Muhammad Tantowi
Kolomnis
FoMO (Fear of Missing Out) adalah rasa takut atau kecemasan yang dirasakan seseorang akibat ketinggalan tren tertentu. Tren tersebut dapat berupa tren berpakaian, makanan, hingga cara bertutur kata. Seseorang mungkin merasa terasing jika model pakaiannya berbeda dari kebanyakan orang. Hal serupa juga terjadi ketika makanan yang dikonsumsi adalah makanan tradisional yang dianggap tidak sesuai dengan "trend."
Lebih mengkhawatirkan lagi, kecenderungan mengikuti tren bertutur kata sering kali menjauh dari nilai-nilai luhur dan budaya bangsa Indonesia. Fenomena ini banyak merebak di kalangan generasi muda di Indonesia saat ini. Sebagai agama yang sempurna, Islam selalu memiliki solusi untuk menghadapi berbagai fenomena kehidupan, termasuk FoMO. Allah SWT berfirman:
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Baca Juga
Konsep Psikologi Imam Al-Ghazali
Artinya, "Jika engkau mengikuti (kemauan) kebanyakan orang (kafir) di bumi ini (dalam urusan agama), niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan." (QS Al-An'am: 116)
Menurut Ath-Thabari dalam Jami'ul Bayan 'an Ta'wil Ayil Qur'an, Jilid IX (Turki: Dar Hijr Publishing, 2011: 509), ayat ini adalah peringatan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk tidak mengikuti ajakan orang-orang yang membuat tandingan-tandingan bagi Allah SWT. Ajakan tersebut mencakup seruan untuk memakan sembelihan atau kurban yang secara terang-terangan dipersembahkan kepada tuhan-tuhan mereka.
Selain itu, Allah SWT juga memperingatkan Nabi Muhammad SAW agar tidak meniru gaya berpakaian atau pola hidup mereka yang menyimpang dan tersesat dari jalan yang benar. Pesan ini menggarisbawahi pentingnya mempertahankan identitas dan prinsip Islam dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal berpakaian, makan, dan cara hidup, agar tidak terjebak dalam kebiasaan atau tren yang bertentangan dengan nilai-nilai keimanan.
Dari pendapat Ath-Thabari dalam Jami'ul Bayan 'an Ta'wil Ayil Qur'an, terdapat beberapa penjelasan yang bertolak belakang dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat kita saat ini. Beberapa perbedaan tersebut antara lain:
Pertama, kecenderungan meniru gaya pakaian dari luar negeri yang sering kali tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Gaya berpakaian yang tipis sehingga mempertontonkan warna kulit, atau pakaian yang ketat hingga menonjolkan lekuk tubuh, menjadi tren yang semakin lazim.
Baca Juga
Dampak Psikologis Program Deradikalisasi
Kondisi ini diperburuk dengan kebiasaan membagikan penampilan tersebut melalui cerita atau beranda media sosial, sehingga gaya tersebut mudah diakses dan berpotensi ditiru oleh orang lain, terutama generasi muda yang melihatnya sebagai suatu kebanggaan atau simbol modernitas.
Padahal, Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan umatnya tentang pentingnya menjaga kesopanan dalam berpakaian melalui sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya, "Para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berjalan dengan gaya menggoda dan membuat orang lain tergoda, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal bau surga dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian." (HR Muslim)
An-Nawawi dalam Al-Minhaj Fi Syarhi Shahih Muslim Bin Hajjaj (Oman: Baitul Afkar Ad-Dauliyah, 2000: 1341), menjelaskan bahwa secara implisit, hadits ini menekankan pentingnya menjauhkan diri dari sikap yang tidak mencerminkan ketaatan kepada Allah SWT. Selain itu, juga diingatkan agar menjaga hal-hal yang semestinya dijaga, termasuk menghindari menyebarkan perilaku yang tidak pantas kepada orang lain.
Adapun secara lahiriah, An-Nawawi menambahkan bahwa mereka yang dimaksud dalam hadits ini menggunakan pakaian sebagai bentuk nikmat dari Allah SWT, namun tidak disertai rasa syukur. Mereka menutupi sebagian tubuh, tetapi membiarkan sebagian lainnya terbuka, bahkan menggunakan kain yang tipis sehingga tetap memperlihatkan warna kulit.
Kedua, sebagian dari kita cenderung mengonsumsi makanan di outlet-outlet yang menyajikan beragam kuliner kekinian. Beberapa makanan tersebut terkadang menggunakan bahan olahan yang dapat menghasilkan alkohol, salah satunya adalah rhum. Rhum ini sering digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan es krim, black forest, brownies, dan sejenisnya, dengan tujuan memberikan aroma dan cita rasa yang menggugah selera konsumen.
Menurut Ustadz Fauzi Yunus, Pendamping Proses Produk Halal (PPH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam artikel "Halalkah Produk Makanan yang Mengandung Rhum Beralkohol dari Tebu?" yang dimuat di NU Online pada 15 November 2024.
Beliau mengutip pendapat Prof. Quraish Shihab. Prof. Quraisy Shihab menyatakan bahwa rhum dapat di-qiyas-kan atau dianalogikan dengan khamr, sehingga hukumnya sama dengan khamr, yaitu haram, tanpa melihat kadarnya. Di sisi lain, terdapat pendapat yang meng-qiyas-kan rhum dengan nabidz, yang menjadi haram apabila memabukkan.
Ketika kita terjebak dalam FoMO (Fear of Missing Out) ini, kita sejatinya memasuki wilayah makanan syubhat. Artinya, makanan yang mereka konsumsi dinilai haram oleh sebagian ulama, namun dianggap halal oleh sebagian lainnya. Dalam menghadapi situasi seperti ini, Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fathul Mubin bi Syarhil Arbain (Beirut: Darul Minhaj, 2008:234) memberikan anjuran sebagai berikut:
فَالْوَرَعُ تَرْكُهَا مُطْلَقًا وَاِنْ جَازَ
Artinya, "Maka sikap wara' (kehati-hatian) adalah meninggalkan hal tersebut secara mutlak, meskipun itu diperbolehkan."
Ketiga, saat ini sebagian orang kini cenderung menggunakan bahasa gaul atau bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Mereka merasa bahwa penggunaan gaya bahasa tersebut membuat mereka terlihat lebih keren dan diterima dalam lingkaran pergaulan. Atau boleh jadi karena urbanisasi dan percampuran masyarakat, maka bahasa-bahasa baru tersebut muncul.
Namun, kebiasaan ini menjadi tidak baik karena sering terbawa saat berbicara dengan orang tua, guru, atau orang yang lebih tua, sehingga terkadang menimbulkan kesan kurang sesuai dengan nilai kesopanan di Indonesia.
Salah satu kekayaan budaya Indonesia adalah bahasa daerah yang memiliki kosakata beragam dan kaya makna. Penggunaannya disesuaikan dengan siapa lawan bicara, menunjukkan penghormatan dan adab.
Contohnya dalam bahasa Jawa, kata untuk menyebut "kamu" memiliki beberapa pilihan: "panjenengan" digunakan untuk orang yang lebih tua atau dihormati, "sampean" untuk teman sebaya, dan "kowe" untuk seseorang yang lebih muda atau akrab. Pilihan kata ini mencerminkan nilai luhur dalam bertutur kata yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Nilai-nilai luhur ini juga sejalan dengan ajaran Al-Qur'an, yang menekankan pentingnya berbicara dengan baik dan santun, seperti yang tercermin dalam istilah qaulan ma'rufan (ucapan yang baik), qaulan layyinan (ucapan yang lembut), qaulan sadidan (ucapan yang benar), dan qaulan kariman (ucapan yang mulia).
Hal ini mengingatkan kita bahwa tidak perlu merasa kurang percaya diri tanpa menggunakan bahasa gaul atau bahasa Inggris, karena nilai-nilai luhur dalam budaya Indonesia sudah mencerminkan keindahan bertutur yang sesuai dengan ajaran agama.
Untuk menghindari tekanan sosial seperti FoMO, ada baiknya kita mempertimbangkan langkah-langkah berikut:
Pertama, mengurangi frekuensi berkumpul dengan teman yang cenderung membawa pengaruh negatif, terutama jika tidak ada hal penting yang perlu dibahas. Sebab, dalam lingkaran pergaulan, sering kali terjadi pertukaran informasi tentang hal-hal yang sedang tren, yang dapat memicu rasa ingin mengikuti tanpa pertimbangan matang. Langkah ini sejalan dengan anjuran Ibnu 'Atha'illah As-Sakandari dalam Hikam-nya yang ke-42:
لَا تَصْحَبْ مَنْ لَا يُنْهِضُكَ حَالُهُ وَلَا يَدُلُّكَ عَلَى اللهِ مَقَالُهُ
Artinya, "Janganlah berteman dengan seseorang yang keadaannya tidak membuatmu lebih baik, dan ucapannya tidak mengingatkanmu kepada Allah."
Dalam menjelaskan hikmah ini, Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi memberikan panduan untuk membatasi hubungan persahabatan pada hal-hal yang benar-benar diperlukan dalam kehidupan dan mendukung pekerjaan. Beliau menyampaikan dalam Al-Hikam Al-'Athaiyyah Syarh Wa Tahlil Jilid II (Damaskus, Darul Fikr, 2003: 163):
اِجْعَلْ صُحْبَتَكَ الْمَقْصُوْدَةَ لِذَاتِهَا مَعَ الَّذِيْنَ وَصَفَهُمْ لَكَ اِبْنُ عَطَاءِ اللهِ وَاجْعَلْ عَلَاقَتَكَ بِالْآخَرِيْنَ بِاْلقَدْرِ الَّذِيْ تَضْطَرُّكَ إِلَيْهَا ضَرُوْرَاتِ مَعَايِشِكَ وَوَاجِبَاتِ وَظَائِفِكَ.
Artinya, "Jadikanlah persahabatanmu bermakna, bersama orang-orang yang sifat-sifatnya telah dijelaskan oleh Ibnu Atha'illah (memotivasimu menjadi lebih baik, dan mendekatkanmu kepada Allah). Batasi hubunganmu dengan orang lain sekadar dapat memenuhi kebutuhan yang mendesak dalam hidupmu, dan menunaikan kewajiban-kewajibanmu!"
Kedua, berfokus pada pengembangan diri untuk menyongsong masa depan yang lebih baik adalah salah satu cara efektif untuk menghindari FoMO. Dengan fokus pada pengembangan diri, seorang pemuda dapat memahami potensi yang dimilikinya sekaligus mempersiapkan diri menghadapi kebutuhan masa depan.
Untuk mendukung hal ini, sebaiknya mengurangi aktivitas berselancar di media sosial, karena media sosial menyajikan beragam informasi, baik yang bersifat motivatif maupun provokatif. Anjuran untuk menjauhkan diri dari kebiasaan seperti ini pernah Allah SWT sebut dalam Al-Qur'an:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
Artinya, "Janganlah sekali-kali engkau tujukan pandangan matamu pada kenikmatan yang telah Kami anugerahkan kepada beberapa golongan dari mereka (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal." (QS Thaha: 131)
Dengan demikian, FoMO dapat menjadi ancaman bagi masyarakat Indonesia, jika mereka tidak mampu memilah mana yang benar-benar bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Untuk menghindarinya, cukup dengan menjalani hidup secara sederhana dan fokus pada hal-hal yang penting serta bermanfaat. Dalam Islam, salah satu tanda kebaikan seorang Muslim adalah kemampuannya meninggalkan perkara yang tidak diperlukan. Semoga kita senantiasa diberikan hikmah untuk menjalani hidup dengan bijak. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhammad Tantowi, Koordinator Ma'had MTsN 1 Jember
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua