Ramadhan

Fiqih Puasa: Hukum Hate Comment, Bullying dan Gosip di Medsos saat Puasa

Sen, 3 April 2023 | 20:30 WIB

Fiqih Puasa: Hukum Hate Comment, Bullying dan Gosip di Medsos saat Puasa

Ilustrasi: medsos - milenial (NU Online).


Puasa di bulan suci Ramadhan merupakan ibadah yang diwajibkan bagi setiap mukallaf. Meski begitu, kebanyakan orang memahami bahwa puasa hanyalah sebatas menahan diri untuk tidak makan dan minum saja, padahal esensi dari puasa ialah al-imsak (menahan diri) dari segala dorongan hawa nafsu. Bukan hanya nafsu makan dan minum, melainkan juga perilaku-perilaku yang tidak terpuji seperti berbohong, mengumpat dan menggosip orang lain. 
 

Menggosip merupakan aktivitas yang seringkali kita saksikan, bahkan hal ini malah menjadi suatu kebiasaan, khususnya ketika berkumpul. Namun sebetulnya tanpa memandang status sosial dan latar belakangnya semua sama dapat berpotensi terjerumus terhadap bahaya lisan. Dalam redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Rasulullah saw bersabda:
 

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ، وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
 

Artinya: “Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dan perilaku kotor, maka tidak ada kepentingan bagi Allah atas amalnya meninggalkan makanan atau minuman.” (HR Al-Bukhari).
 

Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan “ucapan kotor” dalam redaksi hadits di atas?
 

Ulama pakar hadis kenamaan Syekh Ibn Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) mengutip pernyataan Imam Abdurrahman Al-Auza’i (wafat 157 H) menerangkan, di antaranya ialah menggunjing orang lain (ghibah):
 

وَفِي زِيَادَةِ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْغِيبَةَ تَضُرُّ بِالصِّيَامِ وَقَدْ حُكِيَ عَنْ عَائِشَةَ وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ إِنَّ الْغِيبَةَ تُفْطِرُ الصَّائِمَ وَتُوجِبُ عَلَيْهِ قَضَاءَ ذَلِكَ الْيَوْم
 

Artinya: “Dalam tambahan redaksi sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah terdapat isyarat bahwa sesungguhnya perbuatan ghibah dapat membahayakan puasa seseorang. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah dan senada dengan pendapat tersebut ialah Imam Al-Auza’i. Ia menyatakan bahwa sesungguhnya ghibah dapat membatalkan puasa dan mengharuskan untuk menqadha-nya pada hari itu juga.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, [Beirut: Dar Al-Ma’rifah], juz IV, halaman 104). 
 

Di era digital, ghibah tidak hanya dilakukan melalui obrolan langsung, namun juga sudah merambah ke media sosial. Seiring dengan bermunculannya akun-akun gosip di platform Instagram, Twitter dan kanal Youtube, menjadikan topik perbincangan seputar orang lain seolah menjadi trend. Tak terkecuali konten-konten demikian tayang pada saat bulan puasa.
 

Lantas bagaimana hukumnya menggosip di media sosial baik dengan cara mengupload ataupun memberikan komentar kebencian (hate comment), bahkan mengumpat di postingan orang lain, apakah puasanya tetap sah dalam perspektif fiqih?
 

Setelah menelaah berbagai literatur fiqih ditemukan kejelasan bahwa hukum menggosip, mengumpat, atau membikin berita bohong (hoax), dan bullying di media sosial dalam kondisi puasa hukum puasanya tetap sah, meskipun tidak memperoleh pahala ibadah puasa. Hal ini sebagaimana pernah disinggung oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits:
 

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
 

Artinya: “Banyak sekali orang yang tidak mendapat apapun dari puasanya kecuali lapar. Dan banyak sekali orang shalat malam tidak mendapatkan apapun dari shalatnya kecuali bangun malam.” (HR An-Nasai). 
 

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai tersebut lantas dikomentari oleh Hujjah Al-Islam Imam Al-Ghazali (wafat 505 H) dalam karya fenomenalnya:
 

فَقِيلَ هُوَ الَّذِي يُفْطِرُ عَلَى الْحَرَامِ وَقِيلَ هُوَ الَّذِي يُمْسِكُ عَنِ الطَّعَامِ الْحَلَالِ وَيُفْطِرُ عَلَى لُحُومِ النَّاسِ بِالْغِيبَةِ وَهُوَ حَرَامٌ
 

Artinya: “Yang dimaksud hadits di atas ialah seseorang yang berbuka dengan hal yang haram; dan menurut pendapat yang lainnya ialah orang yang menjaga dari makanan halal, namun berbuka dengan daging manusia yakni menggunjing orang lain. Ini hukumnya haram.” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut: Dar Al-Ma’rifah], juz I, halaman 235). 
 

Ketetapan ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi (wafat 676 H), dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab:
 

فَلَوْ اغْتَابَ فِي صَوْمِهِ عَصَى وَلَمْ يَبْطُلْ صَوْمُهُ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَالْعُلَمَاءُ كَافَّةً إلَّا الْأَوْزَاعِيَّ فَقَالَ يَبْطُلُ الصَّوْمُ بِالْغِيبَةِ وَيَجِبُ قَضَاؤُهُ

 

Artinya: “Apabila seseorang melakukan ghibah saat puasa, maka ia berdosa dan tidak batal puasanya menurut pandangan kita (mazhab Syafi’i), hal ini juga selaras dengan yang dikemukakan oleh mazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali. Kecuali menurut pandangan Imam Al-Auza’i, menurutnya puasa batal disebabkan perbuatan ghibah dan wajib untuk diqadha.” (Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz VI, halaman 356). 
 

Pendapat yang dilontarkan oleh An-Nawawi ini kemudian didukung dengan pernyataan Syekh Sa’id bin Muhammad Baisyan (wafat 1270 H) dalam kitabnya:
 

فَإِذَا اغْتَابَ مَثَلًا حَصَلَ عَلَيْهِ إِثْمُ الْغِيْبَةِ لِذَاتِهَا، وَبَطَلَ ثَوَابُ الصَّوْمِ لَا الصَّوْمُ بِمُخَالَفَةِ الْأَمْرِ الْمَنْدُوْبِ بِتَنْزِيْهِ الصَّوْمِ عَنْهَا، كَمَا دَلَّتْ عَلَيْهِ الْأَحَادِيْثُ، وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِي وَالْأَصْحَابُ

 

Artinya: “Apabila seseorang menggunjing (semisal), maka otomatis hasil dosa menggunjing dan pahala puasanya batal. Namun tidak dengan puasanya, sebab hanya menyimpang dari perkara sunah dimana dianjurkan agar menghindarkan puasa dari hal-hal itu (menggunjing), sebagaimana pemahaman beberapa hadits dan telah dijelaskan oleh Imam Asy-Syafi’i dan Ashabnya.” (Said bin Muhammad Baisyan, Busyral Karim bi Syarhi Masailit Ta’lim, [Jeddah: Dar Al-Minhaj], halaman 565). 
 

 

Simpulan

Walhasil, dari beberapa referensi yang telah diuraikan dapat diambil kesimpulan bahwa hukum komentar kebencian (hate comment), bullying, menggosip, dan membuat berita bohong (hoax) di media sosial menurut tinjauan fiqih dalam kondisi puasa, hukum puasanya tetap sah, hanya saja ia tidak memperoleh pahala ibadah puasa.
 

Karena itu, hendaknya kita menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai momentum untuk melatih diri agar mampu untuk menahan hawa nafsu, dengan menjauhi sifat-sifat tercela seperti menggosip, mencela dan berbohong. Sehingga kita dapat mencapai tujuan utama dari pelaksanaan ibadah puasa yakni agar menjadi sosok pribadi yang bertakwa. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Ustadz A Zaeini Misbaahuddin Asyuari, Alumni Ma’had Aly Lirboyo Kediri dan pegiat literasi pesantren