Ilmu Tauhid

Allah Bukanlah ‘Jism’ (II)

Jum, 16 Agustus 2019 | 01:00 WIB

Dari kalangan ulama Salaf, Imam Ahmad secara tegas menyatakan bahwa Allah bukan jism seperti dikutip pada bagian sebelumnya. Demikian juga dengan para imam lainnya, di antaranya:

 

Imam Abu Hanifah, ia berkata:

 

وصفاته كلها بخلاف صفات المخلوقين ... وهو شيء لا كالأشياء ومعنى الشيء إثباته تعالى بلا جسم ولا جوهر ولا عرض ولا حد له ولا ند له ولا مثل له.

 

“Sifat-sifat Allah seluruhnya berbeda dengan sifat-sifat makhluk. ... Allah adalah sesuatu yang berbeda dengan segala sesuatu yang lain. Makna sesuatu yang berbeda ini adalah menetapkan Allah Ta’ala tidak berupa jism, unsur pembentuk jism (jauhar), sifat-sifat jism (‘aradl), tak punya batasan fisikal, tak punya saingan, tak punya sesuatu yang menyerupainya.” (Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, hlm. 2)

 

Imam Syafi’i sebagaimana dinukil oleh Imam as-Suyuthi menyatakan:

 

لَا يُكَفَّرُ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ وَاسْتُثْنِيَ مِنْ ذَلِكَ: الْمُجَسِّمُ، وَمُنْكِرُ عِلْمِ الْجُزْئِيَّاتِ

 

“Tidak boleh ada seorang pun ahli kiblat yang dikafirkan kecuali kaum mujassimah (kaum yang menyatakan Allah adalah jism) dan orang-orang yang mengingkari ilmu Allah atas detail-detail kejadian.” (as-Suyuthi, al-Asybah wan-Nadha’ir, hlm. 488)

 

Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami secara ringkas mengutip aqidah keempat imam mazhab dalam hal ini sebagai berikut:

 

واعلم أن القرافي وغيره حكوا عى الشافعي ومالك وأحمد وأبي حنيفة القول بكفر القائلين بالجهة والتجسيم وهم حقيقون بذلك

 

“Dan ketahuilah bahwa Imam al-Qarafi menukil dari Imam Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah pernyataan tentang kafirnya orang-orang yang berkata bahwa Allah ada dalam arah tertentu dan berupa jism. Dan, mereka serius dengan itu.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhâj al-Qawîm Syarh al-Muqaddimah al-Hadramiyah, hlm. 144)

 

 

Sebagian ulama salaf memang ada yang tidak memakai kata “jism” dalam menerangkan aqidah, tetapi memakai redaksi lain yang menunjukkan ciri khas jism dan ini sama saja. Misalnya Imam Abu Bakar al-Isma’ili yang hidup di abad ke-IV hijriyah menegaskan aqidah para imam ahli hadis dalam kitabnya yang berjudul I’tiqâd A’immat al-Hadîts (Aqidah para imam hadits) sebagai berikut:

 

ولا يعتقد فيه الأعضاء، والجوارح، ولا الطول والعرض، والغلظ، والدقة، ونحو هذا مما يكون مثله في الخلق، وأنه ليس كمثله شيء تبارك وجه ربنا ذو الجلال والإكرام.

 

“Tak boleh diyakini bahwa Dzat Allah berupa organ kepala dan badan (a’dlâ) dan organ tangan dan kaki (jawârih), tidak juga [sesuatu yang punya] panjang, lebar, tebal, tipis dan apa pun yang ada pada diri makhluk. Dan, [harus diyakini] bahwa sesungguhnya tidak ada satu pun yang serupa dengan Allah. Maha Suci Tuhan kita yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.” (Abu Bakar al-Isma’ili, I’tiqâd A’immat al-Hadîts, hlm. 51-52).

 

Meskipun status kafir tidaknya para Mujassimah (orang yang meyakini Allah adalah jism) sebenarnya masih diperdebatkan, namun setidaknya kita tahu bahwa ada banyak ulama yang dengan tegas menyatakan Allah bukan jism, baik dari kalangan salaf (generasi awal) maupun khalaf (generasi belakangan), dan itu tercatat dalam berbagai kitab. Dengan ini klaim sebagian orang yang berkata bahwa istilah jism tidak dikenal dan tak digunakan oleh para ulama salaf terbantahkan.

 

Selain karena jism seluruhnya sama, setara dan punya keserupaan satu sama lain, alasan ulama mengatakan Allah bukan jism adalah seperti diutarakan Syaikh Mulla Ali al-Qari al-Hanafi, seorang pakar hadis terkemuka, berikut ini:

 

لأن الجسم متركب ومتحيز وذلك أمارة الحدوث

 

“karena jism adalah sesuatu yang tersusun dan punya batasan fisik, dan itu adalah tanda-tanda kebaruan (ada yang merancangnya menjadi demikian).” (Mulla Ali al-Qari, Syarh Fiqh al-Akbar, hlm. 65)

 

Secara lebih detail, Imam Ibnu Jarir at-Thabari, Sang Imam para ahli tafsir, menjelaskan alasan ini sebagai berikut:

 

فمن الدلالة على ذلك أنه لا شيء في العالم مشاهد إلا جسم أو قائم بجسم وأنه لا جسم إلا مفترق أو مجتمع ... وأنه إذا اجتمع الجزآن منه بعد الإفتراق فمعلوم أن اجتماعهما حادث بعد أن لم يكن ... وكان ما لم يخل من الحدث لا شك أنه محدث بتأليف مؤلف له إن كان مجتمعا وتفريق مفرق له إن كان مفترقا وكان معلوما بذلك أن جامع ذلك إن كان مجتمعا ومفرقه إن كان مفترقا من لا يشبهه ومن لا يجوز عليه الاجتماع والإفتراق وهو الواحد القادر الجامع بين المختلفات الذي لا يشبهه شيء وهو على كل شيء قدير

 

“Maka sebagian dari petunjuk bahwa Allah qadîm (tak berawal) adalah tak ada sesuatu pun di alam yang teramati kecuali berupa jism atau hal yang melekat pada jism, dan bahwasanya setiap jism ada kalanya terpisah dan adakalanya tersusun ... Dan, sesungguhnya bila kedua bagian itu tersusun setelah sebelumnya terpisah, maka diketahui bahwa susunan itu adalah sesuatu yang baru setelah sebelumnya tak ada ... Dan, sesuatu yang tak terlepas dari kebaruan tak diragukan bahwa sesuatu itu diciptakan dengan penyusunan oleh oknum penyusunnya bila jism itu tersusun, dan diciptakan oleh oknum yang memisahkannya bila jism itu terpisah. Dari situ diketahui bawa yang menyusun atau memisahkannya adalah oknum yang tak sama dengan jism dan tak tersusun atau terpisah. Dialah yang Maha Esa, yang Maha Kuasa yang mengumpulkan aneka elemen yang berbeda, yang tak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Dan, Ia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.” (at-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, vol. I, hlm. 28)

 

Implikasi praktis dari aqidah bahwa Dzat Allah bukan jism ini sederhana, yakni: seluruh sifat Allah tanpa terkecuali janganlah dipahami seperti sifat jism. Ketika Allah menyatakan Ia Maha Mendengar, maka pendengarannya bukan dalam arti mendengarnya jism yang memakai alat pendengaran untuk menangkap gelombang suara; Ketika Allah menyatakan Maha Melihat, maka penglihatannya bukan dalam arti melihatnya jism yang butuh alat penglihatan untuk menangkap citra melalui pantulan cahaya; Ketika Allah menyatakan diri-Nya nuzûl (turun), maka maknanya bukan turunnya jism yang berarti pergerakan dari lokasi atas ke lokasi bawah; Ketika Allah menyatakan punya yadun (tangan), maka maknanya bukan tangannya jism yang berarti organ tubuh, dan demikian seterusnya. Sifatnya sendiri ditetapkan keberadaannya sebagaimana ada dalam al-Qur’an dan hadis, tetapi makna jismiyahnya dibuang sebab tak mungkin Allah berupa jism.

 

Secara ringkas, Imam al-Hafidz al-Baihaqi al-Asy’ary menegaskan aqidah ulama salaf Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut seperti berikut:

 

وَفِي الْجُمْلَةِ يَجِبُ أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ اسْتِوَاءَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَيْسَ بِاسْتِوَاءِ اعْتِدَالٍ عَنِ اعْوِجَاجٍ وَلَا اسْتِقْرَارٍ فِي مَكَانٍ، وَلَا مُمَّاسَّةٍ لِشَيْءٍ مِنْ خَلْقِهِ، لَكِنَّهُ مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا أَخْبَرَ بِلَا كَيْفٍ بِلَا أَيْنَ، بَائِنٌ مِنْ جَمِيعِ خَلْقِهِ، وَأَنَّ إِتْيَانَهُ لَيْسَ بِإِتْيَانٍ مِنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ، وَأَنَّ مَجِيئَهُ لَيْسَ بِحَرَكَةٍ، وَأَنَّ نُزُولَهُ لَيْسَ بِنَقْلَةٍ، وَأَنَّ نَفْسَهُ لَيْسَ بِجِسْمٍ، وَأَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِصُورَةٍ، وَأَنَّ يَدَهُ لَيْسَتْ بجَارِحَةٍ، وَأَنَّ عَيْنَهُ لَيْسَتْ بِحَدَقَةٍ، وَإِنَّمَا هَذِهِ أَوْصَافٌ جَاءَ بِهَا التَّوْقِيفُ، فَقُلْنَا بِهَا وَنَفَيْنَا عَنْهَا التَّكْيِيفَ

 

“Secara global harus diketahui bahwa istiwa-nya Allah swt. bukanlah istiwa yang bermakna lurus dari bengkok ataupun bermakna menetap di suatu tempat. Juga bukan bermakna menyentuh satu dari sekian makhluk-Nya. Akan tetapi Allah istiwa atas Arasy seperti yang Allah beritakan tanpa ada tata cara dan tanpa ada pertanyaan “di mana”, dan Ia terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Dan bahwasanya sifat ityân (kedatangan) Allah bukan datang dalam arti perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain; sifat majî' (kehadiran) Allah bukan suatu gerakan; sifat nuzûl (turun) bukan suatu perpindahan; sifat nafs (diri) bukan suatu jism, sifat wajh (wajah) bukan sebuah bentuk fisik; dan bahwa yad (tangan)-Nya bukan sebuah organ bertindak; 'ain (mata)-Nya bukan sebuah organ penglihatan; tetapi Ini semua adalah sifat yang disebutkan oleh Nabi Muhammad tanpa bisa dipertanyakan (tawqîf), maka kami menetapkan keberadaannya dan meniadakan tata cara atau makna leksikal (kaifiyah) darinya”. (al-Baihaqi, al-I’tiqâd, hlm. 117).

 

Setiap jism pasti ada yang merancang, karena itu maka tak layak dipertuhankan. Kesalahan banyak manusia dalam memilih Tuhan adalah karena mereka mempertuhankan jism: berupa berhala, api, pohon, matahari, bintang-bintang, dan sebagainya. Jism hanya layak dijadikan objek penelitian untuk pengembangan pengetahuan bukan untuk disembah, meski jism itu hebat dan dahsyat sekali pun.

 

Namun karena manusia hanya mampu membayangkan jism, maka otomatis Dzat Allah sama sekali tak bisa terbayangkan dan tak bisa diketahui apa dan bagaimananya. Dari sini kemudian para ulama memunculkan kaidah: “Setiap apa yang terbayang di benakmu, maka Allah berbeda dari itu.” Wallahu a'lam.

 

 

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur.