Sirah Nabawiyah

Ketika Sebagian Orang Merasa Lebih Taat Beragama di Hadapan Nabi Muhammad SAW

Ahad, 11 Juli 2021 | 13:00 WIB

Ketika Sebagian Orang Merasa Lebih Taat Beragama di Hadapan Nabi Muhammad SAW

“Wahai Rasulullah, banyak orang mengalami kepayahan perjalanan dalam berpuasa. Mereka menunggu sikapmu,” kata orang tersebut. (Ilustrasi: vipis.org)

Fathu Makkah, suatu peristiwa bersejarah dalam Islam yang terjadi pada belasan Ramadhan tahun 8 H, bertepatan dengan 630 M. Sebagian sahabat mengingatnya pada 16 Ramadhan 8 H. Sahabat lain mengengang peristiwa itu terjadi pada 12 Ramadhan. Yang lain menyebut 17 Ramadhan. Salah seorang sahabat mengingat itu terjadi pada 18 Ramadhan. Yang lain lagi mengingatnya pada 19 Ramadhan.


Ada juga sejarawan yang menyebut keberangkatan Nabi Muhammad SAW dari Madinah ke Makkah pada 10 Ramadhan 8 H. (M Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, [Tangsel, Lentera Hati: 2018 M], halaman 863).


Tetapi semua sepakat bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun yang sama, yaitu 8 Hijriyah. Semua ini dicatat dalam Kitab Shahih Muslim. (Imam Muslim, Shahih Muslim pada Al-Minhaj bi Syarhi Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], juz IV, halaman 248).


Nabi Muhammad SAW bersama sekitar 10.000 pasukan bergerak dari Kota Madinah menuju Kota Makkah yang masih dikuasai kafir Quraisy. Tidak satupun sahabat Muhajirin dan Ansor yang tertinggal.


Mereka berjalan terus dalam kondisi berpuasa. Di tengah terik matahari pada pasir yang menyengat mereka terus berjalan menuju Kota Makkah. Ketika tiba di Kadid, sebuah mata air sekira 41-42 mil dari Makkah, Rasulullah SAW berhenti.


Satu riwayat menyebut Kira Al-Ghamim, sebuah lembah di depan bukit Usfan, sekira 48 mil dari Kota Makkah, tempat Rasulullah SAW membatalkan puasanya di bulan Ramadhan. (Imam An-Nawawi, Al-Minhaj bi Syarhi Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], IV/251).


Hari memasuki waktu Ashar. Para sahabat sebagian besar mengalami dehidrasi. Kondisi fisik mereka menurun. Beberapa orang sahabat sudah ambruk. Mereka dikerumuni oleh sahabat lainnya. Karena tidak tahan, sebagian sahabat menemui Nabi Muhammad SAW untuk mencari solusi.


“Wahai Rasulullah, banyak orang mengalami kepayahan perjalanan dalam berpuasa. Mereka menunggu sikapmu,” kata orang tersebut.


Rasulullah SAW sadar bahwa puasa Ramadhan itu wajib, bahkan salah satu rukun Islam. Tetapi ada yang lebih wajib dari itu, yaitu keselamatan jiwa manusia yang kepayahan menempuh perjalanan dari Madinah ke Makkah dalam keadaan berpuasa di bawah terik matahari. Rasulullah SAW memutuskan untuk membatalkan puasanya.


Rasulullah kemudian meminta segelas air. Beliau mengangkat tinggi-tinggi gelasnya sehingga orang banyak melihatnya. Rasulullah meminum air tersebut setelah Ashar. Ia membatalkan puasanya yang disaksikan banyak orang. (Muslim, 2001 M/1422 H: IV:247).


Para sahabat merasa senang dengan sikap Rasulullah. Mereka memandangnya sebagai pemimpin yang mengerti kebutuhan pengikutnya. Mereka tidak mendapati Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah yang memaksakan kehendak kepada umat. Mereka merasakan kehadiran seorang utusan Allah dengan penuh kasih sayang yang memperhatikan keselamatan jiwa umatnya, yaitu seorang rasul yang dapat menjaga akal sehat dengan mendudukkan persoalan secara proporsional.


Nabi Muhammad SAW merupakan seorang pemimpin yang mampu mencontohkan secara mudah pengamalan agama dan syariat Islam untuk umat manusia. Ia mengetahui kapan harus mendahulukan mana kebutuhan darurat, keselamatan jiwa dan mana rukun Islam yang wajib.


Muhajirin dan Ansor pun ikut membatalkan puasanya sebagaimana Rasulullah SAW. Mereka melepaskan dahaganya dengan meminum air yang ada untuk menjaga kondisi fisik.


Di tengah banyak orang membatalkan puasanya, sebagian orang mengikuti hawa nafsunya dalam beragama. Mereka bersikukuh memaksakan diri untuk menahan dahaganya. Mereka memilih untuk menyulitkan diri sendiri. Mereka tetap berpuasa.


Sikap mereka mengejutkan para sahabat. Tindakan memaksakan diri ini kemudian dilaporkan kepada Rasulullah SAW.


“Mereka bermaksiat. Mereka bermaksiat,” kata Rasulullah SAW untuk mereka yang memaksakan diri berpuasa.


Kata “Mereka bermaksiat” dilontarkan Rasulullah secara berulang. Pengulangan kata “maksiat” itu ditujukan kepada mereka yang memaksakan diri berpuasa dengan mengabaikan keselamatan jiwa yang diamanahkan Allah. Kemaksiatan yang disebut dua kali merujuk pada penentangan mereka atas perintah pembatalan puasa yang sangat jelas kemaslahatannya untuk mereka. (An-Nawawi, 2001 M/1422 H: IV/252).


Yang jelas, sahabat yang memaksakan diri untuk menjalankan ibadah puasa pada perjalanan hari itu hanya dapat dianggap sebagai orang yang bermaksiat ketika membahayakan keselamatan jiwanya dengan memaksakan diri berpuasanya. (An-Nawawi, 2001 M/1422 H: IV/252).


Peristiwa besar Fathu Makkah memang terkenal dengan penaklukan sebuah kota tanpa pertumpahan darah, sebuah keteladanan perang yang begitu luar biasa di mana harta dan keselamatan jiwa masyarakat yang ditaklukkan tetap terjamin.


Tetapi di sela peristiwa besar tersebut sejarah mencatat kejadian mengandung hikmah di Kira Al-Ghamim, sebuah kaidah penting dalam beragama Islam yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW di mana beliau membatalkan puasanya dengan segelas air demi keselamatan jiwa manusia.


Rasulullah mengangkat tinggi-tinggi gelasnya agar semua orang melihat sikap seorang nabi yang penuh rahmat. Rasulullah SAW pada peristiwa bersejarah ini mengecam keras mereka yang membahayakan keselamatan jiwanya dengan tetap memaksakan diri berpuasa.


Para sahabat pun meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW bukan seorang rasul atau pemuka agama yang bangga dan tega menyaksikan keselamatan jiwa umatnya terancam karena memaksakan diri menjalankan ibadah. Sedangkan ibadah itu memiliki solusi “fiqihnya”. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)