Shofi Mustajibullah
Kolomnis
Praktik politik sering kali diwarnai dengan tindakan suap, baik dalam skala kecil maupun besar. Fenomena yang dikenal sebagai money politics ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses politik, mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan pejabat negara. Ironisnya, tindakan ini tidak hanya muncul selama masa pemilihan, tetapi juga kerap ditemukan dalam pemerintahan yang telah berjalan.
Lebih memprihatinkan lagi, praktik kriminal ini perlahan dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat. Alih-alih dilihat sebagai tindak pidana, suap sering kali diterima atau bahkan diharapkan, dengan dalih sebagai "hadiah." Dalam konteks pemilu maupun pilkada, kompetisi antar pasangan calon (paslon) sering kali berubah menjadi perlombaan untuk menggelontorkan uang demi membeli suara pemilih, yang jelas merusak esensi demokrasi.
Akibatnya, banyak pihak mengabaikan aspek fundamental seperti penyebab dan dampak dari praktik money politics. Ketidakpedulian ini mencerminkan hilangnya kesadaran moral yang menjadi fondasi politik yang sehat. Dalam pandangan Islam, menjaga integritas dan keadilan adalah prinsip utama. Namun, ketika moralitas digeser oleh kepentingan sesaat, komitmen terhadap demokrasi yang sehat dan berlandaskan nilai-nilai Islam semakin sulit ditemukan.
Baca Juga
Islam dan Politik
Dampak Praktik Suap
Dalam mengetahui faktor utama terjadinya praktik suap, penulis akan memaparkan sebab-sebab praktik suap dari dua sisi. Dari pandangan Islam dan fakta yang terjadi di tengah masyarakat.
Menurut Islam etika dan moral adalah sesuatu yang sangat dijunjung tinggi. Dalam persoalan money politics, tentu Islam punya pandangan yang tegas dalam melarang tindakan kriminal ini.
Baca Juga
9 Pedoman Berpolitik Warga NU
Pada ayat Al-Baqarah ayat 188, secara gamblang dijelaskan bahwa mengonsumsi segala sesuatu melalui harta atau aset yang didapatkan dengan haram, akan mendapatkan konsekuensi berupa dosa. Termasuk dalam hal ini adalah praktik suap. Allah berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَࣖ
Artinya, “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”.
Baca Juga
Kebijakan Politik Nabi Muhammad SAW
Mengenai sebab terjadinya praktik suap di tengah masyarakat, tentu disebabkan oleh banyak faktor. Jika kita melihat penjelasan Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Az-Zawajir (Beirut, Darul Fikri, 1987: II/119), ia meringkas sekian sebab praktik suap menjadi dua faktor.
Faktor pertama, mewujudkan ambisi yang tidak mungkin (shortcut). Ibnu Hajar mengilustrasikan sebab pertama dalam suap seperti penuhnya ember dari jarak jauh dengan disiram. Secara garis besar, yang bersangkutan mencoba mengejawantahkan segala hal yang sulit untuk dijangkau. Namun lantaran suap, hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Kita bisa membayangkan, ambisi menjadi pejabat dalam tatanan pemerintahan atau tingkatan lembaga tertentu seakan tidak mungkin untuk dicapai dengan cara adil dan jujur. Sehingga, tindakan suap dipilih untuk mengabulkan ambisi-ambisi tersebut.
Faktor Kedua, bukan orang yang berintegritas. Ibnu Hajar memberikan contoh seorang hakim yang tidak mempunyai kapasitas dalam memutuskan hukum. Karena minimnya integritas seseorang, tindakan menyogok mudah menimpa orang tersebut.
Faktor kedua ini seharusnya menyadarkan kita atas kondisi politik Indonesia saat ini. Bahwa adanya fenomena penyuapan itu terjadi lantaran para pelaku tersebut tidak memiliki kapasitas dalam memimpin. Otomatis tidak pantas untuk menjadi pemimpin.
Menurut tinjauan kondisi riil, terdapat beberapa faktor utama yang memengaruhi terjadinya praktik politik uang. Faktor-faktor tersebut meliputi tradisi yang sudah mengakar, ambisi untuk meraih kejayaan, lingkungan yang mendukung perilaku tersebut, lemahnya penegakan hukum yang mudah dibeli, rendahnya keimanan, kemiskinan yang melanda masyarakat, minimnya wawasan politik, dan pengaruh kebudayaan yang kurang mendukung integritas dalam politik (Tutut Sugiarti, Money Politic, [Lombok Tengah, Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia: 1964], hal. 45-48).
Akibat Praktik Suap dalam Tinjauan Islam
Dalam cakupan sosial, tindakan curang berupa money politics berdampak buruk pada tataran moral masyarakat. Keterpurukan ekonomi, kesedihan, keterbelakangan masyarakat menjadi target utama pihak tertentu untuk diberikan sokongan dana supaya menjadi pendukungnya.
Lebih dari itu, praktik suap juga berdampak pada keutuhan demokrasi suatu negara. Berikut beberapa hal yang ditengarai terjadi lantaran adanya praktik suap (Tutut Sugiarti, Money Politic/halaman 49-51):
- Politik uang menjadikan rakyat hina
- Politik uang merupakan jebakan rakyat
- Politik uang akan berujung pada tindakan korupsi
- Politik uang membunuh transformasi masyarakat (menuju peradaban yang lebih baik)
Dalam tinjauan Islam, dampak atau akibat pelaku suap lebih pada dirinya sendiri. Allah akan melaknat tidak hanya pelaku suap, melainkan orang lain yang disuap akan terseret dalam hukum Allah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Thabrani:
قال رسولُ الله ﷺ: «لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ والمُرْتَشِيَ
Artinya, “Rasulullah bersabda: Allah melaknat pelaku suap dan yang menerima suap.”
Terdapat pula hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah sendiri yang melaknat para pelaku suap. Terlebih lagi, dikatakan bahwa pelaku dan penerima suap kelak akan dimasukkan neraka.
Selain dampak yang berakibat pada diri sendiri, tindakan ini pun menurut tinjauan Islam berpengaruh pada kewenangan dalam mengambil keputusan politik maupun hukum.
Imam Abu Hanifah, sebagaimana dikutip dalam kitab tafsir Qurthubi mengatakan, seorang pemegang wewenang menjadi batal setiap keputusannya, jika bersinggungan dengan tindakan suap. Bahkan di saat itu juga yang bersangkutan harus dipecat secara tidak hormat.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِذَا ارْتَشَى الْحَاكِمُ انْعَزَلَ فِي الْوَقْتِ وَإِنْ لَمْ يُعْزَلْ، وَبَطَلَ كُلُّ حُكْمٍ حَكَمَ بِهِ بَعْدَ ذَلِكَ
Artinya, “Abu Hanifah berkata: Tatkala seorang pengambil kebijakan (hakim) menerima suap, maka ia otomatis dianggap telah dicopot dari jabatannya saat itu juga, meskipun tidak secara resmi dicopot. Dan setiap keputusan yang dibuatnya setelah itu menjadi batal." (Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo, Dar Mishriyah: 1964], Jilid VI, halaman 183).
Cukup ironis melihat kenyataan bahwa beberapa pejabat atau pengambil keputusan yang terbukti terang-terangan terlibat dalam praktik suap masih dapat mempertahankan jabatannya.
Padahal, dari sudut pandang Islam, keputusan yang mereka buat tidak memiliki legitimasi baik secara hukum syariat maupun moral. Praktik seperti ini tidak hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga mencederai nilai-nilai keadilan yang menjadi fondasi utama dalam tata kelola pemerintahan.
Sebagai penutup, penulis berharap bahwa pembahasan mengenai sebab dan akibat terjadinya praktik suap, baik dari perspektif Islam maupun kondisi riil, dapat memberikan gambaran yang jelas kepada para pembaca.
Islam dengan tegas melarang segala bentuk tindakan curang seperti suap, yang dikategorikan sebagai dosa besar dengan konsekuensi serius di dunia dan akhirat. Larangan ini bukan hanya untuk menjaga keadilan, tetapi juga untuk memastikan keberkahan dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. Wallahu A’lam.
Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Kampus Ainul Yaqin
Terpopuler
1
Ustadz Maulana di PBNU: Saya Terharu dan Berasa Pulang ke Rumah
2
Kick Off Harlah Ke-102 NU Digelar di Surabaya
3
Pelantikan JATMAN 2025-2030 Digelar di Jakarta, Sehari Sebelum Puncak Harlah Ke-102 NU
4
Khutbah Jumat: Mari Menanam Amal di Bulan Rajab
5
Respons Gus Yahya soal Wacana Pendanaan Makan Bergizi Gratis Melalui Zakat
6
Puluhan Alumni Ma’had Aly Lolos Seleksi CPNS 2024
Terkini
Lihat Semua