Hikmah

Cara Sayyidina Umar bin Abdul Aziz Memuliakan Tamunya

Ahad, 17 Januari 2021 | 00:00 WIB

Cara Sayyidina Umar bin Abdul Aziz Memuliakan Tamunya

Sayyidina Umar bin Abdul Aziz menerapkan konsep “ikrâm” (memuliakan) dengan cara luar biasa. Padahal, ia adalah pemimpin umat Islam saat itu.

Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Asfahani mencatat sebuah riwayat tentang Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dan penasihatnya. Berikut riwayatnya:


حدثنا أبو حامد بن جبلة، ثنا محمد بن إسحاق، ثنا أحمد بن الوليد، ثنا محمد بن كثير، ثنا أبي كثير بن مروان، عن رجاء بن حيوة، قال: سمرت ليلة عند عمر بن عبد العزيز فاعتل السراج، فذهبت أقوم أصلحه، فأمرني عمر بالجلوس، ثم قام فأصلحه، ثم عاد فجلس فقال: قمت وأنا عمر بن عبد العزيز، وجلست وأنا عمر بن عبد العزيز، ولؤم بالرجل إن استخدم ضيفه.


Abu Hamid bin Jabbalah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ishaq bercerita, Ahmad bin al-Walid bercerita, Muhammad bin Katsir bercerita, Abu Katsir bin Marwan bercerita, dari Raja’ bin Haiwah, ia berkata:


“Aku berbincang dengan Umar bin Abdul Aziz di malam hari, dan lampu (di ruangan hampir) terjatuh. Aku bergegas hendak berdiri untuk memperbaikinya, (dan) Umar menyuruhku untuk tetap duduk. Ia berdiri dan memperbaiki lampu tersebut, kemudian kembali duduk, sembari berkata:


“Aku berdiri, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. Aku duduk, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. (Tidak ada bedanya). Dan, (sungguh) tercela orang yang (membiarkan) tamunya melayani(nya)” (Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Asfahani, Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Beirut: Dar al-Fikr, 2019, juz 5, h. 264).


****


Memuliakan tamu merupakan bagian dari ajaran Islam, bahkan dalam hadits yang melandasi pentingnya memuliakan tamu diawali dengan kalimat, “barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” Hal ini menunjukkan bahwa memuliakan tamu (ikrâm al-dlaif) memiliki hubungan langsung dengan iman.


Dalam kisah di atas, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz menerapkan konsep “ikrâm” (memuliakan) dengan cara luar biasa. Padahal, ia adalah pemimpin umat Islam saat itu, dan Raja’ bin Haiwah adalah sekertarisnya (kâtib) dan penasihatnya. Meski demikian, ia menekankan bahwa, siapa pun ia, baik berdiri maupun duduk, ia tetap Umar bin Abdul Aziz, yang dalam hal ini berperan sebagai tuan rumah, sehingga etika yang ditampilkan adalah etika tuan rumah kepada tamunya, bukan pemimpin kepada bawahannya.


Raja’ bin Hawiyah (w. 69/70 H) sendiri sudah menjadi pejabat di Daulah Umayyah sejak Khalifah Abdul Malik bin Marwan sampai Umar bin Abdul Aziz. Artinya, ia telah mengabdi pada empat khalifah dari Daulah Umayyah. Ia adalah seorang faqîh (ahli fiqih), zâhid (orang yang zuhud), tab’in, dan banyak meriwayatkan hadits. Ia mengambil hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Mu’adz bin Jabal, Mahmud bin al-Rabi’, Abu Darda’, Abu Umamah al-Bahili, Abu Sa’id al-Khudri, Ummu Darda’, Umar bin Abdul Aziz, dan lain sebagainya. Banyak ulama yang mengambil riwayat hadits darinya, seperti al-Zuhri, Qutadah bin Du’amah, Abdullah bin ‘Aun, Abdul Malik bin ‘Umair, Humaid al-Thawil, Abdul Karim bin al-Harits, dan lain sebagainya (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, juz 18, h. 96-98).


Jika merujuk pada catatan Imam Ibnu ‘Asakir di atas, Raja’ bin Hawiyah termasuk murid Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, karena ia mengambil riwayat hadits darinya. Artinya, apa yang dilakukan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz benar-benar sebuah adab tanpa penghalang. Baginya, konsep memuliakan tamu harus diterapkan kepada siapapun juga, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak peduli tamunya orang biasa, pejabat tinggi, bawahan, murid, atau saudaranya sendiri, ia memperlakukan mereka dengan penghormatan yang semestinya.


Di sisi lain, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sedang mengajarkan keteladanan pada Raja’ bin Hawiyah, sebagai pemimpin sekaligus guru. Menariknya, ia mengamalkannya terlebih dahulu sebelum menjelaskannya, bukan sebaliknya. Setelah ia selesai memperbaiki lampu, ia berujar dengan tegas (terjemah bebas): “Berdiri ataupun duduk, aku tetap Umar bin Abdul Aziz.” 


Maksudnya adalah, sebelum predikat apa pun yang menempel kepadanya, atasan dan guru, ia ingin menegaskan bahwa ia adalah seorang manusia yang tetap terikat dengan aturan dan ajaran agama. Ia tidak mendapatkan keistimewaan hanya karena ia atasan atau guru dari Raja’ bin Hawiyah.


Kemudian ia menjelaskan tindakannya dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti. Katanya: “Dan, (sungguh) tercela orang yang (membiarkan) tamunya melayani(nya).” Dengan mengatakan ini, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz memberikan pemahaman yang indah, bahwa tidaklah pantas bagi tuan rumah membiarkan tamunya melayaninya.


Dalam hal “istihdzâm dlaif”, ada dua sudut pandang yang perlu dipahami, yaitu sudut pandang pasif dan sudut pandang aktif. Penjelasannya begini. Maksud dari sudut pandang pasif adalah pembiaran, di mana tuan rumah membiarkan tamu melayaninya tanpa upaya mencegah atau melarangnya. Dalam contoh di atas, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz bergegas melarang Raja’ bin Hawiyah untuk melakukan hal tersebut.


Sedangkan sudut pandang aktif adalah meminta secara langsung pada tamunya untuk melayaninya. Bahasa kasarnya menjadikan tamunya pelayan. Dalam contoh di atas, meskipun dari starta jabatan dan hubungan guru-murid memungkinkan, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz tidak melakukannya. Artinya, meskipun ia mempunyai kesempatan dan peluang untuk itu, ia tidak menggunakannya. Jangankan menggunakannya, melakukan pembiaran saja ia enggan. Karena, katanya: “Aku berdiri, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. Aku duduk, aku tetap Umar bin Abdul Aziz. (Tidak ada bedanya). Dan, (sungguh) tercela orang yang (membiarkan) tamunya melayani(nya).”


Wallahu a’lam bish-shawwab....



Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen