Sirah Nabawiyah

Nabi Muhammad Kecil Sang Penggembala

Jum, 4 Juni 2021 | 04:30 WIB

Nabi Muhammad Kecil Sang Penggembala

Ilustrasi Rasulullah Muhammad SAW. (Foto: NU Online)

Sejak kecil, Nabi Muhammad saw sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya. Setelah yatim piatu itu, Beliau diasuh oleh sang kakek yang sangat menyayanginya, Abdul Muthalib. Namun, tidak lama kakeknya juga dipanggil oleh Allah swt. Kakek yang selama ini merawat dengan penuh kasih sayang, bahkan lebih dari kasih sayang kepada anak-anaknya sendiri.


Setelah kepergian sang kakek, Nabi Muhammad hidup bersama sang paman, Abu Thalib. Kondisi ekonomi pamannya sedang tidak stabil, belum lagi sang paman memiliki anak yang tidak sedikit. Nabi Muhammad yang baru usia delapan tahun itu sadar akan keadaan ekonomi keluarga pamannya.


Akhirnya, ia meminta izin kepada Abu Thalib dan bibinya, Fatimah binti Asad, untuk bekerja dengan menggembala kambing milik orang Makkah. Awalnya mereka tidak mengizinkan, mengingat usianya saat itu masih belia.


Singkat cerita, Nabi Muhammad mendapat restu dari sang paman dan bibi. Setidaknya, ada tiga hal Muhammad kecil memberanikan diri untuk melakukan pekerjaan tidak ringan itu:


Pertama, Nabi merasa prihatin dengan kondisi ekonomi keluarga paman yang merawatnya sedang tidak membaik. Dengan menggembala kambing, ia berharap bisa sedikit meringankan ekonomi pamannya. Anak sekecil Muhammad, tapi kepeduliannya begitu besar. Masa-masa yang seharusnya mendapat kasih sayang kedua orang tua dan menikmati masa belia untuk bermain sebagaimana anak seusianya, Ia justru hidup yatim papa, bahkan harus membantu ekonomi keluarga pamanda.


Kedua, menggembala kambing tidak perlu modal. Cukup modal tenaga saja. Nabi Muhammad cukup menawarkan jasa kepada orang-orang Arab untuk menggembalakan kambingnya. Bagi Rasulullah kecil yang belum punya penghasilan apapun, pekerjaan itu merasa sangat cocok baginya.


Ketiga, seperti anak kecil pada umumnya, Nabi Muhammad senang berada di alam bebas. Ia bisa bekerja sambil bermain. Menikmati semilir angin lepas kota Mekah, menatapi semesta yang begitu luas, dan rangkaian bintang di angkasa kala malam menyelimuti kota Makkah.


Hikmah dan Pelajaran


a) Menanamkan jiwa kepemimpinan


Nabi Muhammad sudah Allah persiapkan untuk menjadi seorang nabi, seorang utusan Allah yang akan menyebarkan ajaran-Nya, dan seorang Nabi Akhir Zaman. Allah ingin mendidik jiwa kepemimpinan (leadership) pada sang Nabi.


Seorang penggembala kambing adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab besar terhadap kambing-kambing gembalanya. Bagaimana supaya saat pulang jumlah kambing tetap utuh. Bagaimana supaya setiap kambing terjamin kenyang dengan rumput di tanah penggembalaan, sebisa mungkin sang penggembala berbuat adil. Kambing-kambing itu adalah replika rakyat yang akan dipimpinnya.


Dengan terbiasa melakukan hal demikian, harapannya, Nabi Muhammad ketika sudah diutus menjadi nabi juga mampu berbuat adil dan bijak kepada rakyatnya. Sebagaimana ia telah belajar berbuat adil saat menggembala terhadap hewan-hewannya. Nabi Muhammad dewasa akan menjadi pemimpin yang mengemban misi risalah dan harus bisa mengatur regulasi pemerintahan yang dipimpinnya. 
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dijelaskan,


Rasulullah Saw pernah bersabda,


مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ. فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لأَهْلِ مَكَّةَ.


Artinya, “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali menggembala kambing.” Sahabat lantas bertanya, “Apakah engkau juga demikian?” Rasulullah menjawab, “Iya, dulu aku menggembala kambing milik orang Mekah dengan upah beberapa qirath.”


Maksud qirath dalam hadis tersebut adalah sebagian dari dirham, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar (lihat Fathul Bari, juz 6, hal 28). Sementara menurut salah satu pakar sirah Nabi modern yang populer, Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, menjelaskan bahwa nilai qirath setara dengan 1/20 dinar atau sekitar 10 Riyal Saudi masa kini (lihat Raudlatul Anwar, hal 13).


Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa hikmah para nabi menggembala kambing adalah sebagai bentuk pembekalan skill untuk mengurus umat kelak. Pekerjaan ini akan menempa sifat hilm dan penyayang.


Mereka bersabar mengumpulkan kawanan kambing, memindahkan dari satu tempat gembalaan ke tempat lain, menjaga kawanan kambing dari bahaya hewan buas dan pencuri, mengetahui perbedaan tabiat, tahu bahwa kawanan kambing muda berpencar padahal mereka lemah, dan tahu bahwa kambing gembalanya memerlukan perawatan. (lihat Fathul Bari, juz 4, hal 441)


Dengan demikian, lanjut Ibnu Hajar, mampu mendidik nabi sifat sabar dalam memimpin umat, mengetahui beragam karakter dan tingkatan pemikiran tiap-tiap rakyat. Mampu meredam konflik, mengasihi yang lemah dan bisa mengayomi dengan baik. Tentu beban-beban nabi yang berat ini akan menjadi ringan jika sudah terbiasa sejak dini (saat menggembala). (lihat Fathul Bari, juz 4, hal 441)


b) Membentuk jiwa bersih Nabi


Umumnya orang menggembala kambing, ia akan mencari tempat di mana rumput tumbuh. Tempat itu biasanya masih memiliki alam yang asri. Demikian juga yang dialami Rasulullah saw saat itu.

Aktivitas di alam lepas Mekah dijadikannya sebagai momen untuk refleksi diri. Menghirup udara luar yang segar dan n, melihat hamparan bumi Tuhan yang luas, menatap biru langit yang menyejukkan, menikmati indah gemerlap bintang dan terang rembulan kala Mekah dalam pangkuan malam. Nabi Muhammad kecil sudah menyatu dengan alam.


Nabi Muhammad bisa merenungi keagungan Tuhannya melalui bentang semesta yang ia dapati saat menggembala. Bukankah Nabi pernah bersabda, mentafakuri semesta sesaat saja, lebih baik daripada ibadah satu tahun? Dengan mentafakuri kekuasaan Allah, membuat iman seseorang semakin kuat.


Semakin sering berada di alam lepas seperti ini, juga membuat pikiran Nabi Muhammad menjadi jernih. Sebagai calon pembawa risalah Tuhan. Tentu jiwa dan pikiran yang bersih adalah keharusan yang dimiliki pengemban risalah kenabian, Nabi Akhir Zaman. (lihat Hayat Muhammad, hlm. 129)


c) Melatih kesabaran dan ketawadluan Nabi


Mengapa kambing yang Nabi gembala, bukan unta saja, misalnya. Karena kambing merupakan hewan yang tidak untuk dikendarai sebagaimana unta pada masa itu. Andaikan saja unta, bisa saja Nabi menungganginya. Jika Nabi menunggangi unta itu, ia bisa melihat hamparan tanah yang begitu luas dari atas punggung unta. Bisa jadi mengundang rasa bangga dan angkuh karena merasa lebih tinggi dari tempat sekelilingnya. Tapi, sebagai seorang Nabi, sifat-sifat tersebut tidak mungkin dimilikinya. Begitulah mengapa Nabi Muhammad kecil hanya menggembala kambing, bukan unta. (lihat as-Sirah an-Nabawiyah fi Dlau’i al-Mashadir al-Ashliyah, hlm. 1141) 


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon