Prinsip Penyelesaian Sengketa Hukum Perdata dalam Hadits
Senin, 2 Desember 2024 | 15:30 WIB
Ahmad Maimun Nafis
Kolomnis
Islam mengatur relasi sosial di antara manusia agar tidak terjebak dalam konflik berkepanjangan. Di antaranya dengan prinsip-prinsip shulhu atau penyelesaian sengketa hukum perdata–demikian pula hukum pidana–secara damai dalam hadits Nabi Muhammad saw.
Rasulullah saw bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ، إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Artinya, "Perdamaian itu boleh dilakukan di antara kaum Muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadis ini menegaskan bahwa perdamaian merupakan solusi utama dalam menyelesaikan sengketa, termasuk sengketa hukum perdata, selama tidak melanggar syariat Islam. Penyelesaian sengketa harus dilakukan secara adil tanpa menyalahi aturan halal dan haram yang telah ditetapkan oleh Allah.
Al-Mubarakfuri memberi penjelasam terhadap hadits tersebut dengan menyebutkan beberapa contoh dari penyelesaian sengketa yang melanggar aturan. Ia menerangkan:
إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا) كَمُصَالَحَةِ الزَّوْجَةِ لِلزَّوْجِ عَلَى أَنْ لَا يُطَلِّقَهَا أَوْ لَا يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا أَوْ لَا يَبِيتَ عِنْدَ ضَرَّتِهَا (أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا) كَالصُّلْحِ عَلَى أَكْلِ مَالٍ لَا يَحِلُّ أَكْلُهُ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
Artinya, "Kecuali perdamaian yang mengharamkan sesuatu yang halal, seperti perdamaian antara istri dengan suami dengan syarat suami tidak menceraikannya, tidak menikah lagi dengannya, atau tidak bermalam di rumah istri lainnya; atau perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram, seperti perdamaian atas dasar memakan harta yang tidak halal dimakan atau hal serupa lainnya." (Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah], juz IV, halaman 487).
Al-Mubarakfuri menegaskan, perdamaian yang baik adalah yang menjaga kehalalan dan keharaman sesuai syariat. Namun, jika perdamaian tersebut mengarah pada pengharaman yang halal, seperti mencegah suami mengambil hak-haknya yang sah, atau penghalalan yang haram, seperti menerima harta haram, maka perdamaian tersebut tidak sah. Hal ini menunjukkan pentingnya keadilan dan kesesuaian dengan hukum syariat dalam setiap bentuk perdamaian.
Imam As-Syafi'i memberi contoh lain shulhu yang melanggar syariat, sebagaimana diceritakan oleh Ibnul Atsir:
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَمِنَ الحَرَامِ الَّذِي يَقَعُ فِي الصُّلْحِ: أَنْ يَقَعَ عِنْدِي عَلَى المَجْهُولِ الَّذِي لَوْ كَانَ بَيْعًا كَانَ حَرَامًا
Artinya: "Di antara keharaman yang dapat terjadi dalam shulhu menurut pandanganku adalah shulhu yang didasarkan pada sesuatu yang tidak jelas (majhul), yang jika dianggap sebagai jual beli, hukumnya juga haram." (As-Syafi’i fi Syarhi Musnadis Syafi’i, [Riyadh, Maktabah Ar-Rusyd: 2005], jilid IV, halaman 173).
Imam As-Syafi’i menekankan larangan shulhu (perdamaian) yang dilakukan dengan objek atau syarat yang tidak jelas (gharar). Dalam hukum Islam, gharar adalah salah satu sebab keharaman dalam akad-akad muamalah, termasuk jual beli, karena dapat menyebabkan kerugian atau ketidakpastian bagi salah satu pihak.
Beberapa contoh penerapan shulhu dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan dalam peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Berikut dua contoh pentingnya:
1. Shulhu dalam Pembebasan Utang
Diceritakan dalam riwayat hadits shahih:
"Ka’b bin Malik menceritakan bahwa ia menagih utang kepada Ibnu Abi Hadrad di dalam masjid pada zaman Rasulullah saw. Suara mereka meninggi hingga terdengar oleh Rasulullah saw yang saat itu berada di dalam rumahnya.
Rasulullah pun keluar, membuka tirai rumahnya, dan memanggil Ka’b:
‘Wahai Ka’b.’ Ka’b menjawab: ‘Labbaik, wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw memberi isyarat dengan tangannya: ‘Berikanlah keringanan separuh dari utang itu.’ Ka’b menjawab: ‘Aku sudah melakukannya, wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw lalu bersabda: ‘Sekarang, tunaikan utangmu.’" (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan pentingnya sikap bijak dan rela berkorban dalam menyelesaikan sengketa utang-piutang. Shulhu yang direkomendasikan oleh Rasulullah saw menjadi solusi agar konflik tidak berlarut-larut dan menciptakan kerukunan di antara kedua belah pihak.
2. Shulhu dalam Kasus Kisas
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, disebutkan:
"Rubayyi’ binti Nadhar mematahkan gigi seorang gadis (dalam sebuah insiden). Korban dan keluarganya meminta diyat (tebusan), atau pelaksanaan kisas (hukuman setimpal), tetapi pihak pelaku menolak. Kemudian, mereka membawa kasus ini kepada Nabi saw. Beliau memutuskan bahwa kisas harus dilakukan.
Anas bin Nadhar berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah gigi Rubayyi’ akan dipatahkan? Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, giginya tidak akan dipatahkan.’ Rasulullah saw bersabda: ‘Kitabullah menetapkan kisas.’ Namun, keluarga korban akhirnya memaafkan pelaku, sehingga qisas tidak dilakukan.
Nabi saw bersabda: ‘Di antara hamba-hamba Allah, ada orang yang jika bersumpah kepada Allah, maka Allah akan mengabulkannya.’" (HR Al-Bukhari).
Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun kisas adalah hak korban, Islam tetap mendorong perdamaian dan pemaafan. Dengan adanya shulhu, sengketa dapat diselesaikan tanpa perlu tindakan yang lebih ekstrem.
Penyelesaian sengketa hukum perdata–demikian pula hukum pidana–dalam Islam menekankan prinsip keadilan, perdamaian, dan pengampunan. Hadits-hadits di atas menjadi bukti bahwa Rasulullah saw senantiasa memprioritaskan solusi yang mendamaikan kedua belah pihak tanpa melanggar prinsip syariat.
Implementasi shuluh tidak hanya menyelesaikan masalah secara efektif, tetapi juga mempererat hubungan antarindividu dalam masyarakat Muslim. Dalam kehidupan modern, prinsip-prinsip ini relevan untuk diterapkan dalam berbagai bentuk mediasi dan negosiasi, sehingga konflik dapat diatasi dengan damai dan berkeadilan. Wallahu a'lam.
Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah Batuan, Sumenep.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
6
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
Terkini
Lihat Semua