْعَ مِنْ ذَلِكَ ضَرَرٌ لَا جَابِرَ لَهُ (فَإِنْ تَعَدَّى) فِي تَصَرُّفِهِ بِمِلْكِهِ الْعَادَةَ (ضَمِنَ) مَا تَوَلَّدَ مِنْهُ قَطْعًا أَوْ ظَنًّا قَوِيًّا
Artinya, “Setiap pemilik harta boleh menggunakan propertinya sesuai kebiasaan yang berlaku, meskipun hal itu bisa berdampak pada tetangganya. Misalnya, jika orang menggali tanah di lahannya sendiri sebagaimana kebiasaan umum, lalu menyebabkan robohnya dinding tetangganya atau mengakibatkan perubahan pada sumur tetangganya, maka ia tidak bertanggung jawab, karena melarangnya justru akan menjadi mudarat yang tidak bisa dihindari.
Namun, jika dalam penggunaan propertinya ia melampaui batas kebiasaan yang wajar, maka ia wajib menanggung segala kerusakan yang terjadi, baik berdasarkan kepastian maupun dugaan kuat.” (Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Ihya’I Turats: 1983], jilid VI, halaman 209).
Penggunaan speaker dalam acara keagamaan sangat perlu memperhatikan kondisi warga sekitar, utamanya terkait volume dan durasi pemakaiannya. Dengan kondisi warga yang beragam, penggunaan speaker dengan volume tinggi harus benar-benar bijaksana dan mempertimbangkan batas kewajaran, agar syiar keagamaan tetap berjalan dengan baik tanpa mengganggu kenyamanan warga.
Darul Ifta’ Mesir pernah mengeluarkan fatwa terkait penggunaan pengeras suara. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa penggunaan pengeras suara secara berlebihan hingga mengganggu waktu istirahat warga sekitar hukumnya tidak diperbolehkan.
وأما إن كان المقصود بالأماكن العامة الأماكن السكنية المزدحمة بالسكان والتي فيها معاش الناس ومنامهم وسكينتهم، فالأصل عدم جواز كل صوت جهوري ينافي مقصد الهدوء والسكينة فيها، ذكراً كان أو قراءة للقرآن أو أي شيء مما هو دونهما؛ لأن السكينة مطلوبة فيها، وقد يكون فيها النائم والمريض والمصلي، وقد أمرنا الشرع بالرأفة بالناس
Artinya, "Adapun apabila yang dimaksud (persoalan pengeras suara) dengan tempat umum adalah tempat pemukiman warga; yang terdapat rumah-rumah warga, tempat istirahat, dan tempat ketenangan, maka prinsip dasarnya adalah tidak diperbolehkan mengeraskan suara yang berakibat mencederai ketenangan dan ketentraman mereka, baik berupa zikir, membaca Alquran, atau yang lain.
Sebab masyarakat butuh istirahat di kediaman mereka; kadang ada yang sedang tidur, sakit, dan beribadah. Dan pada dasarnya syariat telah memerintahkan kita untuk berbelas kasih (simpati) kepada sesama manusia." (Fatwa Darul Ifta' Al-Misriyah, No. 3778]
Di Indonesia, Kementerian Agama pada tahun 2022 telah mengeluarkan surat edaran yang berisi pedoman penggunaan pengeras suara.
Secara garis besar, surat edaran tersebut mengatur penggunaan pengeras suara dalam kegiatan keagamaan dengan tujuan menciptakan ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan bersama.
Sebagai contoh, dalam ketentuan Pemasangan dan Penggunaan Pengeras Suara pada poin c disebutkan bahwa "volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 dB (seratus desibel).”
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
- Islam tidak melarang penggunaan pengeras suara dalam kegiatan keagamaan selama pemakaiannya masih dalam batas kewajaran.
- Penggunaan pengeras suara di luar batas kewajaran hingga mengganggu orang lain hukumnya tidak diperbolehkan.
- Penggunaan pengeras suara dalam acara keagamaan perlu memperhatikan kondisi warga sekitar, volume, dan durasi penggunaannya agar syiar keagamaan tetap berjalan tanpa mengganggu kenyamanan masyarakat.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik. Wallahu a‘lam.
Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura.
Terpopuler
1
Khutbah Idul Fitri 1446 H: Kembali Suci dengan Ampunan Ilahi dan Silaturahmi
2
Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri, Istri, Anak, Keluarga, hingga Orang Lain, Dilengkapi Latin dan Terjemah
3
Habis RUU TNI Terbitlah RUU Polri, Gerakan Rakyat Diprediksi akan Makin Masif
4
Kultum Ramadhan: Mari Perbanyak Istighfar dan Memohon Ampun
5
Fatwa Larangan Buku Ahmet T. Kuru di Malaysia, Bukti Nyata Otoritarianisme Ulama-Negara?
6
Gus Dur Berhasil Perkuat Supremasi Sipil, Kini TNI/Polri Bebas di Ranah Sipil
Terkini
Lihat Semua