Bahtsul Masail

Hukum Tidak Shalat Jumat Karena Menjaga Orang Sakit

Sab, 21 Oktober 2023 | 17:00 WIB

Hukum Tidak Shalat Jumat Karena Menjaga Orang Sakit

Ilustrasi orang sakit (Foto: NU Online/Freepik)

Assalamualaikum, Yth, pengasuh Bahstul Masail NU Online, perkenalkan saya dengan Pak Akmal dari Tangerang Selatan. Redaksi NU Online yang terhormat, sudah beberapa pekan ini saya tengah menjaga istri saya, yang sedang dirawat  di Rumah Sakit. Oleh karena menjaga istri, pada hari Jumat saya tidak bisa mengikuti shalat Jumat. Sebab, bila saya tinggalkan akan khawatir terjadi sesuatu pada istri. Pertanyaannya saya adalah, bagaimana hukum tidak shalat Jumat karena menjaga orang sakit? Apakah saya dikenakan dosa? Atau ada keringanan hukum? Terima kasih. Wasalamualaikum warahmatullah wabarakatuh [Akmal- Banten]


Jawaban


Wa‘alaikumussalam wr wb. Saudara penanya yang terhormat, dalam fiqih, ulama menjelaskan bahwa hukum melaksanakan shalat Jumat dalam Islam adalah wajib bagi laki-laki Muslim yang telah baligh, berakal, tidak musafir, dan mampu melaksanakannya. Shalat Jumat adalah pengganti shalat Dzuhur pada hari Jumat.


Dasar hukum wajibnya shalat Jumat adalah sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an QS. Al-Jumu'ah [62] ayat 9:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ


Artinya; "Wahai orang-orang yang beriman, apabila (seruan) untuk melaksanakan shalat  pada hari Jumat telah dikumandangkan, segeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."


Menurut Ibnu Rajab al Hanbali dalam kitab Rawa'i ' al-Tafsir al-Jami ' li-Tafsir al-Imam ibn Rajab al-Hanbali Jilid II [Saudi Arabia; Dar 'Ashimah, 2001], halaman 431 bahwa shalat Jumat adalah fardhu ain bagi laki-laki. Shalat Jumat adalah shalat wajib yang harus dikerjakan oleh setiap laki-laki Muslim yang memenuhi syarat, yaitu baligh, berakal, mukallaf, dan menetap di suatu tempat.  
 

قال البخاري قَوْل اللَّهِ عزَ وجلَّ: (إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ) . صلاةُ الجمعةِ فريضةٌ من فرائِض الأعيانِ على الرجالِ دونَ النساءِ، بشرائطَ أُخَرَ، هذا قولُ جمهورِ العلماءِ،


Artinya; "Imam Bukhari berkata: Firman Allah: (apabila (seruan) untuk melaksanakan shalat  pada hari Jumat telah dikumandangkan, segeralah mengingat Allah) (QS Al-Jumu'ah: 9). Shalat Jumat adalah fardhu ain bagi laki-laki, bukan perempuan, dengan syarat-syarat lainnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama."


Kendati shalat Jumat hukumnya adalah wajib bagi seorang laki-laki. Namun, dalam Islam ada keringanan hukum (rukhshah) yang membolehkan seorang laki-laki untuk tidak shalat Jumat. Keringanan tersebut diberikan untuk laki-laki yang memiliki udzur syar'i. 


Secara sederhana, pengertian udzur syar'i adalah suatu kondisi yang dapat meringankan atau menggugurkan suatu kewajiban. Misalnya bagi orang yang khawatir akan nyawa, harta, atau adanya pencuri di tengah jalan. Penjelasan ini ada di kitab Raudlatut Thalibin, juz I, halaman 345;


ومنها أن يخاف على نفسه أو ماله أو على من يلزمه الذب عنه من سلطان أو غيره ممن يظلمه


Artinya; "Termasuk alasan diperbolehkannya tidak Jumat adalah jika seseorang takut akan keselamatan dirinya, hartanya, atau orang yang wajib dibelanya dari penguasa atau orang lain yang akan menzaliminya."


Pada sisi lain, keringanan hukum tidak wajib melaksanakan Jumat juga berlaku bagi orang yang sedang musafir. Sebagaimana dikatakan Ibnu Munzir dalam kitab al-Ausath, Jilid IV, halaman 19;


(قال كثيرٌ من أهل العِلم: ليس على المسافرِ جُمُعة، كذلك قال ابنُ عُمر، وعمرُ بن عبد العزيز، وعطاءٌ، وطاوسٌ، ورُوِّينا عن عليٍّ أنه قال: ليس على المسافرِ جُمعةٌ)


Artinya; "Banyak ulama berpendapat bahwa tidak ada kewajiban shalat Jumat bagi orang yang sedang bepergian. Pendapat ini juga dipegang oleh Ibnu Umar, Umar bin Abdul Aziz, Atha', dan Thawus. Selain itu, dari Ali juga diriwayatkan bahwa beliau berkata; "Tidak ada kewajiban shalat Jumat bagi orang yang sedang bepergian,".


Hukum Tidak Shalat Jumat Karena Merawat Orang Sakit

Saudara penanya, adapun dalam kasus saudara, tidak shalat jumat karena menjaga orang sakit, maka dalam hukumnya adalah boleh, bahkan wajib jika kondisi orang sakit tersebut sangat membutuhkan bantuan. Hal ini berdasarkan keterangan dalam kitab al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al Kuwaitiyah, jilid XXXVI, halaman 359, bahwa orang yang merawat orang sakit, diperbolehkan tidak melaksanakan shalat Jumat. 


وقال الشّافعيّة : يجوز التّخلف عن الجمعة والجماعة لممرّض مريضٍ قريبٍ بلا متعهّدٍ , أو له متعهّد , لكنّ المريض يأنس به لتضرر المريض بغيبته , فحفظه أو تأنيسه أفضل من حفظ الجماعة


Artinya; "Menurut madzhab Syafi'i, diperbolehkan untuk meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah untuk merawat orang sakit yang dekat, baik yang tidak memiliki orang yang merawatnya, maupun yang memiliki orang yang merawatnya, tetapi orang sakit merasa nyaman dengannya sehingga akan merasa sakit jika ditinggal. Oleh karena itu, menjaga orang sakit atau membuatnya merasa nyaman lebih baik daripada menjaga shalat berjamaah."


Dengan demikian, menurut madzhab Syafi'i, seseorang diperbolehkan untuk meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah untuk merawat orang sakit yang dekat, baik yang tidak memiliki orang yang merawatnya, maupun yang memiliki orang yang merawatnya, tetapi orang sakit merasa nyaman dengannya sehingga akan merasa sakit jika ditinggal.


Misalnya, ada seorang suami yang harus meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah untuk merawat istrinya yang sedang sakit. Istrinya tidak memiliki orang lain yang merawatnya, dan dia merasa nyaman jika ditemani oleh suaminya. Dalam hal ini, suami tersebut diperbolehkan untuk meninggalkan shalat Jumat karena menjaga istrinya lebih penting, sebab termasuk dalam perkara menjaga nyawa dan kesehatan istri.


Sementara itu, Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarah al Muhadzab, jilid IV, halaman 356 mengatakan hal serupa, bahwa orang yang merawat atau menjaga orang sakit, maka diperkenankan hukum untuk tidak melaksanakan shalat Jumat. Pasalnya, kebutuhan untuk merawat orang sakit yang sedang dalam keadaan darurat lebih mendesak daripada kebutuhan untuk menghadiri shalat Jumat. 


أما التمريض فقال: إن كان للمريض متعهد يقوم بمصالحه وحاجته نظر إن كان ذا قرابة زوجة أو مملوكا أو صهرا أو صديقا ونحوهم - فإن كان مشرفا على الموت أو غير مشرف لكن يستأنس بهذا الشخص - حضره وسقطت عنه الجمعة بلا خلاف , وإن لم يكن مشرفا ولا يستأنس به لم تسقط عنه على المذهب


Artinya; "Adapun penjelasan merawat orang sakit; ia berkata, "Jika orang sakit memiliki orang yang ditugaskan untuk mengurusi urusan dan kebutuhannya, maka harus dilihat apakah orang tersebut adalah kerabat, istri, budak, ipar, teman, atau yang lainnya.  Jika orang tersebut adalah orang yang akan segera meninggal, atau bukan orang yang akan segera meninggal tetapi orang sakit merasa nyaman dengan orang tersebut, maka orang sakit dapat menghadirinya dan Jumat gugur darinya tanpa ada perbedaan pendapat. Namun, jika orang tersebut bukan orang yang akan segera meninggal dan orang sakit tidak merasa nyaman dengannya, maka Jumat tidak gugur darinya menurut madzhab.”


Kesimpulannya, menurut ulama Syafi’iyah, orang yang merawat orang sakit yang memenuhi dua syarat di atas boleh meninggalkan shalat Jumat. Namun demikian, dia wajib melaksanakan shalat Dzuhur sebagaimana shalat Dzuhur pada hari-hari biasa.