Sirah Nabawiyah

Kisah Nabi Musa Saat Mempersalahkan Nabi Adam Hingga Terusir dari Surga

Sel, 7 Maret 2023 | 10:00 WIB

Kisah Nabi Musa Saat Mempersalahkan Nabi Adam Hingga Terusir dari Surga

Nabi Musa (Ilustrasi: NU Online)

Inilah kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Adam. Pertemuan ini berlangsung atas permintaan Nabi Musa. Mengenai kapan dan di mana pertemuan itu terjadi, kita cukup meyakini kebenaran wahyu dan informasi yang datang dari Rasulullah saw. 


Pasalnya, pertemuan serupa juga pernah dialami Rasulullah saw., seperti pada saat peristiwa isra’. Beliau menjadi imam shalat para nabi di Masjidil Aqsha. Bahkan, beliau sempat berbincang dengan beberapa nabi. Termasuk berbincang dengan Nabi Musa di langit.     


Adapun tujuan Nabi Musa menemui Nabi Adam adalah untuk mempersoalkan  dikeluarkannya Adam dari surga akibat dosa yang telah diperbuatnya. Namun, Nabi Adam berargumen yang membuat Nabi Musa bungkam tak lagi berkata-kata. Dan Rasulullah saw. pun bersaksi akan kekuatan hujah Nabi Adam dan kekalahan Nabi Musa.  


Dalam hadits riwayat Muslim dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah saw. mengisahkan:


احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى عَلَيْهِمَا السَّلَامُ عِنْدَ رَبِّهِمَا، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، قَالَ مُوسَى: أَنْتَ آدَمُ الَّذِي خَلَقَكَ اللهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيكَ مِنْ رُوحِهِ، وَأَسْجَدَ لَكَ مَلَائِكَتَهُ، وَأَسْكَنَكَ فِي جَنَّتِهِ، ثُمَّ أَهْبَطْتَ النَّاسَ بِخَطِيئَتِكَ إِلَى الْأَرْضِ، 


Artinya: “Pada suatu kesempatan, Adam dan Musa berdebat di hadapan Tuhan mereka. Namun, Adam berhasil mengalahkan Musa dengan hujahnya. Kala itu, Musa mulai angkat bicara, ‘Hai Adam, engkau adalah nabi yang telah diciptakan Allah langsung dengan tangan-Nya, ditiupkan ruh langsung dari ruh-Nya, disujudi oleh para malaikat, dan ditempatkan di surga-Nya, namun engkau telah mengeluarkan manusia ke bumi karena kesalahan yang diperbuatmu sendiri.’”  


فَقَالَ آدَمُ: أَنْتَ مُوسَى الَّذِي اصْطَفَاكَ اللهُ بِرِسَالَتِهِ وَبِكَلَامِهِ وَأَعْطَاكَ الْأَلْوَاحَ فِيهَا تِبْيَانُ كُلِّ شَيْءٍ وَقَرَّبَكَ نَجِيًّا، فَبِكَمْ وَجَدْتَ اللهَ كَتَبَ التَّوْرَاةَ قَبْلَ أَنْ أُخْلَقَ، قَالَ مُوسَى: بِأَرْبَعِينَ عَامًا، 


Artinya: “Adam menjawab, ‘Engkau juga nabi yang dipilih Allah dengan risalah dan kalam-Nya, diberi lembaran-lembaran wahyu yang memuat penjelasan segala sesuatu di dalamnya, didekati dengan bisikan wahyu-Nya, lalu berapa lama engkau mendapati Allah menulis Taurat sebelum aku diciptakan?’ Musa menjawab, ‘Empat puluh tahun.’” 


قَالَ آدَمُ: فَهَلْ وَجَدْتَ فِيهَا وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَفَتَلُومُنِي عَلَى أَنْ عَمِلْتُ عَمَلًا كَتَبَهُ اللهُ عَلَيَّ أَنْ أَعْمَلَهُ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً؟ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى


Artinya: “Selanjutnya, Adam kembali berkata, ‘Apakah dalam Taurat engkau mendapati ayat yang mengatakan, ‘Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia,’ (Q.S. Thaha [20]: 121)?’ Musa menjawab, ‘Iya.’ Adam melanjutkan, ‘Apakah engkau masih saja menyalahkanku karena aku telah melakukan suatu perbuatan yang ditetapkan Allah untuk aku perbuat empat puluh tahun sebelum Dia menciptakanku?’ Ditegaskan oleh Rasulullah saw, ‘Akhirnya, Adam pun mengalahkan Musa dengan hujahnya,’” (HR. Muslim)


Sementara dalam riwayat al-Bukhari dikatakan: 


احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الجَنَّةِ، قَالَ لَهُ آدَمُ: يَا مُوسَى اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلاَمِهِ، وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ، أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً؟ فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلاَثًا


Artinya: “Suatu ketika, Adam berdebat dengan Musa. Kala itu, Musa berkata kepadanya, ‘Wahai Adam, engkau adalah bapak kami. Namun, engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga.’ Adam menjawab pernyataannya, ‘Wahai Musa, Allah juga telah memilihmu dengan kalam-Nya, membuat catatan wahyu dengan tangan-Nya, tapi mengapa engkau menyalahkanku atas perkara yang telah ditetapkan-Nya untukku empat puluh tahun sebelum menciptakanku.’ Saat itulah Adam mengalahkan Musa dengan hujahnya. Adam mengalahkan Musa dengan hujahnya. Adam mengalahkan Musa dengan hujahnya. (HR. al-Bukhari).


Adapun sikap Nabi Musa mempersalahkan Nabi Adam cukup beralasan. Pasalnya, kehidupan dunia memang melelahkan dan memberatkan. Apa pun yang diinginkan harus diusahakan dan diperjuangkan dengan susah payah, baik itu makanan, minuman, pakaian, maupun tempat tinggal. Sejalan dengan yang dinyatakan Allah dalam Al-Quran, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam kepayahan, (Q.S. al-Balad [90]: 4). 


Demikian pula penderitaan dan kesulitan yang dirasakan Nabi Musa saat berhadapan dengan Fir’aun dan para pengikutnya. Ia harus melarikan diri dari Mesir ke Madyan, kemudian harus menggembala kambing selama delapan tahun di sana. Belum lagi kesulitan yang diterimanya akibat penentangan, penolakan, dan penderitaan dari kaum Bani Israil.


Dalam benaknya terbesit bahwa boleh jadi semua penderitaan dan kesulitan itu disebabkan oleh Adam yang mengeluarkan diri dan keturunannya dari surga. Padahal, ia sudah tenang ditempatkan Allah di dalamnya setelah diciptakan. Ia diperkenankan menikmati semua buah-buahan kecuali satu buah terlarang.


Di dalam surga, Adam dijamin tidak akan kelaparan, tidak akan kedinginan, tidak akan kehausan, dan tidak akan susah payah melakukan perjuangan.


Namun, setelah Adam durhaka kepada Allah dan makan buah terlarang, Allah menurunkannya dari surga. Akibatnya, manusia tidak lagi mendapatkan penghidupan yang menyenangkan kecuali setelah berusaha keras. 


Makanya, sewaktu berjumpa dengan Nabi Adam, Nabi Musa seakan menyalahkannya karena telah mengeluarkan diri dan keturunannya dari negeri kenikmatan dan keabadian. Nabi Musa juga menyebut-nyebut karunia Allah yang telah diberikan kepadanya. Adam telah diciptakan Allah langsung dengan tangan-Nya, sedangkan makhluk lainnya diciptakan dengan kalimat-Nya, “Jadilah!” Selain itu, Adam ditiupi roh langsung dari roh-Nya, selanjutnya disujudi oleh para malaikat, dan ditempatkan di surga-Nya. Semestinya, makhluk yang telah dikaruniai Allah dengan semua kenikmatan itu, tidak lagi durhaka kepada-Nya, tidak juga mengeluarkan diri dan keturunannya dari surga kenikmatan-Nya. 


Namun Nabi Adam tak gentar menghadapi pertanyaan Musa. Ia menangkis protes yang dilayangkan kepada dirinya. Ia menolak dirinya dipersalahkan. Alih-alih menerima kesalahan, Adam justru mengungkit balik karunia Allah yang telah diberikan Allah kepadanya. Nabi Adam kala itu memberikan jawaban, “Engkau juga Musa adalah makhluk yang dipilih Allah dengan karunia dan kalam-Nya. Engkau diberi lembaran-lembaran wahyu yang di dalamnya termaktub penjelasan terhadap segala sesuatu. Engkau dibisikki Allah dari dekat. Pertanyaannya, berapa lama engkau mendapati Allah menulis Taurat sebelum menciptakanku?” Jawaban Nabi Musa, “Empat puluh tahun.” 


Kembali ditanya oleh Adam, “Lantas apakah dalam kitab itu engkau mendapati ayat yang mengatakan, ‘Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia?’ (Q.S. Thaha [20]: 121). 


“Benar,” jawab Nabi Musa.


“Masihkah engkau akan menyalahkanku hanya karena melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan Allah untuk aku kerjakan empat puluh tahun sebelum  Dia menciptakanku?” debat Adam pada Musa. 


Kekuatan argumen Nabi Adam pun diakui Rasulullah saw. di penghujung haditsnya.


Pelajaran Penting:

1. Diperbolehkan berdiskusi dengan orang-orang saleh ketika menemukan suatu permasalahan, seperti halnya yang dilakukan Nabi Musa dengan Nabi Adam. Namun tentu diskusi itu dilakukan demi menegakkan kebenaran dan memperjelas perkara samar.


2. Kita diwajibkan mengimani perkara gaib yang hak. Allah pun telah memuji orang-orang yang mengimani perkara gaib. Di antaranya perkara gaib yang disampaikan Rasulullah saw. tentang diskusi dan perdebatan antara dua nabi di atas sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits sahih.


3. Pada saat diskusi, hendaknya kita mengetahui kelebihan satu sama lain. Contohnya seperti yang dilakukan Nabi Adam dan Nabi Musa. Mereka saling mengungkap kelebihan satu sama lain yang telah diberikan Allah kepada masing-masing.


4. Hadits di atas menetapkan sifat ‘tangan’ bagi Allah. Walau bagaimana pun, sifat ini tidak boleh kita nafikan. Jangan pula kita dustakan. Namun, jangan pula kita serupakan dengan tangan makhluk, sebab Allah wajib berbeda dengan makhluk-Nya.


5. Hadits di atas juga menunjukkan ketetapan takdir sebelumnya. Banyak nas yang menguatkan hal itu. Makanya kita harus beriman atas ketetapan Allah, baik atau pun buruk. 


6. Di samping menunjukkan ketetapan takdir, hadits tersebut juga mengungkap keutamaan-keutamaan yang diberikan Allah kepada Nabi Adam dan Nabi Musa. 


7. Kita harus senantiasa berhati-hati agar tidak melakukan perbuatan yang dapat mengundang murka Allah.


8. Manusia tidak tahu, apa yang dipandang buruk oleh manusia, ternyata menyimpan kemaslahatan dan hikmah yang lebih besar.


9. Kesulitan dan kepayahan yang dialami manusia merupakan ujian Allah dalam rangka membalas perbuatan mereka.


10. Surga merupakan tempat kembali hamba yang sudah bersih dari kesalahan dan terampuni dari dosa.


11. Jika bukan karunia Allah, rasanya berat sekali manusia kembali masuk surga dengan amal-amalnya.  Wallahu a’lam. (Lihat: Dr. Umar Sulaiman, Shahih al-Qashash al-Ghaib [Yordan: Darun-Nafais], 1997, halaman 69)


Ustadz M Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.