Uzur Tidak Hadir di Resepsi Pernikahan dalam Perspektif Fiqih
NU Online · Ahad, 15 Juni 2025 | 10:00 WIB
Bushiri
Kolomnis
Resepsi pernikahan merupakan salah satu tradisi Islam yang dianjurkan untuk dilaksanakan. Acara ini menjadi wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas terlaksananya pernikahan yang sah antara sepasang suami istri. Melalui resepsi pernikahan, kebahagiaan dibagikan kepada keluarga, kerabat, dan masyarakat sekitar, sekaligus memperkuat tali silaturahmi.
Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk mengadakan resepsi pernikahan, meskipun dengan hidangan sederhana. Beliau bersabda:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Artinya, “Adakanlah resepsi pernikahan, meskipun hanya dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak hanya menganjurkan untuk mengadakan resepsi pernikahan, Rasulullah saw juga mengajarkan pentingnya menghargai dan memenuhi undangan pernikahan. Dalam sebuah hadits lain, beliau bersabda:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
Artinya, “Apabila salah seorang dari kalian diundang ke resepsi pernikahan, maka hendaklah ia datang.” (HR. Muslim)
Dari sini, para ulama menyimpulkan bahwa menghadiri undangan resepsi pernikahan merupakan kewajiban bagi muslim yang tidak memiliki uzur. Syekh Zakariya al-Anshari menyatakan:
والإجابة لعرس فرض عين ولغيره سنة
Artinya: "Menghadiri undangan resepsi pernikahan pernikahan adalah fardu ‘ain, sedangkan menghadiri undangan resepsi pernikahan yang lain adalah sunah." (Syekh Zakaria al-Anshari, Fathul Wahab, [Beirut, Darul Fikr: 1994] jilid II, halaman 73)
Namun demikian, Islam sebagai agama yang sempurna, senantiasa memberikan ruang keringanan dalam melaksanakan perintah, terutama ketika seseorang memiliki alasan yang dibenarkan secara syariat.
Uzur yang Diperbolehkan untuk Tidak Menghadiri Resepsi Pernikahan
Imam Al-Bajuri dalam Hasyiyah Al-Bajuri menjelaskan bahwa uzur (alasan yang dibenarkan secara syariat) untuk tidak menghadiri resepsi pernikahan sama dengan uzur yang memperbolehkan seseorang meninggalkan shalat berjamaah, seperti sakit atau kondisi cuaca yang tidak memungkinkan. Beliau menyatakan:
ومنها أن لا يكون المدعو معذورا بمرخص في ترك الجماعة من نحو مرض
Artinya, “Di antara syaratnya adalah bahwa orang yang diundang tidak memiliki uzur yang dibenarkan secara syariat untuk meninggalkan shalat berjamaah, seperti karena sakit.” (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, t.t.], jilid II, halaman 238).
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim merinci lebih lanjut berbagai uzur yang memperbolehkan seseorang tidak menghadiri undangan resepsi pernikahan. Beliau menyebutkan:
وأما الأعذار التي يسقط بها وجوب اجابة الدعوة أو ندبها فمنها أن يكون في الطعام شبهة أو يخص بها الأغنياء أو يكون هناك من يتأذى بحضوره معه أو لا تليق به مجالسته أو يدعوه لخوف شره أو لطمع في جاهه أو ليعاونه على باطل وأن لا يكون هناك منكر من خمر أو لهو أو فرش حرير أو صور حيوان غير مفروشة أو آنية ذهب أو فضة فكل هذه أعذار في ترك الاجابة
Artinya, “Adapun alasan-alasan (uzur) yang membuat gugur kewajiban atau anjuran untuk memenuhi undangan, di antaranya adalah:
- Terdapat makanan yang syubhat (meragukan kehalalannya),
- Undangan hanya dikhususkan untuk orang-orang kaya,
(Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turots al-‘Araby: 1392] jilid IX, halaman: 324). - Terdapat orang yang akan merasa terganggu jika ia hadir bersama yang diundang,
- Tuan rumah adalah orang yang tidak pantas untuk didampingi atau dijadikan teman duduk,
- Tuan rumah mengundangnya karena takut pada kejahatannya,
- Atau karena mengharap kedudukannya,
- Atau untuk mengajaknya bekerja sama dalam hal yang batil (tidak benar),
- Atau di tempat acara terdapat kemungkaran seperti khamar (minuman keras), hiburan yang tidak dibenarkan, permadani dari sutra, gambar makhluk bernyawa yang tidak diinjak (dipasang di dinding atau digantung), atau peralatan makan dari emas dan perak.
Semua itu adalah alasan yang dibenarkan untuk tidak menghadiri undangan."
Selain itu, jarak tempuh yang sangat jauh juga termasuk uzur yang membolehkan seseorang untuk tidak menghadiri resepsi pernikahan. Jika lokasi resepsi berada di luar kebiasaan jarak tempuh yang lazim dijangkau oleh masyarakat setempat, maka tidak menghadiri undangan tersebut dapat dibenarkan.
Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan:
فإذا اعتاد أهل ناحية الدعاء من مسافة العدوى فأقل واطرد عرفهم بالإجابة من ذلك وأن ترك الإجابة يوجب كسرا وقطيعة للمدعو وجبت الإجابة من تلك المسافة على القوي الذي لا يترتب عليه من ذلك مشقة في بدنه ولا ماله وإن لم يعتادوا ذلك لم يجب
Artinya, “Apabila masyarakat suatu daerah terbiasa mengundang dari jarak sejauh jarak ke masjid (jarak adzan) atau kurang, dan kebiasaan mereka adalah memenuhi undangan dari jarak tersebut, serta diketahui bahwa tidak memenuhi undangan itu akan menyebabkan kekecewaan dan memutus hubungan baik dengan yang mengundang, maka wajib menghadiri undangan dari jarak itu bagi orang yang kuat dan tidak mengalami kesulitan secara fisik maupun materi. Namun jika tidak ada kebiasaan demikian, maka tidak wajib.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Fiqiyah Kubra, [Beirut, Maktabah Islamiyah: t.t.] jilid 4, halaman 114)
Selain uzur seperti sakit atau cuaca buruk, seseorang juga diperbolehkan tidak menghadiri resepsi pernikahan karena kendala pribadi yang wajar. Misalnya, ada urusan keluarga mendesak, pekerjaan kantor yang tidak dapat ditinggalkan, jadwal kegiatan yang sudah terikat sebelumnya, atau kondisi fisik yang kurang mendukung.
Dalam kehidupan modern, baik di desa maupun kota, setiap individu memiliki kesibukan yang beragam. Seorang petani mungkin sedang menghadapi masa panen yang tidak bisa ditunda, pedagang sedang sibuk melayani pembeli di saat ramai, atau pegawai kantoran terikat dengan tenggat waktu dan rapat penting. Dalam situasi seperti ini, seseorang dapat meminta maaf kepada pihak yang mengundang sebagai bentuk adab dan penghormatan.
Imam An-Nawawi menjelaskan:
ومن الأعذار أن يعتذر إلى الداعي فيتركه
Artinya, “Termasuk uzur adalah ketika seseorang menyampaikan permohonan maaf kepada pihak yang mengundang, lalu pihak pengundang memaafkan dan membebaskannya dari kewajiban hadir.” (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid IX, halaman 324)
Berdasarkan penjelasan para ulama, Islam tidak menetapkan kewajiban menghadiri resepsi pernikahan secara kaku. Sebaliknya, syariat memberikan kelonggaran bagi mereka yang memiliki uzur yang sah, selama disampaikan dengan adab yang baik. Menghadiri undangan adalah wujud akhlak mulia dan penghormatan, tetapi tidak menjadi beban ketika ada kendala yang sesuai dengan prinsip syariat.
Semoga penjelasan ini menambah wawasan kita tentang bagaimana Islam memadukan anjuran berakhlak mulia dengan toleransi terhadap kondisi yang menyulitkan. Wallahu a’lam.
Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua