Ilmu Tauhid

Sifat Mukhalafatu lil Hawadits, Kajian Distingsi dan Keunikan Tuhan

Sel, 22 Agustus 2023 | 22:00 WIB

Sifat Mukhalafatu lil Hawadits, Kajian Distingsi dan Keunikan Tuhan

Ilustrasi lafadh Allah. (Foto: NU Online).

Ulama tauhid membahas sifat al-mukhalafatu atau mukhalafatu lil hawaditsi yang menjelaskan perbedaan Allah swt dari makhluk-Nya. Ulama tauhid membahas sifat mukhalafatu lil hawaditsi untuk menerangkan kesucian dan keistimewaan Allah dari segala kekurangan yang ada pada makhluk-Nya.

 

Melalui sifat mukhalafatu lil hawaditsi, ulama mengajak umat manusia untuk menyucikan Allah dari kekeliruan bayangan dan pikiran manusia tentang-Nya. Dari sifat ini, ulama mengajarkan bahwa Allah memiliki “kualitas” zat, sifat, dan perbuatan yang berbeda dari makhluk-Nya.

 

المخالفة للحوادث أي المخلوقات أي لا يماثله شيء من المخلوقات لا في ذاته ولا في صفاته ولا في أفعاله

 

Artinya, “Sifat Al-Mukhalafatu lil hawaditsi atau sifat perbedaan Allah dengan yang baru, maksudnya makhluk-Nya, yaitu Allah tidak sama/identik dengan apapun dari makhluk-Nya, baik pada segi zat, sifat, maupun perbuatan-Nya,” (Syekh Ahmad An-Nahrawi, Ad-Durrul Farid pada hamisy Fathul Majid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 13).

 

Sifat mukhalafatu lil hawaditsi menegasikan bayangan dan imajinasi kita tentang “bentuk” Allah. Barangkali kita sebagai manusia pernah membayangkan “rupa” Allah. Sifat mukhalafatu lil hawaditsi menjelaskan bahwa Allah teramat suci dari bayangan kita tentang-Nya.

 

المخالفة للحوادث عبارة عن نفي المماثلة في الذات والصفات والأفعال

 

Artinya, “Sifat mukhalafatu lil hawaditsi merupakan sebuah ungkapan yang merujuk pada penegasian kesamaan/identik (antara Allah dan makhluk-Nya) pada zat, sifat, dan perbuatan” (Syekh Muhammad bin Manshur Al-Hud-hudi, Syarah Al-Hud-hudi, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 52).

 

Syekh Muhammad Fudhali secara konkret menjelaskan bahwa Allah swt berbeda dengan jenis manusia, jin, malaikat, atau jenis makhluk lainnya. Allah swt tidak memiliki sifat seperti mereka. Allah swt juga suci dari organ tubuh seperti yang dimiliki makhluk-Nya.

 

فالله تعالى مخالف لكل مخلوق من إنس وجنّ وملك وغيرها فلا يصح اتصافه تعالى بأوصاف الحوادث من مشي وقعود وجوارح فهو تعالى منزه عن الجوارح من فم وعين وأذن وغيرها فكل ما خطر ببالك من طول وعرض وقصر وسمن فالله تعالى بخلافه  نتزه الله تعالى عن جميع أوصاف الخلق

 

Artinya, “Allah swt berbeda terhadap setiap makhluk-Nya baik itu manusia, jin, malaikat, dan makhluk-Nya yang lain sehinga tidak sahih/valid anggapan bahwa Allah swt bersifat dengan sifat makhluk-Nya seperti berjalan dan duduk; dan tidak sahih/valid anggapan bahwa Allah swt beranggota badan. Allah suci dari organ tubuh, yaitu mulut, mata, telinga, dan organ lainnya. Apa yang terlintas di benakmu, yaitu tinggi, lebar, pendek, gemuk, maka Allah swt berbeda dari itu semua. Allah maha suci dari segala sifat makhluk,” (Syekh Muhammad Fudhali, Kifayatul Awam, [Surabaya, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladuh], halaman 36).

 

Secara umum, ulama melalui sifat mukhalafatu lil hawaditsi menyarankan agar tidak mengikuti, mengafirmasi, atau membenarkan apa saja yang terbesit di benak dan pikiran kita tentang tuhan. Syekh Nawawi Banten menjelaskan bahwa Allah swt tidak bertempat sebagaimana tidak masuk dalam waktu. Dengan demikian, Allah tidak berada baik di dalam maupun di luar dunia. Allah “berada” di luar tempat karena zat-Nya berbeda sama sekali dengan zat makhluk-Nya yang memerlukan tempat dan waktu. 

 

المخالفة للحوادث هو عدم مماثلة شيء من الحوادث له سبحانه وتعالى فليس لحما ولا عظما ولا طويلا ولا قصيرا ولا متوسطا فهو تعالى ذات ليس فيها شيء من صفات الحوادث. وكل ما خطر ببالك من صفات الحوادث لا تصدق ان في الله شيأ من ذلك، وليس له مكان أصلا فليس داخلا في الدنيا ولا خارجا عنها، قال الله تعالى وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ وقال الله تعالى لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

 

Artinya, “Al-mukhalafatu lil hawaditsi adalah ketidaksamaan sesuatu makhluk-Nya dan Allah swt. Allah swt tidak berdaging, bertulang, tinggi, pendek, dan juga tidak medium. Allah adalah zat yang tidak melekat pada-Nya sifat makhluk. Apa yang terbesit dalam benakmu, yaitu pelekatan sifat makhluk pada Allah, jangan kau benarkan bahwa pada Allah melekat salah satu sifat makhluk yang demikian itu. Allah tidak bertempat sama sekali, tidak di dalam dunia, dan tidak juga di luar dunia. Allah berfirman, ‘Tidak ada bagi-Nya satupun yang menyamai,’ dan ‘Tiada apapun yang sama seperti-Nya,’” (Syekh Nawawi Banten, Syarah Nurudh Dhalam, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 7-8).

 

Syekh Al-Baijuri mengajarkan kepada kita ketika digoda untuk berdiskusi lebih lanjut perihal zat tuhan. Menurutnya, setan akan menggiring manusia dengan halusinasinya sampai pada pertanyaan atau simpulan yang menyesatkan, seperti “Kalau Allah tidak berwujud ‘fisik’, lalu jenis apa?” atau “Kalau Allah tidak berwaktu dan bertempat, lalu di manakah Allah?” dan pertanyaan serupa.

 

Syekh Al-Baijuri mengingatkan kita yang telah sampai pada pertanyaan seperti ini untuk kembali ke pernyataan paling dasar sekali bahwa tidak ada yang mengetahui hakikat Allah kecuali diri-Nya sendiri. Pernyataan ini sudah cukup sebagai jawaban mematikan atas pertanyaan setan, “Apakah hakikat Allah sebenarnya jika tidak bertempat, berwaktu, berwujud fisik sebagaimana makhluk-Nya?”

 

فإذا ألقي الشيطان في ذهنك أنه إذا لم يكن المولى جرما ولا عرضا ولا كلا ولا جزأ فما حقيقته فقل في رد ذلك لا يعلم الله إلا الله لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

 

Artinya, “Jika setan melemparkan pertanyaan di pikiranmu, ‘Jika Allah bukan jirim, bukan aradh, bukan universal, atau bukan partikular, lalu apa hakikat-Nya?’ maka jawablah untuk membantah pertanyaan konyolnya, ‘Tidak ada yang mengetahui hakikat Allah kecuali Allah itu sendiri. Tiada apapun yang sama dengan-Nya. Dialah yang maha mendengar dan maha melihat,’” (Syekh Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 34) dan (Al-Baijuri, Tahqiqul Maqam ala Kifayatil Awam, [Surabaya, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladuh], halaman 36).

 

Adapun Syekh Muhammad bin Yusuf As-Sanusi dalam Syarah Ummul Barahin menjelaskan kandungan ayat yang sering dikutip ketika menjelaskan sifat mukhalafatu lil hawaditsi. Menurut As-Sanusi, ayat laysa ka mitslihī syay’un, wa huwas samī’ul bashīr mengandung penyucian Allah dari fisik/organ tubuh seperti aqidah kelompok mujassimah dan mengandung afirmasi atas sifat Allah swt yang dinafikan oleh kelompok mu’aththilah.

 

قال الله تعالى لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ فأول هذه الآية تنزيه وآخرها إثبات فصدرها يرد على المجسمة وأضرابهم وعجزها يرد على المعطلة النافين لجميع الصفات

 

Artinya, “Allah swt berfirman, ‘Tiada apapun yang sama dengan-Nya. Dialah yang maha mendengar dan maha melihat.’ Awal ayat ini berisi penegasian, tetapi akhirnya afirmasi. Awal ayat ini menolak pandangan kelompok mujassimah (yang beranggapan Allah berwujud fisik) dan sekte sejenis mereka. Sementara akhir ayat ini menolak pandangan kelompok mu’aththilah yang menafikan seluruh sifat Allah,” (Syekh Muhammad bin Yusuf As-Sanusi, Syarah Ummul Barahin, [Semarang, Maktabah Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 83-84).

 

Lalu bagaimana dengan aqidah kaum salaf yang terkesan sepintas seperti lebih dekat pada kelompok mujassimah?

 

Ulama tauhid menyebut metode pemahaman kaum salaf sebagai ta’wil ijmali. Ketika dalam Al-Quran atau hadits tersebut ada kata yang bertentangan pada aqidah (mukhalafatu lil hawaditsi), maka kata tersebut harus dita’wil dari makna harfiahnya. Hanya saja ulama salaf melakukan ta’wil ijmali tanpa menentukan makna ta’wilnya karena mereka menyerahkan (tafwidh) makna persisnya kepada Allah swt. Sedangkan ulama khalaf melakukan ta’wil tafshili yang menjelaskan makna yang dimaksud, seperti makna kekuasaan Allah yang dita’wil dari dari organ tubuh yang tersebut dalam Al-Qur’an atau hadits. (Al-Baijuri pada Tahqiqul Maqam: 36).

 

Argumentasi ulama atas sifat mukhalafatu lil hawaditsi dibangun atas dasar premis bahwa seandainya makhluk itu sama dengan Allah. Dengan kata lain, kalau Allah diandaikan memiliki sifat makhluk yang baru/hadits (silakan baca artikel tentang sifat qidam) sebagaimana makhluk memilikinya, niscaya Allah juga baru/hadits/makhluk. Kalau Allah baru, niscaya dia berhajat pada pencipta. Sedangkan pencipta-Nya berhajat pada pencipta yang menciptakannya, terus menerus tanpa ujung. Semuanya itu mustahil. Dengan demikian, tetaplah konklusi bahwa Allah bersifat mukhalafatu lil hawaditsi, berbeda dari makhluk-Nya baik pada zat, sifat, maupun perbuatan. (Fudhali, Kifayatul Awam: 36-37). Wallahu a‘lam.

 

Ustadz Alhafiz Kurniawan, Wakil Sekretaris LBM PBNU.