Nikah/Keluarga

Kapan Perempuan Tidak Boleh Menerima Lamaran?

Kamis, 11 Mei 2023 | 12:00 WIB

Kapan Perempuan Tidak Boleh Menerima Lamaran?

Ilustrasi: menikah - kawin (freepik).

Syariat menetapkan, semua perempuan yang boleh dinikahi, maka boleh dilamar. Sebaliknya, perempuan yang tidak boleh dinikahi, tidak boleh dilamar. Hanya saja ketidakbolehan atau larangan itu ada yang bersifat sementara dan ada yang bersifat permanen.   

 

Larangan yang bersifat permanen disebabkan oleh hubungan mahram muabbad, seperti seorang laki-laki dengan saudara perempuannya. Sedangkan larangan melamar sementara antara lain disebabkan hubungan mahram muaqqat, seperti adik ipar dan perempuan yang berstatus istri orang lain. 

 

Hikmah di balik larangan melamar atau menikahi perempuan yang berstatus mahram, baik muabbad maupun muaqqat, begitu juga larangan melamar perempuan yang masih dalam masa iddah atau perempuan yang sudah dilamar orang lain, antara lain karena berpotensi timbulnya kekacauan garis keturunan, perselisihan, dan konflik sosial lainnya. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid IX, halaman 6497). 

 

Di antara larangan melamar sementara adalah melamar perempuan yang sedang menjalani masa iddah dari suami sebelumnya. Para ulama sepakat melarang khitbah dengan ungkapan sharih (jelas) kepada perempuan yang sedang menjalani masa iddah, baik iddah wafat, iddah talak raj‘i, maupun iddah talak bain, berdasarkan firman Allah: 

 

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ  

 

Artinya, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut,” (QS Al-Baqarah: 234). 

 

Maksud ungkapan sharih adalah ungkapan jelas dan terang-terangan menyatakan keinginan menikah, seperti “Aku ingin menikahimu,” atau, “Jika masa iddahmu habis, aku ingin menikahimu,” atau, “Aku melamarmu untuk dinikah.” 

 

Di antara alasan di balik larangan atau pengharaman melamar perempuan beriddah dengan ungkapan sharih adalah adanya kemungkinan si perempuan berbohong tentang berakhirnya masa iddah, di samping adanya pelanggaran hak dari laki-laki yang menalaknya. Sedangkan melanggar hak orang lain dilarang dalam syariat.     

 

Adapun melamar dengan ungkapan sindiran atau penawaran bergantung kepada keadaan perempuan yang dilamarnya.
 

Pertama, jika perempuan yang dilamar adalah perempuan beriddah dari cerai wafat dan iddah dari talak tiga (bain kubra), maka hukumnya boleh, hanya saja tidak boleh mengadakan perjanjian nikah, berdasarkan kesepakatan ulama yang digali dari ayat berikut.  

 

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا

 

Artinya, “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang ditinggal wafat) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf,” (QS Al-Baqarah: 235). 

 

Maksud ungkapan kinayah adalah sindiran atau ungkapan tidak langsung namun menyimpan tujuan tertentu. Contohnya ungkapan pujian, “Kamu cantik sekali,” atau “Banyak sekali yang menyukaimu,” atau “Mudah-mudahan Allah memudahkanku mendapatkan istri yang saleha.” Dan sebagainya. 

 

Semakna dengan ungkapan sindiran adalah perbuatan tertentu, seperti pemberian hadiah atau bingkisan. 

 

Sebagaimana dimaklumi, perempuan yang menjalani iddah wafat pernikahannya berakhir dengan wafat suaminya. Sehingga tidak ada hak mantan suami yang dilanggar dan tidak peluang bahaya apa pun darinya.  

 

Kedua, jika perempuan yang dilamar sedang menjalani masa iddah raj’i, maka ulama sepakat mengharamkannya. Sebab, selama masa iddah, mantan suami menceraikan masih memiliki hak untuk merujuknya. Sehingga jika lamaran dipaksakan, ada pelanggaran terhadap haknya walaupun dilamar dengan bahasa sindiran. Demikian sebagaimana yang diungkap oleh An-Nawawi.  

 

ثُمَّ الْمَرْأَةُ إِنْ كَانَتْ خَلِيَّةً عَنِ النِّكَاحِ وَالْعِدَّةَ، جَازَتْ خِطْبَتُهَا تَعْرِيضًا وَتَصْرِيحًا، وَإِنْ كَانَ مُعْتَدَّةً، حَرُمَ التَّصْرِيحُ بِخِطْبَتِهَا مُطْلَقًا. وَأَمَّا التَّعْرِيضُ، فَيَحْرُمُ فِي عِدَّةِ الرَّجْعِيَّةِ، وَلَا يَحْرُمُ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ

 

Artinya, “Kemudian, jika seorang perempuan terbebas dari pernikahan dan iddah, maka ia boleh dilamar, baik dengan ungkapan sindiran maupun dengan ungkapan sharih (terang-terangan). Sementara jika si perempuan sedang menjalani masa iddah, maka secara mutlak haram melamarnya dengan ungkapan sharih. Begitu pula melamarnya dengan sindiran. Walaupun dalam masa iddah raj‘i, ia tetap haram. Sedangkan jika ia dalam masa iddah wafat, dilamar dengan ungkapan sindiran tidaklah haram.” (An-Nawawi, Raudhatut Thalibib, jilid VII, halaman 30).  

 

Termasuk larangan sementara adalah melamar seorang perempuan yang sudah dilamar laki-laki lain. Bahkan, ulama sepakat mengharamkannya jika lamaran dari laki-laki pertama jelas diterimanya kecuali diizinkan oleh pelamar pertama tersebut atau ia meninggalkannya tanpa alasan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. 

 

لَا يَبِعْ أَحَدُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ 

 

Artinya, ”Janganlah seseorang dari kalian menjual sesuatu yang telah dijual saudaranya. Dan janganlah seseorang melamar seorang perempuan yang telah dilamar saudaranya kecuali saudaranya itu mengizinkan,” (HR Ahmad). 

 

Tindakan tersebut diharamkan karena akan menyakiti pelamar pertama, mewarisi permusuhan, dan menanam benih kedengkian dalam hati.  

 

Berbeda halnya dengan lamaran pertama yang tidak diterima oleh si perempuan. Jumhur ulama sepakat membolehkan lamaran kedua. Hal ini berdasarkan riwayat Muslim dari Fathimah binti Qais yang menunjukkan kebolehan lamaran kedua selama lamaran pertama belum ada yang diterima, atau ketidaktahuan si pelamar bahwa sebelumnya si perempuan sudah ada yang melamar. 

 

Kendati demikian, siapa pun harus menyadari bahwa etika Islam mengajarkan agar umatnya menjauhi segala syubuhat atau keragu-raguan, menempuh jalan musyawarah, mencari kemaslahatan, demi menjaga hubungan baik antara sesama manusia, terlebih dengan sesama muslim, jauh dari perselisihan, dan terbebas dari kedengkian. 

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:  

  1. Syariat menetapkan haram menikahi atau melamar perempuan yang berstatus mahram muabbad
  2. Syariat juga menetapkan haram menikahi atau melamar perempuan bersuami atau perempuan yang masih dalam masa iddah talak raj’i
  3. Keharaman menikahi dan melamar perempuan beriddah raj’i bersifat sementara hingga masa iddahnya habis. 
  4. Semua perempuan yang sedang menjalani masa iddah, baik iddah wafat, iddah raj’i, maupun iddah bain, haram dilamar dengan ungkapan sharih atau ungkapan terang-terangan.  
  5. Perempuan beriddah talak raj’i haram dilamar, baik dengan ungkapan sharih maupun dengan ungkapan kinayah.  
  6. Sementara perempuan yang ditinggal wafat dan perempuan dalam iddah talak bain kubra tidak haram diajak menikah atau dilamar dengan ungkapan kinayah.  
  7. Termasuk yang haram dilakukan adalah melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain. Dikecualikan lamaran serbelumnya tidak diterima atau diizinkan pelamar pertama.   
  8. Hikmah di balik larangan menikah atau melamar perempuan mahram muabbad, perempuan bersuami, atau perempuan dalam masa iddah antara lain berpotensi timbulnya kekacauan garis keturunan, perselisihan, dan konflik sosial. Wallahu a’lam.
     
 

Ustadz M Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.