Sirah Nabawiyah

Anti Dinasti Politik, Sayyidina Umar Haramkan Keluarganya Terlibat di Pemerintahan

Sab, 21 Oktober 2023 | 23:00 WIB

Anti Dinasti Politik, Sayyidina Umar Haramkan Keluarganya Terlibat di Pemerintahan

Ilustrasi Umar bin Khattab. (Foto: NU Online)

Demokrasi di Indonesia yang terwujud dalam penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih jabatan politik legislatif maupun eksekutif, sebenarnya mulai membuka sedikit ruang kedaulatan bagi rakyat. Namun dinasti politik baik di level partai, legislatif, maupun eksekutif masih tumbuh berkembang sehingga sangat berpotensi menghalangi terpilihnya pemimpin pemerintahan dan wakil rakyat yang berkualitas. Orang lebih mengedepankan hubungan kekerabatan daripada memilih kader yang berkualitas dalam kontestasi politik praktis. Berkaitan hal ini Sayyidina Umar  bin Khattab layak menjadi teladan anti dinasti politik bagi bangsa Indonesia.

 

Di detik-detik akhir hidupnya, pasca tragedi penusukan oleh oknum tak bertanggung jawab, Sayyidina Umar didesak agar segera menunjuk penggantinya.

 

“Andaikan Abu Ubaidah masih hidup, niscaya aku akan menunjukknya sebagai penggantiku. Akan Ku katakan kepada Tuhanku bila Ia menanyaiku (karena menunjuk Abu Ubaidah): “Aku telah mendengar Nabi-Mu bersabda: “Abu Ubaidah adalah aminu hadzihil ummah (kepercayaan umat Islam ini),” jawab Umar.

 

Maksudnya adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, tokoh senior sahabat dan mendapat gelar langsung dari Nabi Muhammad sebagai aminul ummah atau orang kepercayaan umat Islam. Sayangnya ia wafat saat endemi thaun ‘Ammas di Syam pada tahun 18 H/638 M.

 

 “Andaikan Salim mantan budak Abu Hudzaifah hidup niscaya akan aku jadikan dia sebagai penggantiku. Aku akan katakan kepada Tuhanku jika ia menanyaiku: “Sungguh Salim adalah orang yang sangat mencintai karena Allah Ta’ala.”

 

Maksudnya adalah Salim peranakan Persi yang dahulunya seorang budak yang kemudian dimerdekakan oleh Tsabitah istri dari sahabat Abu Hudzaifah bin Utbah. Salim kemudian diadopsi sebagai anak angkat oleh Abu Hudzaifah dan Tsabitah. Salim terkenal sebagai ahli Al-Quran, pribadi yang sangat ikhlas lillahi ta’ala, dan tidak pernah absen dalam peperangan (ghazawat) bersama Nabi Muhammad saw. Ia wafat pada perang Yamamah pada tahun 11 H/632 H di masa pemerintahan Abu Bakar. Ia yang dipercaya membawa bendera Kaum Muhajirin pada waktu itu, hingga mempertahankannya sampai meninggal dunia.

 

Dua tokoh publik idaman Sayyidina Umar ini telah terbukti kiprah dan perannya dalam pemerintahan, terlebih Abu Ubaidah tokoh senior yang mendapatkan apresiasi langsung dari Nabi Muhammad saw. Sayang keduanya sudah wafat mendahului Umar.

 

Tak kehabisan akal, kolega Umar pun mengusulkan Abdullah anak Sayyidina Umar  sendiri. Salah seorang dari mereka memberanikan diri berterus-terang kepada Umar:

 

“Aku tunjukkan kepadamu, (bagaimana kalau) Abdullah bin Umar”, usulnya.

 

Tak terduga, Sayyidina Umar meresponsnya penuh kemarahan dan panjang lebar berkata:

 

“Semoga Allah membunuhmu. Demi Allah, Aku tidak menghendaki hal ini! Celaka kamu! Bagaimana mungkin aku menunjuk penggantiku orang yang tak mampu menceraikan istrinya?

 

Kami (sebenarnya) tidak butuh mengurusi urusan kalian (menjadi pemimpin pemerintahan), kemudian aku memujinya dan menyenanginya untuk salah seorang dari keluargaku.

 

Jika (menjadi pemimpin) itu baik, maka aku telah melakukannya, dan jika hal itu buruk maka telah disimpangkan dari kami. Cukuplah untuk keluarga Umar yang dihisab (sebagai pejabat pemerintahan) dan diminta pertanggungjawaban dari urusan umat Muhammad, satu orang saja.

 

Ingatlah sungguh aku telah berupaya sekuat tenaga (dalam menjalankan pemerintahan), dan aku haramkan keluargaku (untuk meneruskannya). Jika aku selamat dalam kondisi tanpa dosa dan tanpa pahala (dalam menjalankan pemerintahan), sungguh aku telah beruntung.

 

Lihatlah, jika aku menunjuk pengganti, maka sungguh telah ada orang (Abu Bakar) yang lebih baik daripada aku yang menunjuk pengganti; dan jika aku tidak menunjuk pengganti, sungguh telah ada orang (Nabi Muhammad saw) yang lebih baik daripada aku yang tidak menunjuk pengganti.”

 

Sebagaimana kita ketahui, Nabi saw tidak menunjuk penggantinya untuk memimpin umat Islam, sementara Abu Bakar telah menunjuk Sayyidina Umar  secara langsung.

 

Kisah selengkapnya dapat dibaca dalam kitab-kitab sejarah, semisal Al-Kamil fit Tarikh karya Ibnul Atsir II/459, Tarikhut Thabari karya At-Thabari II/580 dan selainnya. (Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1987], juz II, halaman 459).

 

Keteladanan Sayyidina Umar  bin Khattab yang enggan menggelar karpet merah untuk keluargannya dalam politik praktis menjadi teladan bagi bangsa Indonesia untuk mengedepankan meritokrasi sebagai sistem politik yang berdasarkan pada kemampuan dan prestasi, bukan pada hubungan kekerabatan atau kekeluargaan.

 

Bagi Umar, orang yang layak menduduki tampuk kepemimpinan atau pejabat publik adalah orang-orang yang benar-benar memiliki kualitas, kapabilitas, dan prestasi dalam pemerintahan.

 

Sayyidina Umar  juga memberi keteladanan bahwa tidak semua anggota keluarganya harus terlibat dalam pemerintahan. Sebab, keterlibatan dalam pemerintahan bukan kebanggaan baginya, akan tetapi merupakan peran yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

 

Dengan meneladani Sayyidina Umar yang anti dinasti politik, kiranya bangsa Indonesia dapat memilih calon-calon pemimpin yang berkualitas. Sebaliknya bila dinasti politik masih terus terjadi baik di level partai politik, legislatif maupun eksekutif, maka sulit kiranya rakyat akan mendapatkan calon-calon pemimpin yang berkualitas. Demikian pula, dinasti politik akan menghalangi anak-anak bangsa berkiprah di dunia politik praktis hanya karena tidak punya dinasti politik yang menggelarkan karpet merah untuknya. Wallahu a’lam.

 

Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online.