Sirah Nabawiyah

Hadapi Pelecehan Seksual Keluarga, Sahabat Nabi Ambil Sikap Proporsional

Sen, 15 Agustus 2022 | 09:00 WIB

Hadapi Pelecehan Seksual Keluarga, Sahabat Nabi Ambil Sikap Proporsional

Pelecehan juga pernah terjadi di zaman sahabat nabi. Mereka menyikapinya dengan tepat dan bijak

Banyak orang kalap ketika menghadapi permasalahan di keluarga. Utamanya berkaitan dengan pelecehan seksual anggota keluarga. Tak sedikit kekalapan itu berujung pada tindakan kontraproduktif yang justru melanggar hukum. 


Lalu bagaimana sikap terbaik dalam menghadapi kasus seperti itu? Kasus pelecehan seksual yang menimpa keluarga?


Berkaitan hal ini ada sahabat Muawiyah ra yang terkenal sebagai ahlamul ‘arab atau orang Arab yang paling bijaksana. Tidak mudah marah meskipun dipancing-pacing. Sampai ia berstatemen: “Aku tak akan marah terhadap orang yang mampu ku balas, maupun kepada orang yang tak mampu ku balas.”


Suatu ketika ada orang tertantang mendengar statemen itu. Ia yakin mampu memancing amarah Muawiyah dan akan memancingnya dengan hal yang sangat sensitif. Lalu ia nekat mendatangi Muawiyah dan segera melancarkan provokasinya.


“Aku datang kepadamu agar kau kawinkan dengan ibumu” kata orang nekat itu.


“Karena ibumu punya pantat besar,” provokasinya secara terang-terangan.


Tentu provokasi itu sangat melecehkan. Apalagi ini yang dilecehkan adalah orang yang paling  terhormat, ibu sahabat Muawiyah ra, bukan anak ataupun istrinya. Kalau umumnya orang yang mengalami, tentu darah mendidih dan akan meluapkan amarahnya seketika. Lalu bagaimana respon Muawiyah menghadapi pelecehan seksual terhadap ibunya itu? Apakah dia marah atau tetap dapat mengendalikan diri?


“Nah, karena itulah ayahku menyukainya”, jawab Mu’awiyah datar saja.


Tidak hanya itu, Muawiyah justru memerintahkan pegawainya untuk memberi hadiah kepada orang yang telah berani menguji kebijaksanaan dan kesabarannya. Ia berikan orang itu uang 1.000 dinar atau sekitar 50.000.000 rupiah sekarang, agar digunakanya untuk modah menikah dengan wanita lain. (Muhammad bin Abdillah al-Jurdani, al-Jawahir al-Lu’lu’iyah fi Syarhil Arba’inin Nabawiyah, [Mansurah, Maktabah al-Iman], halaman 144-147).


Sebagai Gubernur Kota Syam, tentu bisa saja Muawiyah menghabisi nyawa pelaku pelecehan seksual terhadap ibunya itu. Namun tampaknya ia sadar betul itu bukan pilihan sikap terbaik. Bukan sikap yang diajarkan oleh Islam sebagai agama yang diyakininya.


Dalam hal ini Nabi Muhammad saw berulangkali bersabda: “La taghdhab, la taghdhab, la takhdhab”, (Jangan turuti kemarahan, jangan turuti kemarahan, jangan turuti kemarahan), sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab hadits shahihnya.


Demikianlah, manusia, siapapun itu, sudah seharusnya menahan amarah yang secara mendadak sering menghinggapinya. Apalagi orang-orang yang mempuyai pangkat dan kekuasaan besar, sudah semestinya lebih waspada terhadap kemarahan yang dapat menyeretnya pada perbuatan yang melampaui batas dan melanggar hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya.


Meskipun kemarahan itu karena hal-hal sensitif seperti dalam kasus Gubernur Muawiyah di atas, bukan berarti dapat dijadikan pembenaran untuk meresponnya dengan tindakan kontraproduktif yang justru melanggar hukum.


Sikap terbaik dalam menghadapi pelecehan seksual terhadap keluarga adalah meresponnya melalui jalur hukum, sesuai peraturan perundangan yang berlaku.


Bukankah pelaku kejahatan tetap merupakan orang yang terhormat di luar kejahatanya? Wallâhul musta’an.


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.