Hikmah

Ketika Ulama Empat Mazhab Diminta Pertanggungjawaban di Hari Kiamat

Kam, 11 Mei 2023 | 19:00 WIB

Ketika Ulama Empat Mazhab Diminta Pertanggungjawaban di Hari Kiamat

Ilustrasi: perbedaan mazhab (NU Online).

Tidak bisa dipungkiri kehadiran para imam mujtahid (ulama yang memiliki kredibelitas untuk berfatwa), mampu memberikan corak yang berbeda dalam beragama Islam. Beberapa pendapat berbeda antara mereka yang sejatinya merupakan sunnatullah (ketetapan Allah) bisa memberikan jalan yang yang lebih gampang dalam beragama, sehingga orang-orang bisa menjalankan syariat Islam dengan leluasa.
 

Para imam mujtahid dalam Islam seben​​​​​​​arnya tidak hanya terdiri dari empat mazhab sebagaimana yang masyhur di Indonesia, namun sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Seperti mazhab Al-Laitsi, yang dinisbatkan kepada Imam Al-Laits bin Sa’d, mazhab Al-Auza’Ii yang dinisbatkan kepada Imam Abu Amr Al-Auza’i; mazhab Ad-Dzahiri yang dinisbatkan kepada tokohnya yaitu Imam Abu Dawud Ad-Dzahiri.
 

Hanya saja, dari sekian banyak mazhab, yang bertahan dan tersebar dalam dunia Islam hanyalah empat mazhab yang sudah sangat populer, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hanbali. Mazhab-mazhab lainnya sebagian besar telah hilang karena tidak adanya ulama yang meneruskan dan melanjutkan pemikiran-pemikiran dan pendapat dari mazhab tersebut.
 

Keberadaan empat mazhab di atas dengan segala pendapatnya yang berbeda-beda dalam Islam, tentu akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah swt kelak di hari kiamat atas hukum-hukum yang mereka sampaikan dan mereka catat dalam masing-masing mazhabnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:
 

إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (18)
 

Artinya, “(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS Qaf: 17-18).
 

Dalam ayat yang lain juga disebutkan:
 

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
 

Artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra’: 36).
 

Dua ayat di atas menegaskan kepada kita semua bahwa semua perbuatan, tindakan, dan ucapan manusia akan diminta pertangungjawaban oleh Allah swt kelak di hari kiamat. Nah, dalam kesempatan ini penulis akan menjelaskan kisah ketika para ulama imam mazhab disidang oleh Allah untuk diminta pertanggungjawaban atas pendapat-pendapat dalam mazhabnya.
 

 

Ketika Imam Mazhab Diminta Pertanggungjawaban

Dalam Kitab Al-Ghusnul Mutsmir At-Thari—kitab kodifikasi dari nasihat-nasihat, kalam hikmah, hukum-hukum fiqih dan lainnya, yang diambil dari Habib Salim bin Abdullah bin Umar As-Syatiri—, Habib Salim As-Syatiri mengutip perkataan Imam As-Syarji, suatu saat ia bermimpi kiamat telah datang. Semua manusia dikumpulkan di mahsyar. Kemudian terdengar suatu pangilan yang tertuju kepada Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Panggilan itu tidak lain selain untuk meminta pertanggungjawaban atas perbedaan pendapat yang mereka sampaikan di dunia: 
 

اَلْاِمَامُ الشَّرْجِي رَأَى فِي الْمَنَامِ أَنَّ الْقِيَامَةَ قَامَتْ وَاجْتَمَعَ النَّاسُ، وَنَادَى الْمُنَادِى لِيَقُمْ الشَّافِعِي وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ، فَقَامُوْا، فَلَمَّا قَامُوْا خَاطَبَهُمُ اللهُ وَقَالَ لَهُمْ: أَنَا أنزَلْتُ دِيْنًا وَاحِدًا، فَجَعَلْتُمُوْهُ أَرْبَعَةَ أَدْيَانٍ، فَكَيْفَ هَذَا؟
 

Artinya, “Suatu saat Imam As-Syarji bermimpi ketika tidur, bahwa kiamat telah datang dan manusia dikumpulkan (di mahsyar), kemudian terdengar suatu panggilan agar Imam As-Syafi’i, Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah untuk berdiri. Ketika mereka berdiri, Allah berkata kepada mereka: “Sungguh Aku telah menurunkan satu agama Islam (tanpa perbedaan), namun kalian menjadikannya empat agama (dengan pendapat yang berbeda-beda), lantas bagaimana ini?”
 

Mendengar pertanyaan tersebut, kemudian para imam mazhab yang empat memohon izin kepada Allah agar ada salah satu dari mereka yang bisa menjadi wakil untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian Allah memberi izin. Akhirnya Imam Ahmad bin Hanbal yang dipilih untuk menjawabnya. Karena dipilih, akhirnya Imam Ahmad menjawab bahwa mazhab yang mereka bawa tetap merujuk pada Al-Quran dan hadits, dan sama sekali tidak menciptakan empat agama melalui pendapat yang berbeda-beda: 
 

قَالَ: يَا رَبِّ، نَحْنُ مَا أَتَيْنَا بِدِيْنٍ جَدِيْدٍ، كُلُّ مَا أَتَيْنَا بِهِ دِيْنٌ مَأْخُوْذٌ مِنْ كِتَابِكَ وَسُنَّةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ
 

Artinya, “Imam Ahmad berkata: Wahai Tuhanku! Kami tidak membawa agama baru. Semua yang kami bawa merupakan berdasar pada kitab suci-Mu dan hadits Nabi-Mu, yaitu Nabi Muhammad.”
 

Mendengar jawaban Imam Ahmad tersebut, tentu Allah menolak secara langsung, sebab sudah jelas bahwa pendapat-pendapat yang empat imam mazhab bawa jelas memberikan dampak yang berbeda bagi setiap umat Islam yang mengikutinya. Agama yang sejatinya satu ternyata bisa dijalani dengan empat cara, sesuai dengan mazhabnya.
 

Kemudian Imam Ahmad bertanya kepada Allah, perihal siapakah yang akan dijadikan saksi bahwa kebaradaan empat imam mazhab telah menjadikan agama Islam dengan empat cara. Lantas Allah menjawab, “Aku. Aku sendiri yang menyaksikan bahwa kalian telah menjadikan agama dengan empat corak yang berbeda.”
 

Dengan kecerdasannya, kemudian Imam Ahmad berkata: “Bagaimana mungkin ya Allah Engkau menjadi saksi, padahal Engkau adalah hakim atas kejadian ini. Engkau pun telah menjelaskan kepada Nabi-Mu, bahwa hakim tidak sah dijadikan sebagai saksi.” 
 

Mendengar jawaban tersebut, kemudian Allah menjawab, “Jika begitu, maka para malaikat yang akan menjadi saksi.”
 

Mendengar jawaban bahwa para malaikat yang akan dijadikan saksi dalam hal ini, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Ya Allah, bukankah para malaikat sudah menuduh dan mencurigai keberadaan kami di dunia sejak sebelum diciptakannya bapak kami, yaitu Nabi Adam as. Sebagaimana yang Engkau kabarkan dalam Al-Qur’an, yaitu: ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ (QS Al-Baqarah: 30). Dalam hal ini, selama tuduhan dan kecurigaan ini ada, maka persaksiannya pun tidak bisa diterima”, jawab Imam Ahmad.
 

Mendengar jawaban tersebut, lantas Allah menyuruh para imam mazhab yang empat untuk masuk ke dalam surga bersama semua pengikutnya: 
 

قَالَ: اِذْهَبُوْا فَقَدْ عَرَفْتُ لَكُمْ وَلِمَنْ تَبِعَكُمْ، اُدْخُلُوْا الْجَنَّةَ
 

Artinya, “Allah berfirman: “Berangkatlah kalian semua. Sungguh Aku telah tahu pada kalian dan orang-orang yang mengikuti kalian, masuklah kalian semua ke dalam surga”.”
 

Demikian kisah ulama empat mazhab ketika diminta pertanggungjawaban oleh Allah kelak di hari kiamat, sebagaimana tertulis dalam Kitab Al-Ghusnul Mutsmir At-Thari. (Salim bin Umar As-Syatiri, ​​​​​​​​Al-Ghusnul Mutsmir At-Thari min Kalami Sulthanil Ulama`il ‘Ashr Al-Habib Salim bin Umar As-Syatiri, [Maktabah Al-Islamiyah], juz I, halaman 70-72. Wallahu a’lam.

 



Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur