4 Ragam Penyelesaian Sengketa Hukum Perdata Perspektif Fiqih
Senin, 2 Desember 2024 | 14:30 WIB
Ahmad Maimun Nafis
Kolomnis
Dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, konflik dan perselisihan adalah hal yang tak terelakkan. Namun, Islam menawarkan solusi elegan melalui konsep shulhu atau penyelesaian sengketa hukum perdata secara damai.
Shulhu memiliki fleksibilitas luar biasa yang memungkinkan penerapannya dalam berbagai aspek kehidupan, seperti jual beli, sewa-menyewa, hibah, hingga penghapusan utang.
Bagaimana Islam menyelesaikan konflik tanpa merusak hubungan di antara manusia? Lantas, seperti praktik shulhu ini?
Shulhu adalah akad yang bertujuan menyelesaikan perselisihan atau mengatur hak-hak tertentu. Berikut adalah jenis-jenis shulhu dalam fiqih muamalah, dilengkapi dengan contoh kasusnya.
1. Shulhu sebagai Jual Beli
Jika shulhu dilakukan atas barang yang bukan objek sengketa ('ain ghairul mudda'ah), maka akad shulhu dianggap sebagai jual beli dengan lafal shulhu. Hukum-hukum jual beli berlaku padanya, seperti:
- Hak syuf'ah, yaitu pihak lain berhak mengklaim pembatalan jika barangnya dijual.
- Hak pembatalan karena cacat (ar-raddu bil 'aibi), yaitu pembeli boleh membatalkan akad sebab barang rusak.
- Larangan menggunakan barang sebelum diterima.
Contoh Kasus: Dua orang, A dan B, bersengketa terkait batas lahan yang mereka klaim sebagai milik masing-masing. A berkata, "Lahan ini seluruhnya milikku." Sementara B mengklaim bahwa sebagian dari lahan tersebut adalah miliknya.
Setelah bernegosiasi, dan terbukti A yang berhak atas lahan, mereka setuju melakukan akad shulhu. A menawarkan sebagian lahan di luar sengketa kepada B dengan imbalan uang sebesar 100 juta rupiah menggunakan lafal shulhu. Akhirnya, akad disepakati, dan lahan tersebut berpindah kepada B.
Imam An-Nawawi menjelaskan:
فَإِنْ جَرَى عَلَى عَيْنٍ غَيْرِ الْمُدَّعَاةِ فَهُوَ بَيْعٌ بِلَفْظِ الصُّلْحِ تَثْبُتُ فِيهِ أَحْكَامُهُ كَالشُّفْعَةِ وَالرَّدِّ بِالْعَيْبِ وَمَنْعِ تَصَرُّفِهِ قَبْلَ قَبْضِهِ وَاشْتِرَاطِ التَّقَابُضِ إِنِ اتَّفَقَا فِي عِلَّةِ الرِّبَا
Artinya, "Jika shulhu dilakukan atas barang yang bukan objek sengketa, maka akad ini dianggap sebagai jual beli dengan lafal shulhu, dan berlaku hukum-hukum jual beli, seperti hak syuf'ah, hak pembatalan karena cacat, larangan menggunakan barang sebelum diterima, serta kewajiban serah terima jika terdapat unsur riba." (Minhajut Thalibin, [Damaskus, Darul Fikr: 2005], halaman 125).
2. Shulhu sebagai Ijarah atau Akad Sewa
Jika shulhu dilakukan untuk mendapatkan sutau manfaat, maka akad ini dianggap akad ijarah. Hukum-hukum ijarah berlaku, seperti kewajiban membayar sesuai kesepakatan.
Contoh Kasus: Dua orang teman, A, bersengketa dengan B terkait klaim kepemilikan rumah. B mengklaim bahwa ia berhak atas rumah itu, sementara A bersikeras bahwa rumah itu adalah miliknya.
Setelah proses diskusi, terbukti bahwa A adalah pemilik sah rumah dan keduanya sepakat untuk melakukan akad shulhu. A menawarkan rumah itu untuk digunakan B selama dua tahun dengan pembayaran 30 juta rupiah, tetapi menggunakan lafal shulhu.
Setelah akad disepakati, B mendapatkan hak untuk menggunakan rumah tersebut selama masa sewa. Dengan ini, akad dianggap sebagai ijarah, dan berlaku hukum-hukum ijarah padanya.
Imam An-Nawawi menyatakan:
أَوْ عَلَى مَنْفَعَةٍ فَإِجَارَةٌ تَثْبُتُ أَحْكَامُهَا
Artinya, "Atau jika shulhu dilakukan atas manfaat, maka akad ini dianggap sebagai ijarah, dan berlaku hukum-hukum ijarah."(An-Nawawi, 125).
3. Shulhu sebagai Hibah
Jika shulhu dilakukan atas sebagian objek sengketa (ba'dhul 'ainil mudda'ah), maka akad ini dianggap sebagai hibah sebagian objek sengketa kepada pihak yang menguasai barang secara nyata. Dalam hal ini, berlaku hukum-hukum hibah.
Contoh Kasus: Dua orang saudara, A dan B, bersengketa atas tanah warisan dari orang tua mereka. A mengklaim bahwa seluruh tanah adalah miliknya, sedangkan B yang secara faktual menguasai tanah tersebut mengklaim bahwa sebagian dari tanah itu adalah bagiannya.
Setelah bernegosiasi, terbukti bahwa lahan itu adalah milik A. Akhirnya, A berkata kepada B, "Aku akan memberikan separuh tanah ini kepadamu sebagai jalan tengah agar tidak ada lagi perselisihan." Dengan akad ini, separuh tanah diberikan kepada B, dan akad ini dianggap sebagai hibah.
أَوْ عَلَى بَعْضِ الْعَيْنِ الْمُدَّعَاةِ فَهِبَةٌ لِبَعْضِهَا لِصَاحِبِ الْيَدِ فَتَثْبُتُ أَحْكَامُهَا وَلَا يَصِحُّ بِلَفْظِ الْبَيْعِ وَالْأَصَحُّ صِحَّتُهُ بِلَفْظِ الصُّلْحِ
Artinya, "Jika shulhu dilakukan atas sebagian objek sengketa, maka akad ini dianggap sebagai hibah sebagian aset kepada pihak yang menguasai barang tersebut, dan berlaku hukum-hukum hibah. Tidak sah dilakukan dengan lafal jual beli dan menurut pendapat yang lebih shahih dapat dilaukan menggunakan lafal shulhu." (An-Nawawi, 125).
4. Shulhu atas Sebagian Utang
Jika shulhu dilakukan untuk membebaskan sebagian utang, maka akad ini dianggap sebagai penghapusan sebagian hutang atau ibra'. Hal ini sah dengan lafal penghapusan utang atau lafal shulhu.
Contoh Kasus: Seorang debitur, A, memiliki utang 10 juta rupiah kepada kreditur, B. Karena A mengalami kesulitan finansial, ia mengajukan penyelesaian dengan akad shulhu kepada B. A berkata, "Bisakah aku melunasi 6 juta rupiaj saja, dan sisanya dianggap selesai?"
B setuju dan berkata, "Baik, aku membebaskanmu dari 4 juta rupiah sisanya." Dengan akad ini, utang sebesar 4 juta rupiah dihapus, dan sisanya dibayar. Akad ini dianggap sebagai penghapusan utang melalui shulhu.
وَإِنْ صَالَحَ مِنْ دَيْنٍ عَلَى بَعْضِهِ فَهُوَ إِبْرَاءٌ عَنْ بَاقِيهِ وَيَصِحُّ بِلَفْظِ الْإِبْرَاءِ وَالْحَطِّ وَنَحْوِهِمَا وَبِلَفْظِ الصُّلْحِ فِي الْأَصَحِّ
Artinya, "Jika shulhu dilakukan atas sebagian utang, maka hal itu dianggap sebagai penghapusan terhadap sisa utang. Hal ini sah dengan menggunakan lafal penghapusan, pengurangan, atau semisalnya. Juga sah dengan lafal shulhu menurut pendapat yang lebih shahih." (An-Nawawi, 125).
Shulhu sebagai Solusi Sengketa Perdata
Shulhu adalah jalan keluar yang menghadirkan solusi untuk berbagai konflik. Mulai dari jual-beli, sewa-menyewa, hibah, hingga penghapusan utang. Setiap jenis shulhu mencerminkan fleksibilitas dan keadilan syariat dalam merespons dinamika kehidupan. Dengan memahami penerapannya, kita tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menjaga harmoni dan menjunjung nilai-nilai kebersamaan. Wallahu a'lam.
Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah Batuan, Sumenep.
Terpopuler
1
Ketum PBNU: NU Berdiri untuk Bangun Peradaban melalui Pendidikan dan Keluarga
2
Harlah Ke-102, PBNU Luncurkan Logo Kongres Pendidikan NU, Unduh di Sini
3
Badan Gizi Butuh Tambahan 100 Triliun untuk 82,9 Juta Penerima MBG
4
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
5
LP Ma'arif NU Gelar Workshop Jelang Kongres Pendidikan NU 2025
6
Banjir Bandang Melanda Cirebon, Rendam Ratusan Rumah dan Menghanyutkan Mobil
Terkini
Lihat Semua