Hikmah

Ketika Imam Sufyan ats-Tsauri Ditampar Penuntun Unta

Ahad, 12 Mei 2019 | 08:00 WIB

Ketika Imam Sufyan ats-Tsauri Ditampar Penuntun Unta

Ilustrasi (via vipis.org)

Dalam kitab Tarîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm, Imam Abu Abdullah al-Dzahabi memasukkan kisah Imam ats-Tsauri yang ditampar seseorang. Berikut kisahnya:

وَقَالَ صَالِحُ بْنُ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْعِجْلِيُّ، حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ: أَجَّرَ سُفْيَانُ نَفْسَهُ مِنْ جَمَّالٍ إِلَى مَكَّةَ، فَأَمَرُوهُ أَنْ يَعْمَلَ لهم خبزة فلم تجيء جَيِّدَةً، فَضَرَبَهُ الْجَمَّالُ، فَلَمَّا قَدِمُوا مَكَّةَ دَخَلَ الْجَمَّالُ، فَرَأَى النَّاسَ حَوْلَ سُفْيَانَ، فَسَأَلَ فَقَالُوا: هَذَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، فَلَمَّا انْفَضَّ النَّاسُ، تَقَدَّمَ الْجَمَّالُ إِلَى سُفْيَانَ وَاعْتَذَرَ، فَقَالَ: مَنْ يُفْسِدُ طعام النّاس يصبه أكثر من ذلك.

Shalih bin Ahmad bin Abdillah al-‘Ijliy berkata: ‘ayahku bercerita kepadaku, ia berkata: “Sufyan (ats-Tsauri) menyewa penuntun unta (ketika hendak pergi) ke Makkah. (Di perjalanan) penuntun unta tersebut menyuruhnya mencari roti (untuk dimakan), (setelah mencari-cari, Sufyan ats-Tsauri) tidak menemukan roti (makanan) yang baik, kemudian penuntun unta tersebut menamparnya.

Sesampainya di Makkah, si penuntun unta memasuki (masjid), ia melihat banyak orang mengelilingi Sufyan, kemudian ia bertanya (kepada mereka). Mereka menjawab: “Beliau adalah Sufyan ats-Tsauri.” Ketika orang-orang tersebut bubar, penuntun unta itu menghadap Sufyan ats-Tsauri dan meminta maaf. Lalu Sufyan ats-Tsauri berkata: “Barangsiapa yang merusak (hidangan) makan orang lain (seperti yang aku lakukan kepadamu), ia akan tertimpa (keburukan) yang lebih besar.” (Imam Abu Abdullah al-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2006, juz 4, h. 401-402)

****

Membicarakan para salafus shalih tidak akan ada habisnya. Hikmah yang mereka pancarkan, entah disengaja atau tidak, seumpama lautan yang tak pernah kering. Keteladanan bagi mereka seperti hidangan yang tersaji begitu gampang, dan begitu sukar bagi kita. Setiap kali kita membaca kisah-kisah mereka, bibir ini tak kuasa menahan “oh” yang keluar begitu saja. Kisah-kisah mereka membuat kita takjub sekaligus malu. Takjub karena cara berperilaku mereka yang kadang tidak terpikirkan oleh manusia pada umumnya. Malu karena di waktu yang sama menguliti kebebalan kita sebagai manusia. 

Imam Sufyan ats-Tsauri (97-161 H) adalah seorang ahli fiqih, muhaddits, mufassir, dan mujtahid yang mendirikan Mazhab Tsauri. Ia banyak meriwayatkan hadits dan memiliki banyak murid, seperti Abdullah bin Mubarak (118-181 H), Abdurrazaq al-Shan’ani (126-211 H), Sufyan bin ‘Uyainah (107-198 H) dan lain sebagainya. Kedudukannya di kalangan ulama sangat tinggi, baik yang sezaman dengannya maupun yang tidak. Hampir semuanya memuji kualitas intelektual dan kesalehannya. Imam Yahya bin Said al-Qattan (w. 198 H) mengatakan: “Sufyân ats-Tsauri fauq Mâlik fî kulli syai’in—Sufyan ats-Tsauri berada di atas Malik (bin Anas) di segala hal.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassassah al-Risalah, 2001, juz 7, h. 247). Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “al-imâm Sufyân ats-Tsauri lâ yataqaddamuhu ahadun fî qalbî—Imam Sufyan al-Tsauri, tidak ada seorang pun yang (kedudukannya) mendahuluinya di hatiku.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 7, h. 241). Dan masih banyak pujian ulama kepadanya.

Dalam kisah di atas, Imam Sufyan ats-Tsauri mengakrabkan kita pada keteladanan yang mudah dicerna; keteladanan yang sederhana tapi tak terlintas pikiran kita. Ia mempersembahkan dirinya sebagaimana yang dipelajarinya. Citra dirinya adalah pengetahuannya. Sebagai pembelajar, ia belajar hingga nafas meninggalkannya. Berpindah dari satu guru ke guru lainnya; mendengar dari satu syekh ke syekh lainnya. Jumlah gurunya sangat banyak. Menurut pendapat yang masyhur lebih dari enam ratus syekh. Imam al-Dzahabi menulis:

إن عدد شيوخه ست مائة شيخ، وكبارهم الذين حدثوه عن أبي هريرة، وجرير بن عبد الله، وابن عباس، وأمثالهم

“Sesungguhnya jumlah guru-gurunya (sekitar) enam ratus syekh, dan guru-guru utamanya menyampaikan kepadanya (hadits) dari Abu Hurairah, Jarir bin Abdullah, (Abdullah) bin Abbas, dan lain sebagainya.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 7, h. 235)

Kisah di atas adalah citra dirinya, ia menerima tamparan sang penuntun unta dengan suka rela. Ia bahkan menganggapnya sebagai balasan yang pantas diterimanya. Baginya, orang yang merusak kenikmatan makan orang lain, akan mendapatkan musibah atau keburukan yang lebih besar, sehingga ia tidak merasakan sakit hati sedikit pun, meski ia seorang ulama besar, karena memang itulah yang diyakininya. Sebagai orang yang menghafal dan meriwayatkan banyak hadits, Imam Sufyan ats-Tsauri tentu tahu hadits nabi yang mengatakan (HR. Imam Abu Ya’la):

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ

“Bukanlah seorang mukmin (sejati), orang yang kenyang sementara tetangga di sampingnya kelaparan.” (Imam al-Munawi, Faidl al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Beirut: Darul Ma’rifah, tt, juz 5, 360)

Dan hadits yang mengatakan (HR. Imam Muslim):

إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ، فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوفٍ

“Jika kau memasak, perbanyaklah kuahnya, lalu perhatikan penghuni rumah tetanggamu, dan berikan sebagian masakan itu kepada mereka dengan cara yang ma’ruf (santun).” (Imam al-Nawawi, Syarh al-Nawawî ‘alâ Muslim, Beirut: Darul Kitab al-Ilmiyyah, 2017, juz 15, h. 145)

Jika tetangga yang tidak dimintanya menjadi “tetangga” saja diberikan hak sedemikian rupa oleh Allah, bagaimana dengan orang yang dipekerjakannya? Sudah tentu ia berada di bawah tanggungannya. Dan ternyata, karena beberapa keadaan tertentu—mungkin tempat yang tidak mendukung atau sebagainya—ia tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya dengan sempurna, hingga ditampar oleh orang yang dipekerjakannya. Baginya itu wajar, karena penuntun unta itu memiliki haknya sebagai pekerja, meski tindakannya terbilang keterlaluan.

Lebih menarik lagi, ketika penuntun unta itu meminta maaf, Imam Sufyan ats-Tsauri tidak menjawabnya dengan, “aku memaafkanmu,” tidak. Ia merasa tidak berhak dan pantas memberikan maaf. Ia merasa, ia lah yang lebih membutuhkan maaf karena tidak bisa memberikan makanan yang laik selama perjalanan ke Makkah. Ia menjawab, “Barangsiapa yang merusak (hidangan) makan orang lain (seperti yang aku lakukan kepadamu), ia akan tertimpa (keburukan) yang lebih banyak.” Seakan-akan Imam Sufyan ats-Tsauri hendak mengatakan, “akulah yang salah, dan aku laik menerima tamparan itu.”

Keluhuran pekerti semacam ini sukar dimengerti umumnya manusia, apalagi mengamalkannya. Dalam pandangan sederhana, Imam Sufyan ats-Tsauri telah memenuhi tanggung jawabnya dengan memberikan roti (makanan) terbaik yang tersedia waktu itu, tapi rupanya si penuntun unta tidak puas. Bagi orang-orang berjiwa lapang, tanggung jawab baru dianggap tertunaikan jika objeknya merasa puas dan menerima. Tentu ini sulit dan tidak adil bagi orang umum, karena memenuhi kepuasan orang lain tidak mungkin dilakukan tanpa batasan tertentu, apalagi jika bertemu dengan orang rakus, kadar kepuasannya sangat sukar untuk dipenuhi. Namun, bagi para nabi dan wali, bukan “fair” atau “tidak fair” yang dijadikan standarnya, karena mereka melakukannya sebagai bentuk pengabdian, hingga nyawa pun tak mereka pedulikan.

Orang-orang semacam ini tidak lahir dari ruang hampa. Mereka terdidik oleh ilmu pengetahuan, dan tercerahkan oleh keteladanan. Mereka menjumpai guru-guru yang berilmu sekaligus berteladan. Ilmu menjadikan mereka tahu. Teladan menjadikan mereka pengamal ilmu yang baik. Karena itu, salah satu ucapan Imam Sufyan ats-Tsauri yang paling terkenal adalah:

زينوا العلم والحديث بأنفسكم، ولا تتزينوا به

“Hiasilah ilmu dan hadits dengan diri kalian, dan jangan (jadikan) ilmu dan hadits penghias (diri) kalian.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 7, h. 245)

Maksudnya adalah, agar manusia menghiasi ilmu dan hadits dengan mengamalkannya, bukan untuk terlihat pintar; agar manusia menjadi pelayan ilmu, bukan menjadikan ilmu pelayannya; agar manusia berperilaku dengan ilmu, bukan memperlakukan ilmu untuk kemasyhurannya; agar manusia menjalani kehidupan dengan ilmu, bukan menjalankan ilmu untuk kepentingan kehidupannya. 

Singkatnya, Imam Sufyan ats-Tsauri menghendaki manusia melayani ilmu dan tidak menjadikan ilmu dan hadits sebagai pelayannya. Kata kuncinya, mengutip perkataan Imam Ibrahim bin Adham:

أطلبوا العلم للعمل فإن أكثر النّاس قد غلطوا حتي صار علمهم كالجبال وعملهم كالذر

“Carilah ilmu untuk diamalkan, karena kebanyakan manusia keliru, hingga menjadikan ilmunya setinggi gunung tapi amalnya sekecil debu.” (Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani, Thabaqât al-Kubrâ, Kairo: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyyah, 2005, h. 129)

Semoga kita bisa meneladaninya. Rabbi zidnî ‘ilma warzuqnî fahma, amin. Wallahu a’lam bish shawwab..


Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen