Bahtsul Masail

Pro Kontra Pencabutan IJOP Pesantren, Begini Kajian Bahtsul Masail FMPP

Sab, 17 September 2022 | 06:00 WIB

Pro Kontra Pencabutan IJOP Pesantren, Begini Kajian Bahtsul Masail FMPP

Bahtsul Masail FMPP se-Jawa Madura (FMPP) ke-37 di Pondok Pesantren Al-Hamid Cilangkap Jakarta Timur, pada 10-11 September 2022 tentang Pencabutan IJOP pesantren.

Beberapa bulan belakangan dunia pesantren sedang diuji pemberitaan negatif. Mulai dari viralnya kasus Herry Wirawan yang memperkosa 13 santriwati, pencabulan Mas Bechi terhadap beberapa santrinya berikut drama penangkapannya, hingga kasus tewasnya santri di sebuah pesantren yang dianiaya oleh oknum santri lain.


Beberapa di antara pesantren yang terlibat kasus dicabut izin operasional atau IJOP-nya oleh Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai sanksi administratif. Namun pencabutan IJOP tersebut tidak lepas dari pro dan kontra di masyarakat.


Misalnya kasus Pesantren Shidiqiyah Jombang Jawa Timur, yang semula dicabut IJOP-nya oleh Kemenag, selang beberapa hari dipulihkan kembali izin operasionalnya. Sebenarnya bagaimana aturan fiqih perihal pencabutan izin operasional pesantren?

 
Berikut Keputusan Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren se-Jawa Madura (FMPP) ke-37 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Hamid Cilangkap Jakarta Timur, pada 13-14 Safar 1444 H/10-11 September 2022 M tentang Pencabutan Ijin Operasional (IJOP) Pesantren .

 

Deskripsi Masalah

Akhir-akhir ini media digemparkan oleh beberapa kejadian yang dianggap tak senonoh oleh beberapa pihak. Kasusnya, salah satu tokoh dari pemilik pesantren memperkosa beberapa santriwati yang salah satunya dikabarkan hamil. Oleh karenanya dari pihak pemerintah memberikan sebuah tindakan yaitu mencabut izin operasional pesantren tersebut dengan alasan pencabulan dan tentu demi kebaikan para santri yang menetap disana sebagaimana yang disampaikan oleh beberapa akun website yang sempat viral pada saat itu.

 

Kabar terbaru, dalam salah satu kasus yang sama, pencabutan izin operasional tersebut ternyata dibatalkan. Menteri Agama Ad Interim Muhadjir Effendy mengungkapkan alasan izin operasional pesantren batal dicabut dilakukan atas arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun sebelumnya, Kemenag memang sudah pernah sempat mencabut izin operasional sebab pesantren inilah yang menaungi tersangka pencabulan tersebut. Bahkan, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono mengungkapkan nomor statistik dan tanda daftar pesantren tersebut telah dibekukan.
 

 

Dilansir dari detik.com, Waryono menyatakan, "Sebagai regulator, Kemenag memiliki kuasa administratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang di dalamnya diduga melakukan pelanggaran hukum berat,” tegas Waryono di Jakarta, Kamis (7/7/2022).

 

Tindakan tegas ini diambil karena salah satu pemimpinnya merupakan DPO kepolisian dalam kasus pencabulan dan perundungan terhadap santri. Di sisi lain, menurut kepolisian pihak pesantren juga dinilai menghalang-halangi dan menaungi proses hukum terhadap yang bersangkutan.
 


DPO kasus pencabulan tersebut, pelaku akhirnya menyerahkan diri. Upaya penangkapan polisi selama ini akhirnya membuahkan hasil. Setelah melewati upaya penangkapan dengan pendekatan yang bisa membuat pelaku menyerahkan diri usai lebih 2 tahun selalu menghindari kejaran polisi.
 


“Dengan menggunakan 2 pendekatan secara simultan, yaitu penegakan hukum yang tegas dan upaya persiasif negosiasi yang humani, akhirnya tersangka menyerahkan diri”. Ungkap Komisioner Kompolnas Poengky Indarti kepada detikJatim.com.

 

Dalam beberapa kejadian lain, pihak keluarga memang terkesan menghalangi proses hukum dengan meminta negosiasi agar kasus tersebut diproses secara diam-diam agar nama baik keluarga, lembaga dan yang lainnya tetap terjaga.
 


Pertanyaan

  1. Apakah tindakan pemerintah terkait pencabutan izin operasional pesantren dapat dibenarkan?
  2. Bagaimana hukum pihak keluarga menghalangi proses hukum dengan pertimbangan menjaga nama baik?


Jawaban a

Pemerintah dibenarkan mencabut Ijin Operasional (IJOP) pesantren apabila pesantren atas nama lembaga terbukti melakukan pelanggaran atau kesalahan, misalnya memobilisasi massa, menghalangi proses hukum yang sedang berlangsung, mengajarkan kurikulum yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar, dan tidak mampu menjamin keamanan dan kehormatan santri didiknya. Sedangkan apabila pelanggaran tersebut dilakukan oleh oknum pesantren, maka pemerintah tidak boleh mencabut IJOP lembaganya. Meski begitu, proses hukum untuk personal tetap wajib ditegakkan.


Catatan:
Apabila di kemudian hari pesantren yang telah dicabut izin operasionalnya telah berbenah dan kembali kepada jalan yang benar, maka pemerintah wajib mengembalikan IJOP pesantren tersebut.

Rekomendasi:
Pemerintah seharusnya juga mencabut IJOP pesantren yang mengajarkan radikalisme, terorisme, extremisme, dan ideologi lain yang mengancam keutuhan NKRI.

 

Jawaban b

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren Pasal 2
Penyelenggaraan Pesantren berasaskan: a. Ketuhanan Yang Maha Esa; b. Kebangsaan; c. Kemandirian; d. Keberdayaan; e. Kemaslahatan; f. Multikultural; g. Profesionalitas; h. Akuntabilitas; i. Keberlanjutan; dan j. Kepastian hukum.
 

Huruf e: Yang dimaksud dengan asas "kemaslahatan" adalah bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan untuk sebesar-besar pemanfaatan bagi pembentukan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera yang diridai oleh Allah Swt.
 

Bab III Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren, Bagian Kesatu: Umum

Pasal 5: 2) Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi unsur paling sedikit: a. Kiai; b. Santri yang bermukim di Pesantren; c. pondok atau asrama; d. masjid atau musala; dan e. kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin.
 

Pasal 9: (1) Dalam penyelenggaraan Pesantren, Kiai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a harus: a. berpendidikan Pesantren; b. berpendidikan tinggi keagamaan Islam, dan/atau; c. memiliki kompetensi ilmu agama Islam. (2) Kiai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemimpin tertinggi Pesantren yang mampu menjadi pengasuh, figur, dan teladan dalam penyelenggaraan Pesantren.

 

Dan berdasarkan Pasal 221 KUHP yang berbunyi:
"Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

  1. Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjahat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;
  2. Barangsiapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian."
 

Maka hukum pihak keluarga menghalangi berjalannya proses hukum adalah tidak diperbolehkan, dengan pertimbangan karena:

  1. Dianggap menghalangi wewenang pihak berwajib melakukan penyelidikan, karena termasuk bentuk menghalang-halangi pihak berwajib untuk menjalankan tugas.
  2. Melindungi pihak yang menolak proses penyelidikan. 
 

Demikian Keputusan Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren se-Jawa Madura (FMPP) ke-37 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Hamid Cilangkap Jakarta Timur, pada 13-14 Safar 1444 H/10-11 September 2022 M tentang Pencabutan Ijin Operasional Pesantren (IJOP). Referensi yang menjadi rujukan pembahasan adalah Al-Hawi lil Fatawi, juz 2 halaman 119; Al-Fawaidul Janiyah, halaman 123, Bughyatul Mustarsyidin, juz 1 halaman 532; dan selainnya.

 

Hadir sebagai musahih dalam pembahasan Komisi C: K. Ma’shum, K. Suhairi, K. Zahro Wardi, K. Hadziqun Nuha, KH. M. Ridlwan Qayyum Said, K. Masruchan dan K. Charis Rahman.
 


Bertindak sebagai perumus dalam pembahasan Komisi C: KH. M. Hizbulloh al-Haq, K. Arif Ridlwan Akbar Imam, K. Fadil Khozin, K. Lutfi Hakim, K.A. Yazid Fattah, K. Mohammad Mubasysyarum Bih Ridlwan, SH, K. M. Bagus Aminulloh, K. A. Tohar dan K. Alif Saifuddin. (MMB).