Shalawat/Wirid

Subhanallah: Makna Filosofis dan Keutamaannya

Sel, 31 Agustus 2021 | 16:30 WIB

Subhanallah: Makna Filosofis dan Keutamaannya

Seluruh jagat raya bertasbih kepada Allah sejak diciptakan sampai hari kiamat.

Salah satu hal penting yang tidak bisa dipisahkan dari Islam adalah bacaan wirid dalam rangka mengingat Allah, yang di antaranya adalah bacaan tasbih ‘subhanallah’. Seluruh jagat raya bertasbih kepada Allah sejak diciptakan sampai hari kiamat. Alam semesta dan semua penghuninya senantiasa bershalawat, bersujud, dan bertasbih kepada Allah. Bertasbih kepada-Nya merupakan fitrah semua makhluk, karena semua diciptakan untuk menyucikan Sang Pencipta. Allah swt berfirman:


وَلَهُ مَنْ فِي السَّماوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ (19) يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهارَ لا يَفْتُرُونَ (20) 


Artinya, “Hanya milik-Nya siapa yang di langit dan di bumi, dan (malaikat-malaikat) yang di sisi-Nya tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka bertasbih tidak henti-hentinya malam dan siang.” (QS al-Anbiya’: 19-20).


Bacaan tasbih tidak khusus dengan redaksi tertentu. Setiap bacaan yang di dalamnya mengandung makna menyucikan Allah  disebut sebagai bacaan tasbih. Namun, tulisan ini fokus menjelaskan salah satu bacaan tasbih yang sudah sangat dikenal kaum muslimin secara luas, serta keutamaan dan makna filosofisnya, yaitu tasbih dengan redaksi berikut:


سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ الْعَظِيْمِ


Subhânallâhi walhamdulillâhi wa lâ-ilâha illallâhe wallâhu akbar, walâ haula walâ quwwata illâ billâhil ‘aliyil adzîm.


Artinya, “Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar; tidak ada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung.”


Makna Filososfis 
Tasbih tersebut bukan hanya bacaan biasa yang dibaca sebagai rutinitas oleh mayoritas umat Islam. Selain sebagai media untuk meningkatkan spiritual kepada Allah swt, bacaan tasbih tersebut memiliki arti yang sangat luar biasa, dan sangat dalam.

 

Sayyid Muhammad bin ‘Ali Ba Alawi al-Husaini at-Tarimi (wafat 960 H), dalam salah satu kitabnya menjelaskan secara panjang lebar perihal maknanya. Menurut Sayyid Muhammad al-Husaini, bacaan pertama, subhanallah pada bacaan tasbih di atas memiliki makna menyucikan Dzat Allah swt dari setiap sifat yang tidak layak disematkan kepada-Nya, yaitu semua sifat-sifat baru, sekaligus menyematkan segala sifat kesempurnaan kepada-Nya.


Menurutnya, substansi makna seperti itu akan tampak dalam seorang muslim apabila penghambaannya kepada Allah sudah sempurna. Adapun Kesempurnaan penghambaan bisa diraih apabila memenuhi beberapa kriteria, yaitu (1) jika seorang hamba sudah merasa dan menganggap dirinya sangat hina di sisi Allah swt, maka tampak baginya kemuliaan dan keluhuran Allah; (2) jika seorang hamba sudah merasa dirinya dan semua makhluk tidak ada yang memiliki daya apapun, maka akan tampak baginya kekuasaan Allah; (3) jika sikap tawadhu’ (rendah) sudah ada dalam jiwa seseorang, maka akan tampak baginya sifat kibriyâ’ (kebesaran-kesombongan) Allah; (4) jika seorang hamba sudah menganggap dirinya sangat membutuhkan Allah, maka akan tampak baginya sifat kaya dari Allah; dan (5) ketika seorang hamba sudah meyakini setiap sesuatu akan musnah selain Allah, maka akan sangat tampak baginya sifat kekal Allah swt.


Adapun makna pujian, ‘alhamdulillah’ pada redaksi tasbih di atas adalah menetapkan segala pujian kepada Allah swt, serta wujud pengakuan dengan bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan tanpa bisa dihitung jumlahnya. Menurut Sayyid Muhammad, makna ini adalah makna hakikat atau esensialnya. Artinya, jika ditemukan nikmat yang oleh Allah diberikan melalui jalur manusia, atau bahkan semua nikmat memang dari jalur demikian, maka itu adalah pemberian nikmat secara majaz. Sebab itu, ungkapan syukur saat itu kepada pemberi, sejatinya adalah bersyukur kepada Allah swt. Sementara makna ‘lâ-ilâha illallâh adalah melepas semua kemusyrikan, ikhlas mentauhidkan Allah swt, dan menetapkan yang menjadi “Tuhan” hanya Allah, sejak zaman azâli dan selamanya. Selanjutnya, Sayyid Muhammad mengatakan:


وَمَعْنَى اَللهُ أَكْبَرُ: إِثْبَاتُ الْكِبْرِيَاءِ لِلهِ تَعَالَى وَحْدَهُ


Artinya, “Adapun makna ‘Allahu akbar’ adalah menetapkan sifat kebesaran hanya bagi Allah ta’ala semata.” (Muhammad bin ‘Ali, al-Wasâ-ilusy Syâfi’ah fil Adzkârin Nâfi’ah wal Aurâdil Jâmi’ah, [Yaman: Maktabatul Ahqâf, cetakan pertama: 2001], halaman 48).


Menurut Sayyid Muhammad, menetapkan sifat kebesaran atau kesombongan bagi Allah menunjukkan bahwa tidak ada yang layak untuk sombong selain-Nya. Artinya, segala kebaikan dan segala perbuatan ibadah tidak ada yang layak untuk dijadikan kesombongan, karena hakikatnya kesombongan hanya pantas bagi Allah, sebagaimana diakui dengan mengucapkan kalimat “allahu akbar”.


Adapun makna kalimat yang paling akhir dari bacaan tasbih di atas, yaitu lâ haula walâ quwwata illâ billâh adalah melepas semua angan-angan atas kemampuan yang ada dalam diri manusia, mengakui bahwa dirinya benar-benar lemah dan membutuhkan pertolongan Allah, serta pasrah pada semua ketentuan dan kepastian-Nya, dan hanya kepada Allah semua makhluk akan kembali. (Muhammad bin ‘Ali, al-Wasâ-ilusy Syâfi’ah, halaman 50).


Demikian makna yang terkandung dalam bacaan tasbih di atas. Dengan membacanya, seharusnya kita bisa menumbuhkan keimanan yang semakin kuat dan bisa menjadi pengingat bahwa tidak ada yang layak disembah selain Allah, tidak ada yang bisa menolong selain Allah, tidak ada yang bisa memberikan segalanya selain Allah, dan tidak ada yang bisa menghilangkan berbagai kesulitan hidup selain Allah.


Keutamaan 
Ulama sepakat bacan tasbih di atas mempunyai keutamaan yang sangat banyak, tidak hanya di dunia, bahkan juga di akhirat kelak. Di antara keutamaannya adalah akan mendapatkan tanaman pohon dalam surga, sebagaimana sabda Rasulullah saw:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ مَرَّ بِهِ وَهُوَ يَغْرِسُ غَرْسًا، فَقَالَ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا الَّذِي تَغْرِسُ؟ قُلْتُ: غِرَاسًا لِي. قَالَ: أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى غِرَاسٍ خَيْرٍ لَكَ مِنْ هَذَا؟ قَالَ: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: قُلْ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، يُغْرَسْ لَكَ بِكُلِّ وَاحِدَةٍ شَجَرَةٌ فِي الْجَنَّةِ. (رواه ابن ماجه)


Artinya, “Diceritakan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw pernah melewatinya sementara ia sedang menanam tanaman, lalu beliau bersabda, ‘Wahai Abu Hurairah, apa yang sedang kamu tanam?’ Aku menjawab: ‘Menanam tanamanku.’ Rasulullah bersabda, ‘Maukah engkau kuberitahukan tentang tanaman yang lebih baik dari ini?’ Abu Hurairah menjawab: ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Bacalah: ‘subhânallâhi wal hamdulillâhi wa lâ-ilâha illallâhu wallâhu akbar’, niscaya akan ditanamkan sebuah pohon di surga untukmu dengan setiap satu kali bacaan kalimat tersebut’.” (HR Ibnu Majah).


Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa dengan membaca bacaan tasbih di atas, pembaca tidak hanya mendapatkan pahala, namun juga diampuni dosa-dosanya. Rasulullah saw bersabda:


إِنَّ اللهَ اصْطَفَى مِنَ الْكَلاَمِ أَرْبَعًا: سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلهِ، وَلآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، قَالَ: فَمَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، كُتِبَتْ لَهُ بِهَا عِشْرُونَ حَسَنَةً أَوَ حُطَّتْ عَنْهُ عِشْرُونَ سَيِّئَةً، وَمَنْ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ، فَمِثْلُ ذَلِكَ، وَمَنْ قَالَ: لآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَمِثْلُ ذَلِكَ، وَمَنْ قَالَ: اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ، كُتِبَ لَهُ بِهَا ثَلاثُونَ حَسَنَةً وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا ثَلاَثُونَ سَيِّئَةً. (رواه أحمد)


Artinya, “Sungguh Allah telah memilih empat perkataan, yaitu (1) subhânallâh, (2) alhamdulillâh, (3) lâ ilâha illallâh, dan (4) allâhu akbar. Barangsiapa mengucapkan subhânallâh, maka akan ditulis baginya 20 kebaikan, dan dihapus darinya 20 kesalahan (dosa); barangsiapa mengucapkan allâhu akbar, maka Allah akan memberikan seperti itu juga; barangsiapa mengucapkan lâ ilâha illallâh, maka Allah akan memberikan seperti itu juga; dan barangsiapa mengucapkan alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn dari relung hatinya, maka akan ditulis baginya 30 kebaikan dan dihapus darinya 30 kesalahan (dosa).” (HR Abu Hurairah).


Ada pula riwayat yang menjelaskan, tasbih tersebut dapat menggantikan bacaan al-Fatihah bagi orang yang belum mampu membacanya sementara waktu shalat sudah tiba, semisal mualaf, sebagaimana diriwayatkan:

 

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلَّمَ، فَقَالَ: إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ مِنَ الْقُرآنِ شَيْئًا فَعَلِّمْنِي مَا يُجْزِئُنِي. قَالَ: قُلْ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ (رواه أحمد)


Artinya, "Telah datang kepada Rasulullah saw seorang laki-laki, ia berkata: sungguh saya tidak mampu menghafal satu pun dari Al-Qur'an, maka ajarilah bacaan yang mencukupi ku. Rasulullah berkata: katakanlah, subhanallah walhamdulillah wa lailaha Illallah wallahu akbar wala haula wala kuwata illabillahil aliyil adzim." (HR Ahmad) (Syarhu Mukhtashari Bulûghil Marâm, [Surabaya, al-Hidayah], halaman 127; dan Muhammad Syamsul Haqq al-‘Adhim Âbâdi, ‘Aunul Ma’bûd Syarhu Sunan Abî Dâwud, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan kedua: 1415 H], juz III, halaman 43).


Dalam al-Wasâ-ilusy Syâfi’ah Sayyid Muhammad juga menyebutkan, barangsiapa yang membacanya setelah shalat subuh maka akan meraih sesuatu yang tidak bisa diraih sebelumnya. Allah juga akan memalingkannya dari berbagai cobaan yang akan terjadi pada hari itu, dan akan menolak segala kejelekan yang akan menimpanya. (Muhammad bin ‘Ali, al-Wasâ-ilusy Syâfi’ah, halaman 51).


Karenanya, alangkah baiknya bila prang menjadikan bacaan tasbih tersebut sebagai wirid yang dibaca secara istiqamah. Sebab, dengan membacanya akan mendapatkan dua keuntungan, (1) keuntungan dinaikan derajatnya di sisi Allah swt, ditambah pahalanya, dan dihapus dosanya, serta sebagai media untuk memantapkan keyakinan dan keimanan kepada-Nya; (2) akan mendapatkan jaminan surga; dan (3) sebagai perisai agar dirinya dilindungi oleh Allah dari segala bahaya yang akan menimpanya. Wallâhu a’lam.


 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.